Pagi itu, mentari baru saja menebar hangatnya ketika Thea, seorang gadis cerdas dan ramah, mulai sibuk dengan kegiatannya. Sebagai mahasiswa semester akhir yang hidup mandiri di perantauan, Thea sudah terbiasa mengurus segalanya sendiri, mulai dari keperluan sehari-hari hingga urusan kampus. Hari ini, ia harus menyelesaikan detik-detik terakhir pendaftaran wisuda - tugas yang memeras waktu dan energi.
Setelah membereskan kamar kos mungilnya, Thea bergegas turun dari lantai tiga menuju garasi. Tumpukan motor di parkiran kos putri membuatnya harus menggeser satu per satu kendaraan sebelum motornya sendiri bisa keluar.Â
"Yah, nasib anak kos, parkiran selalu berantakan," gumamnya sambil menarik napas panjang. Thea menyalakan motornya, dan seketika pandangannya tertuju pada indikator bensin di speedometer. Hanya tersisa satu kotak. Dengan sedikit menghela napas, ia memutuskan untuk terlebih dahulu mengisi bahan bakar di SPBU terdekat sebelum berangkat ke kampus.
Thea kembali memasuki parkiran motor untuk mengambil helmnya. Jam di tangannya menunjukkan pukul 8 pagi. Jalanan masih terlihat lengang, namun pikirannya sudah dipenuhi berbagai tugas yang harus ia selesaikan di kampus hari ini.
Setelah itu, ia menuju kos Dina, teman satu angkatan yang menjadi tempat andalannya untuk mencetak dokumen. "Din, udah bangun belum? Aku mau ngeprint nih," Thea mengetuk pintu sambil menempelkan telinganya, berharap ada respons. Tak lama kemudian, pintu terbuka, menampilkan Dina dengan mata merah dan rambut acak-acakan. "Masuk aja, laptop di meja," katanya, setengah menguap.Â
"Udah, nggak usah repot. Aku bawa laptop sendiri, kamu tidur lagi aja," Thea nyengir lebar, tapi Dina hanya membalas dengan tatapan tajam. "Dahlah, gara-gara kamu aku udah nggak ngantuk lagi," gerutu Dina. Thea hanya tertawa kecil, menikmati momen kecil ini sebelum melanjutkan harinya.Â
Berkas dicetak, amplop cokelat dibeli (setelah salah sebut "hitam" yang membuatnya malu luar biasa), selanjutnya ia menuju kampus. Thea berjalan sendirian menuju TU fakultasnya. Dalam hati, ia bergumam, "Sepi banget, tumben..." Setibanya di ruang TU, ia celingak-celinguk, mencari-cari petugas. Namun, ruangan itu kosong. Lima hingga sepuluh menit berlalu, dan tidak ada tanda-tanda petugas muncul. Akhirnya, ia memutuskan memanggil salah satu bapak-bapak yang sedang duduk di kubikel belakang.Â
"Permisi, Pak," panggilnya sopan. Tiga orang bapak di sana menoleh hampir bersamaan, dan salah satunya berdiri menghampiri.Â
"Ada yang bisa saya bantu, Mbak?" tanyanya ramah.Â
"Ini, Pak, saya mau daftar wisuda," jawab Thea sambil mengulurkan amplop coklat yang ia bawa.Â
Setelah menelepon bagian yang bertanggung jawab, bapak itu kembali menghampiri Thea. "Mana berkas-berkasnya, Mbak?"Â
"Ini, Pak," Thea menyerahkan amplopnya.Â
Namun, bapak tersebut kembali bertanya, "Mbak, syarat kelengkapan berkasnya sudah dicetak belum?"Â
Thea terdiam sejenak, lalu merogoh tasnya untuk mengambil selembar kertas HVS berisi daftar syarat. "Sudah, Pak, ini," jawabnya sembari menyerahkan kertas itu.Â
"Oh, ini harus ditempel dulu," ujar bapak itu sambil memberikan lem kepada Thea.Â
Thea mencoba membuka lem tersebut dan memencetnya beberapa kali, tapi tidak ada yang keluar. Bapak TU dengan sigap mengambil lem lain, namun hasilnya sama saja, lem tetap tidak keluar. Setelah mencoba berbagai cara, termasuk menusuknya dengan jarum dan mengganti tutupnya, akhirnya lem itu berfungsi.
"Fiuh, akhirnya," gumam Thea lega, sebelum mulai menempelkan kelengkapan berkasnya satu per satu. Setelah semua selesai, bapak TU memeriksa ulang berkas-berkas tersebut dan memastikan semuanya lengkap.Â
"Sudah beres, Mbak. Bisa lanjut ke tahap berikutnya," kata bapak itu sambil menyerahkan amplop kembali ke Thea.Â
"Terima kasih banyak, Pak," ucap Thea dengan senyuman kecil.
Setelah selesai di TU, ia menuju UPA Bahasa. Tapi siapa sangka, berkas fotokopi yang ia bawa ternyata harus diganti dengan dokumen asli. Thea menuruni tangga dengan lelah, kembali ke kos untuk mengambil berkas, lalu naik lagi ke lantai tiga. Semua ini dilakukan di tengah cuaca yang begitu terik.Â
Ketika semuanya selesai, Thea duduk di depan perpustakaan, meneguk air mineral yang ia bawa. Punggungnya bersandar, matanya terpejam. Sinar matahari yang terik menambah kelelahan yang sudah mendera tubuhnya sejak pagi. Namun, ia tidak punya banyak waktu untuk istirahat. Ketika ponselnya bergetar, ia segera membuka mata dan melihat layar.Â
"Oh, Daren," gumamnya sambil menjawab panggilan. Setelah percakapan singkat, ia tahu Daren sedang dalam perjalanan ke perpustakaan.Â
Tak lama setelah Daren tiba, mereka masuk ke dalam perpustakaan. Seperti biasa, perpustakaan siang itu terasa dingin dan tenang, kontras dengan panas terik di luar. Mereka berjalan menuju meja resepsionis untuk mengurus beberapa dokumen.Â
"Baru bisa diambil jam 1 nanti. Kamu mau nunggu atau pulang dulu?" tanya Daren, memastikan rencana Thea.Â
Thea menghela napas pelan. "Hmm, tunggu aja deh," jawabnya singkat.Â
"Udah bayar wisuda belum? Biasanya urusannya lama. Mending kamu bayar sekarang biar nanti bisa langsung daftar," saran Daren, serius menatap Thea.Â
"Enggak deh, besok aja. Uangku belum cukup, aku baru ditransfer nanti sore," kata Thea sambil menggigit bibirnya.Â
Daren menghela napas panjang, lalu menoleh ke arahnya dengan ekspresi yakin. "Ngapain nunggu besok? Aku bayarin dulu aja. Nanti kita daftar bareng," ujarnya tanpa ragu.Â
"Gak usah lah, besok aku bisa kok daftar sendiri," Thea mencoba menolak, tapi Daren sudah memutuskan.Â
Tanpa banyak bicara, Daren menarik tangan Thea dan mengarahkannya ke tempat pembayaran. "Sekarang aja, ayok. Nggak ada alasan," katanya sambil tetap menggenggam tangannya.Â
"Tapi..." Thea tampak ragu, tapi langkah Daren terlalu cepat untuk dihentikan.Â
"Udah, nanti kamu ganti aja kalau uangmu udah ada," kata Daren, menoleh sambil tersenyum santai.Â
Pasrah, Thea akhirnya mengikuti. "Oke, thanks, Daren," gumamnya pelan, merasa sedikit lega meskipun canggung.Â
Setelah selesai membayar administrasi wisuda, Thea keluar dan menghampiri Daren yang sudah menunggunya di luar. "Habis ini mau ke mana, Ren?" tanyanya sambil berdiri di sampingnya.Â
"Aku mau ke rumah temen dulu. Masih jam 11.30, kan," jawab Daren sambil melirik jam tangannya.Â
Thea mengangguk. "Oke, makasih ya. Hati-hati di jalan."Â
Daren menoleh padanya sebelum pergi. "Mau nebeng aku sekalian, nggak?" tawarnya.Â
"Enggak, aku nunggu di perpustakaan aja. Lagian aku bawa motor sendiri," balas Thea sambil tersenyum kecil.Â
"Ya udah, aku duluan ya. Sampai ketemu nanti." Daren melambaikan tangan dan berjalan menuju parkiran.
Setelah berpisah dengan Daren, Thea melangkah menuju perpustakaan. Di tengah pikirannya yang dipenuhi jadwal dan tugas, ia berharap tempat itu bisa memberinya sedikit ketenangan.Â
Namun, begitu ia masuk, sebuah suara ceria disertai tepukan ringan di bahunya membuatnya tersentak.Â
"Hai, ngapain di sini?" ujar seorang cewek berhijab dengan kacamata frame hitam, tersenyum lebar.Â
Thea terdiam sesaat, matanya terpaku pada sosok di depannya. Otaknya sibuk mencari jawaban: Siapa ini? Kok dia nyapa aku?Â
"Oh, Rahma!" serunya begitu kesadarannya kembali. Ia langsung menatap temannya dengan penuh rasa heran. "Serius nih, kamu pakai hijab siang-siang begini? Lagi ada apa, ini? Hijrah mendadak atau apa? Hari spesial, ya?"Â
Rahma hanya tertawa kecil, membuat Thea semakin penasaran dan siap membombardirnya dengan pertanyaan berikutnya.
Rahma langsung tertawa terbahak-bahak. "Enggaklah. Aku cuma belum keramas, jadi begini aja biar rapi." Mereka berdua tertawa, memecah keheningan di perpustakaan.Â
Thea dan Rahma akhirnya duduk di meja yang sama. Rahma sibuk dengan revisi skripsinya, sedangkan Thea mengetik laporan untuk melengkapi administrasi wisudanya. Selama satu setengah jam, keduanya tenggelam dalam pekerjaan masing-masing.Â
Ketika waktu menunjukkan pukul satu, Thea bangkit dari kursinya. "Ma, aku turun dulu ya. Mau ambil surat," katanya kepada Rahma.Â
Rahma menutup laptopnya. "Aku ikut turun, sekalian istirahat bentar."
***
Di depan meja resepsionis, Thea langsung menyampaikan maksud kedatangannya.Â
"Pak, saya mau ambil surat atas nama Thea," ujarnya singkat.Â
Petugas perpustakaan, seorang pria paruh baya dengan senyum ramah, mengangguk lalu memeriksa tumpukan berkas di hadapannya. Suasana hening sejenak, hanya terdengar suara kertas yang dibolak-balik.Â
Namun, tiba-tiba petugas itu menghentikan gerakannya dan menatap Thea dengan alis terangkat.Â
"Kamu merasa kehilangan sesuatu?" tanyanya, suaranya datar namun penuh teka-teki.Â
Thea mengerutkan dahi. "Enggak, Pak."Â
Petugas itu hanya tersenyum kecil sambil melanjutkan pekerjaannya, tapi sesekali melirik Thea dengan tatapan penuh arti.Â
Setelah beberapa menit, petugas bertanya lagi, "Coba diingat-ingat, ada yang kurang nggak?"Â
Thea mulai panik. Ia merogoh tasnya, memeriksa satu per satu barang di dalamnya. Ketika menemukan dompetnya tidak ada, ia langsung teringat sesuatu. "Oh iya, Pak, dompet saya!" ucapnya dengan wajah memerah.
Petugas tersenyum sambil menyerahkan dompetnya yang ternyata tertinggal di depan perpustakaan. "Hati-hati lain kali, ya," katanya. Thea hanya bisa tersipu malu, mengucapkan terima kasih, lalu melanjutkan proses pengambilan suratnya.Â
Thea memasukkan surat dan dompetnya ke dalam tas, lalu menyempatkan diri mengucapkan terima kasih kepada petugas perpustakaan sebelum berbalik menuju pintu keluar. Dengan langkah cepat, ia memutuskan untuk langsung pulang ke kos. Namun, di tengah jalan, ponselnya bergetar lagi.Â
Ia berhenti sejenak, merogoh tasnya, lalu mengangkat telepon. "Halo, Ren? Gimana? Dimana? Iya, aku di depan ULT," katanya sambil menatap gedung administratif kampus.Â
Di ujung sana, suara Daren terdengar tegas, "Tunggu di situ, ayok daftar sekarang."Â
Belum sempat Thea membalas, panggilan langsung terputus begitu saja. Ia mendengus kecil, tapi sebelum sempat menyimpan ponselnya, notifikasi lain muncul. Drrtt - sebuah email masuk.Â
Thea membuka pesan itu dengan cepat, dan matanya berbinar saat membaca judulnya: Konfirmasi Pembayaran Berhasil.Â
Senyum mengembang di wajahnya. "Syukurlah! Oke, aku bisa daftar sekarang." Dengan penuh semangat, ia jongkok di depan Gedung ULT, menunggu kedatangan Daren.Â
Tak lama, Daren datang dengan langkah tergesa-gesa. "Ayo masuk!" ajaknya tanpa basa-basi.Â
Mereka bergegas menuju ruang pendaftaran dan - akhirnya - semua selesai dalam satu hari.Â
Begitu keluar, Thea menghela napas panjang, lalu menangkupkan kedua telapak tangannya ke wajah. "Arghh, akhirnya selesai juga!" serunya sambil meregangkan kedua tangannya ke atas, menatap langit.Â
Daren di sebelahnya mengelus perut dengan wajah memelas. "Makan yuk, laper nih!" rengeknya seperti anak kecil.Â
"Iya, aku juga! Dari pagi belum makan," jawab Thea sambil tertawa kecil.Â
"Udah, sama aku aja. Motormu tinggal di kampus, kita harus makan enak hari ini buat self-reward!" Daren langsung melangkah mendahului.Â
Thea hanya bisa melirik tajam ke arah pria itu, yang selalu sukses membuat motornya jadi korban parkiran kampus hingga malam. "Hmm, okelah," gumamnya sambil mengikuti Daren yang sudah jauh di depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H