Mohon tunggu...
Ibra Alfaroug
Ibra Alfaroug Mohon Tunggu... Petani - Dikenal Sebagai Negara Agraris, Namun Dunia Tani Kita Masih Saja Ironis

Buruh Tani (Buruh + Tani) di Tanah Milik Sendiri

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sejarah Koalisi di Indonesia, dan Hilangnya Oposisi di Parlemen Sebagai Kekuatan Penyeimbang

21 Juni 2022   12:40 Diperbarui: 21 Juni 2022   18:40 979
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrated By: Kompas.com

Kabinet Nasakom, Koalisi Parpol di Era Orde Lama (Orla)

Setiap era kepemimpinan, koalisi antar partai politik merupakan perjalanan sejarah penguasa dalam menjalankan roda pemerintahan, demi menyukseskan agenda pemerintah juga demi mempertahan eksistensi  penguasa, menjaga stabilitas perpolitikan.

Hal ini tidak hanya terjadi pada eranya reformasi atau setelah terjadinya reformasi. Koalisi partai politik pada era sebelumnya pernah bahkan telah ada, yakni dimasa pemerintahan orde lama, masa demokrasi terpimpin era Presiden Soekarno.

Presiden pertama Ir. Soekarno pada tahun 1959-1960 telah memperkasai terbentuknya kabinet baru yang bernama Nasakom, gabungan dari unsur Nasionalis, Agama, dan Komunis dari partai yang berbeda ideologi.

Koalisi dari partai politik ini, terbentuk setelah pelaksanaan pemilu pertama kali di Indonesia tahun 1955. Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Komunis Indonesia (PKI), dan Partai Nadhlatul Ulama (NU).

Menurut sejarah, gagasan kabinet Nasakom yang dibentuk Soekarno,sebenarnya telah ia tuangkan dalam harian surat khabar bertajuk "Soeoleh Indonesia Moeda" terbit pada tahun 1926. 

Namun gagasan Nasakom pada era demokrasi terpimpin ikhwal perbedaan pandangan 'The Pounding Fathers' antara Soekarno dan Muhammad Hatta. Berujung perpisahan jalan 'dwi tunggal',dengan mundurnya Muhammad Hatta dari jabatan wakil Presiden.

Nasakom dinilai dapat memberikan ruang tanpa batas pada Presiden menjadi penguasa tunggal bersifat mutlak di pemerintahan. Kekuatan lebih terpusat pada tangan Presiden.

Perjalanan sejarah kabinet ini tidak bertahan lama yang akhirnya kandas (bubar). Jelang pergantian masa dari Orde Lama ke Orde Baru disaat Partai Komunis Indonesia berusaha merongrong pemerintahan, memanfaatkan moment kedekatan dengan Presiden.

Koalisi di Era Orde Baru, Presiden Sebagai Penguasa yang Absolut

Pergantian Presiden  Soekarno kepada Presiden Soeharto babak baru 'Orba' pun dimulai. Penertiban jumlah partai politik lebih diserdehanakan menjadi tiga partai politik dimasanya.

Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dan ideologi Komunis tidak diperbolehkan, hanya ada dua Ideologi Nasionalis dan Agamis. Dileburkan dalam tiga partai politik ini.

Menariknya, dimasa berkuasanya Orba tidak ada istilah koalisi seperti era Orla dan era Reformasi yang jelas mencolok.

Namun, pemerintah sangat mendominasi pemerintahan, eksekutif, legislatif, dan yudikatif.  Dan support dari kalangan militer jadi basis utama sebagai kekuatan pemerintahan Orba.

Maka stigma diera orde baru sangat dikenal dengan istilah kata ABG (ABRI, Birokrasi, dan Golkar). Sehingga dominasi ini, Orba dapat bertahan selama 32 tahun, berkuasa tanpa ada satupun kekuatan penyeimbang.

Dengan lengser Soeharto, maka berakhirlah rezim orde baru. Pasca aksi demontrasi besar-besaran dilakukan mahasiswa pada tahun 1998. Menuntut Soeharto untuk turun dari kursi jabatannya sebagai Presiden. 

Koalisi Masa Reformasi, Berlangsung Sampai Saat Ini

Lengsernya Soeharto dari kursi kekuasaan, babak baru iklim demokrasi Indonesia dimulai. Angin segar dari perubahan alam demokrasi yang selama dianggap absolut (otoriter) menjadi lebih demokratis. 

Hal ini ditandai dengan adanya perubahan konstitusi (Undang-undang), terjadinya empat kali amandemen dalam kurun waktu 4 tahun, dari tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002.

Antusias suasana politik yang menarik, menginisiasi banyak parpol baru yang terbentuk masa reformasi. Keikutsertaan pada pemilu 1999 yang diikuti  48 partai, berpartisipasi dalam kontestasi pemilu setelah reformasi.

Salah satunya PDI P yang dipimpin putri sulung Presiden pertama Megawati Soekarno Putri, setelah keluar dari Partai PDI lama yang dipimpin Soerjadi dan Buttu Hutapea. 

Pemilu 1999 berhasil mengantarkan Partai PDI P, sebagai partai pemenang pemilu dengan persentase 33% dari perolehan suara pemilih. 

Mengingat pemilihan seorang Presiden bukan didasari atas perolehan suara pemilu, pemilihan Presiden masih bersifat tidak langsung berdasarkan keputusan final MPR,  maka koalisi didirikan sebagai mesin kemenangan calon.

Terdiri dari tiga calon saat itu, Megawati Soekarno Putri (PDI P), BJ. Habibi (Golkar), dan Gusdur (PKB) yang didukung dari barisan Islam, Dimotori Amin Rais membentuk koalisi bernama poros tengah yang terdiri dari lima partai Islam. PKB, PPP, PAN, PBB, PK sebelum berubah nama menjadi PKS sekarang.

Dinamis situasi politik, pada akhirnya dapat mengantarkan Gusdur terpilih menjadi Presiden ke empat Indonesia. dan mendapati suara tambahan dari dukungan suara dari partai Golkar, merapat ke kubu ini. 

Didasari karena pidato pertanggung jawaban Presiden ketiga BJ. Habibi  pada sidang ditolak MPR. Dan Megawati pun hanya menduduki kursi nomor dua sebagai wakil Presiden.

Dengan perubahan sistem pencapresan pada tahun 20o4, pemilihan bersifat langsung. Presiden tidak lagi ditentukan suara parlemen tapi partisipasi rakyat sebagai pemilih yang menentukan. Koalisi pun terbentuk lagi antar partai politik.

Partisipan pemilu 2004 yang dikuti 24 partai politik dan 5 pasangan calon presiden. Megawati-Hasyim Muzadi, Wiranto-Gus Shola, Amin Rais-Siswono Yudohusodo, Hamza Haz-Agum Gumelar, dan SBY-Jusuf Kala. 

Dua kali putaran, yang dimenangi SBY-JK. Terpilih menjadi presiden periode 2004-2009, yang hanya didukung dari tiga parpol saat itu, Demokrat, PBB dan PKS.

Kembali di pemilu 2009 diikuti sebanyak 44 parpol dan tiga pasangan calon, SBY-Boediono, Megawati- Prabowo Subianto, dan Jusuf Kala-Wiranto. 

SBY mengungguli kembali, terpilih menjadi presiden kedua kali dengan persentase 60,80% suara.SBY membentuk koalisi besar di pilpres 2009 terdiri dari lima partai besar sebagai pengusung, Demokrat, PKS, PKB, PAN, dan PPP.

Terpilihnya SBY-Boediono tidak ubah terjadi kembali pada pilpres 2014, yakni pada sisi koalisi antar partai. Dimana pada pilpres antara Jokowi versus Prabowo Subianto. Terbagi dua koalisi besar yang bertaruh pada pemilu. 

Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP). Dan berhasil mengantarkan Jokowi-JK jadi pemenangnya.

Pada pemilu 2019 koalisi terbagi kembali. Koalisi Indonesia Kerja ( Jokowi- Maaruf Amin) dan Koalisi Indonesia Adil Makmur (Prabowo-Sandiaga Uno).Ditahun inilah situasi kondisi tanah air sangat terasa pergesekannya, dari hulu hingga ke hilir, panasnya sensasi politik, politik identitas kubu-kubuan antar pemilih.

Kembali pada judul "Sejarah Koalisi di Indonesia, dan Hilangnya Oposisi di Parlemen Sebagai Kekuatan Penyeimbang." 

Versi awamologi penulis yakni keberpihakan kepada rakyat yang semu, koalisi seakan memandulkan fungsi lembaga tinggi wakil rakyat legislatif diparlemen. Hakikat dari sebuah istilah asing  check and balance kinerja Eksekutif.

Prihal oposisi di parlemen seperti tidak berfungsi jikalau pemerintahan yang dibangun dari multipartai besar, yang persentase jauh dari kata standar ideal oposisi. 

Koalisi seakan membuat para dewan terhormat tunduk pada kebijakan parpol mereka, mengutip perkataan Buk Megawati, kader paprol adalah petugas partai. 

Artinya semakin kuat parpol pendukung pemerintah semakin kuat pula daya tekan parpol pada para wakilnya. 

Lantas, dasar ini menjadikan parlemen bukan lagi sebagai kekuatan penyeimbang, pengontrol serta pengawasan pemerintah. Ditambah lagi beberapa lembaga tinggi negara dipilih atas rekomendasi dari Presiden dan disetujui oleh wakil rakyat.

Lalu, kemanakah harapan rakyat dialamatkan? entahlah 

Oposisi ditentukan/dipengaruhi besarnya intervensi parpol, realita pilpres tidak ubah dengan pilkada. Adanya kesamaan pada hal deal-dealan para pemangku kewenangan. 

Dan, semoga pemilu 2024 mendatangkan wajah baru, melahirkan oposisi berkelas, yaitu oposisi lahir karena prinsip diri. DPR memiliki pandangan objektifitas. Semoga.

Salam

Sumber Bacaan:
#Kompas.com
#Tempo.com
#Detik.com
#Wikipedia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun