Mohon tunggu...
Mujib AlMarkazy
Mujib AlMarkazy Mohon Tunggu... Guru - Hidup mulia atau mati dalam perjuangan mencari ridho Allah

Guru Ngaji di Pedesaan, yang penting Allah ridho untuk bekal akhirat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Poligami Antara Ilmu dan Kemauan

20 Mei 2019   06:55 Diperbarui: 20 Mei 2019   07:13 567
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: twitter.com/detikcom

By

Mujiburrahman Al-Markazy

Menikah adalah separuh agama. Bukan karena pernikahannya tapi konsekuensi dari pernikahan itu akan mengharuskan menunaikan kewajiban lain yang tidak bisa tertunaikan tanpa melalui jalan ibadah yang satu ini. Bukannya penulis sok tahu dengan perkara pernikahan karena penulis sendiri belum menunaikannya.

Hal yang memicu penulis adalah diskusi singkat antara jamaah masjid dengan penulis antara jedah waktu magrib-isya hari tadi. Penulis berpendapat share dan saling memberi peringatan kebaikan tidak harus melakukannya terlebih dahulu.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh orang yang ingin poligami. Satu sunnah Nabi ini sering di salah artikan oleh kebanyakan wanita dan salah dimplementasikan oleh kaum Adam. Berikut ini penulis tuang dalam tiga plus satu aspek.

1. Kemauan tanpa Ilmu

Kebanyakan kaum Adam sangat berhasrat untuk berpoligami tanpa memperhatikan aspek Ilmu yang berhubungan dengan satu sunnah ini. Sesuatu itu akan fatal jika dilaksanakan tanpa Ilmu. Seperti perkataan Imam Syafi'i, "Man arada dun-ya fa'alaihi bil 'ilmi. Waman aradal akhirat fa'alaihi bil 'ilmi. Waman arada huma fa'alaihi bil 'ilmi."

"Siapa yang menghendaki dunia maka hendaklah ia memiliki ilmunya. Siapa yang menghendaki akhirat maka hendaknya ia memiliki ilmunya. Barangsiapa yang menghendaki mendapatkan keduanya maka hendaklah ia menguasai ilmunya."

Jelas, membutuhkan ilmu yang benar sebelum melaksanakan suatu ibadah atau sunnah tertentu, apalagi sunnah yang berhubungan dengan separuh agama itu. Jika benar ia telah menunaikan separuh agama. Namun sebaliknya, jika salah dalam mempraktekkannya karena kecerobohan tanpa Ilmu adalah bisa merusak separuh agamanya.

Kenapa bisa? Yah, karena di dalamnya akan banyak dusta dan pengabaian hak istri dan orang tua plus semua mertua. Kehidupan hanya seperti main kucing-kucingan tanpa bisa menikmati kehidupan yang di dambakan sebelumnya.

Sebaliknya jika poligami dilakukan secara matang dan sesuai dengan porsi syariat berdasarkan ilmu dan kedalaman hikmah. Bisa saling membantu dalam urusan agama dari istri yang satu dan lainnya. Setiap istri akan mendapatkan bonus khusus dari amalan yang dilakukan oleh sang suami. 

Serta suami bisa membantu dan menunaikan permasalahan banyak orang karena banyak keluarga yang terbantu. Maka, kemauan poligami harus berlandaskan ilmu dan hikmah yang luas, barulah sunnah yang satu ini akan nampak indah.

2. Poligami sukses vs Gagal

Jika kita perhatikan kejadian orang yang telah berpoligami di sekitar kita, maka selalu ada yang sukses dan tidak sedikit yang gagal. Sukses dalam artian yang sebenarnya bukan sekedar bisa menikah saja dengan istri kedua, ketiga dan seterusnya. 

Banyak yang bisa menghasilkan banyak hafidz Al-Qur'an dari putra-putri para istri sholehah itu. Sesama istri semakin kuat hubungan silaturahmi dan saling menopang dalam menjalankan ketaatan kepada Allah dan menolong suami dalam menjalankan amal agama. Setiap istri akan saling menutupi kekurangan dalam menopang kerja agama dari sang imam.

Namun pada sisi lainnya, banyak yang gagal dalam menjalankan poligami. Konflik antar istri, sehingga membuat suami tidak bisa fokus dalam beraktivitas. 

Suami dianggap 'pengkhianat cinta' oleh istri pertama dan tidak bisa menunaikan hak yang seharusnya diberikan kepada istri kedua dan istri-istri lainnya. Jangankan bisa berlaku baik pada orang tua dan semua mertua, keluarga inti saja tidak bisa tertunaikan secara sempurna.

3. Pentingnya Ilmu Poligami

Ada beberapa hal yang perlu diketahui atau diilmui sebelum melangkah ke jenjang poligami bagi sang suami.

*Tauhid untuk Istri

Sebelum sang suami memutuskan untuk membangun rumah tangga poligami perlu memperhatikan dan menguatkan kewajiban suami kepada istrinya. Kewajiban yang paling utama adalah membentuk keimanan istri yang membaja.

Sehebat apapun kemauan dari suami untuk berpoligami, jika tidak tertulis di Lauhil Mahfudz dalam kitab takdir-Nya, maka kemauan itu tidak akan terlaksana. Sebaliknya, sehebat apapun keengganan suami atau istri untuk tidak berpoligami, jika ketetapan Allah adalah poligami yang terjadi tetap apa yang Allah kehendaki.

Keimanan yang dibentuk dalam segala hal, apa saja yang terjadi adalah kehendak Allah. Apa saja yang Allah tetapkan terjadi maka akan terjadi dan sebaliknya apa saja yang tidak dikehendaki oleh Allah walaupun diusahakan seperti apapun maka tidak akan terjadi.

Kehidupan yang selalu dipenuhi dengan keluhan adalah bukti bahwa keimanan kepada Allah dan takdir begitu lemah, dan sebaliknya, kehidupan yang dipenuhi dengan kesabaran dan rasa syukur adalah bukti keimanan yang teguh kepada Allah dan takdir ilahi. Dari hal ini saja sang imam sudah bisa mengukur kwalitas kepemimpinan dalam keluarga kecilnya.

*Kemampuan Manajemen

Membangun keluarga sama dengan membangun sebuah organisasi yang begitu kompleks. Walaupun kelihatan sederhana, keluarga memiliki keunikan dalam menata dan mengelola organisasi terkecil dalam masyarakat ini dengan apik. 

Jika benar manajerialnya maka akan benar pula roda organisasi itu berjalan, tapi sebaliknya jika salah dalam memanage maka akan berakibat fatal dalam organisasi cinta itu.

Institusi cinta itu memiliki kelebihan dan seni tersendiri yang harus benar dalam pengelolaannya. Ada beberapa hal yang perlu di manage oleh seorang suami. Hal ini diilhami dari potongan ayat dalam Surat An Nisa: 3, "fainkhiftum al-laa ta'dilu fawaahidatan." Maksudnya, jika kamu khawatir tidak mampu berlaku adil maka cukuplah kamu menikahi satu wanita saja.

Setidaknya ada 3 hal yang perlu di manage oleh seorang suami.

- Manajemen Waktu

Memberikan waktu adalah memberikan perhatian. Perkara yang dianggap sepele dalam berumah tangga adalah waktu. Jangankan seseorang itu beristri lebih dari satu, kadang satu istri saja seorang suami jarang memberikan waktu dan perhatiannya di rumah. 

Jatah waktu yang diberikan syariat kepada suami untuk menggilir dan menunaikan hak istri adalah 7 hari untuk Istri yang masih gadis dan 3 hari untuk Istri yang sudah janda pada 'malam pertama' saja. Setelah itu waktu yang diberikan kepada setiap istri adalah sama. Hal ini berdasarkan riwayat Bukhari-Muslim. 

"Dari Anas r.a., berkata "Sebagian sunah Nabi SAW ialah apabila seorang laki-laki menikahi seorang gadis sesudah yang janda, bolehlah ia tinggal padanya selama tujuh malam, dan apabila ia mengawini perempuan yang sudah janda, boleh ia tetap padanya selama tiga hari, dan seterusnya diadakan giliran." (H.R. Bukhari dan Muslim)


Hikmah diberikan jatah istri yang gadis 7 hari setelah pernikahan adalah karena sifatnya gadis lebih pemalu ketimbang yang janda. Ini salah satu hikmahnya. 


- Manajemen Ekonomi.

Penjatahan dan manajemen yang baik dalam mengatur ekonomi haruslah proporsional kepada semua istrinya. Perlu dipahami bahwa, adil tidak bermakna sama rata tapi proporsional. Maksudnya, setiap jatah yang diberikan ke istri tidak mesti sama kadar 'uang belanjanya'. 

Sebagai contoh istri pertama telah dikaruniai 5 anak, maka tidak bisa disamakan dengan istri kedua yang tidak memiliki anak atau dengan istri lain yang beban kehidupannya tidak seperti istri pertama. Jatah yang diberikan adalah proporsional berdasarkan tanggung jawab suami di bawah pengasuhan istri tersebut.


- Manajemen Konflik

Sifat hikmah dan dalamnya ilmu dapat diketahui dari bagaimana cara menyikapi permasalahan hidup yang dialami oleh seseorang. Sang suami harus memiliki kepala yang dingin dalam menangani konflik dalam kehidupan. Gampang galau dan menyerah pada keadaan bukanlah sifat dari seorang leader sejati. 

Seorang leader sejati melihat permasalahan hidup seperti seorang peselancar sky melihat hantaman ombak. Ia akan membutuhkan adrenalin dan sikap yang tepat dengan cara yang tepat. 

Sebab jika ragu dan salah menyikapi ombak kehidupan itu, bukan kita bisa meluncur lebih laju dalam kehidupan, tapi sebaliknya akan terguling dan dihempaskan oleh gulungan hantaman ombak kehidupan. Bukan semakin menikmati kehidupan tapi semakin terkapar dan terdampar dalam kehidupan. 

Bagi seseorang yang berfikir untuk berpoligami, silahkan evaluasi diri. Apakah telah memiliki kearifan, hikmah dan ilmu yang cukup dalam menghadapi permasalahan atau belum. 

Sejauh ini bagaimana cara menghadapi dan mengatasi 'sedikit' ombak kecil dalam keluarga. Jurus apa yang digunakan, ilmu hikmah dan kebijaksanaan atau jurus lari dari masalah? Ini sederet pertanyaan untuk mengevaluasi pihak suami sebelum melanjutkan langkah ke jenjang poligami.

*Hubungan dengan semua mertua

Hubungan dengan orang tua pasca menikah dan hubungan dengan mertua mesti menjadi pertimbangan evaluasi kemampuan seseorang dalam berilmu tentang institusi rumah tangga. 

Belum lagi tanggung jawab dari seorang lelaki kepada saudara perempuannya yang belum menikah jika orang tuanya sudah berusia lanjut. Inipun masih dalam kontrol dan tanggung jawab dari seorang saudara lelaki. 

Hari ini begitu banyak rumor dan keadaan yang carut marut. Bagaimana mengakurkan antara istri dengan mertuanya alias orang tua suami, begitu sulit. Tidak sedikit hanya karena menuruti keinginan istri maka seorang anak telah durhaka kepada orang tuanya. 

Padahal tanggung jawab dari seorang istri adalah mentaati suaminya dan tanggung jawab dari seorang suami adalah mentaati orang tuanya terkhusus ibunya. 

Memanglah benar, "Menikah adalah separuh agama." Jika tidak dipenuhi kacaulah separuh agama dari sang suami, jika dipenuhi sempurnalah separuh agamanya.

4. Hati tanggung jawab siapa?

Suatu ketika Rasulullah saw., pun pernah berdoa, "Ya Allah inilah kemampuan saya dalam menunaikan kewajiban saya kepada keluarga saya. Jangan Engkau membebani saya pada sesuatu yang tidak aku sanggupi."

"'Bunda Aisyah r.a., ia berkata, "Nabi SAW membagi-bagi sesuatu antara isteri-isterinya secara seadil-adilnya dan beliau berkata, "Ya Allah, inilah cara pembagianku (yang dapat aku) lakukan pada sesuatu yang aku miliki (pembagian nafkah, pakaian, dan lain-lain), maka janganlah Engkau cela aku pada barang yang Engkau miliki (kecintaan di dalam hati), dan itu tak dapat aku miliki." (H. R. Abu Dawud dan Tirmizi)

Hati adalah milik Allah. Allah hanya akan menghukumi sesuatu yang telah kita nampakan. Kekurangan dalam hati hanya Allah yang tahu. Selama seseorang itu tidak berniat untuk menzalimi pihak lainnya, maka kelemahan yang ada di hatinya bukanlah suatu dosa. 

Misalnya, seorang suami secara hati lebih condong kepada seorang istri itu hal diluar kemampuan suami untuk mengontrol itu dan seharusnya istri mensyukuri hal itu karena bisa membantu suaminya dalam menunaikan kewajibannya mungkin yang tidak dimiliki oleh dirinya tapi disempurnakan oleh partner madunya. Bahkan istri pun akan mendapatkan pahala yang setimpal atas keridhoan dalam mengabdi kepada agama Allah dan suaminya.

Kami sengaja tidak membahas yang berhubungan dengan cinta dan hati secara panjang lebar. Penulis memahami bahwa memang kehidupan rumah tangga membutuhkan cinta dan kasih sayang, akan tetapi kesalahan terbesar bukan berada pada sunnah nabi yang suci itu. 

Kesalahan dan kekurangan yang terjadi hanyalah karena minimnya ilmu dan hilangnya sifat bijak dalam memenuhi kebutuhan baik yang bersifat materi dan non-materi.

Pokok dari tulisan ini tidak mengangkat pembahasan hati dan perasaan yang lebih mendalam, karena sejauh hemat penulis, langkah awal adalah menghilangkan kesalah pahaman dari kaum Hawa dan memangkas jalan kekeliruan dari kaum Adam dalam menyikapi dan mengimplementasikan sunnah agung, poligami itu.

Perkara yang menjadi pembahasan adalah bagaimana berpoligami dan batasan poligami mana yang sesuai syariat. Jangan sampai hanya karena dorongan nafsu tanpa melihat kemampuan dan kematangan dalam segala aspek sehingga satu sunnah Nabi yang begitu mulia itu dicela karena jeleknya pelaku yang mempraktekkannya atau sunnah itu dibenci hanya karena dorongan cinta istri ke suami sehingga mengalahkan cinta kepada Nabi saw dan sunnahnya. 

Akhir kata, poligami adalah sebuah institusi pernikahan yang dilebarkan sayapnya. Hanya saja ada aturan dan sederet  kewajiban yang mesti dipenuhi dalam melakukannya. Sebagaimana akhir dari ayat ketiga Surat An Nisa itu, "zdalika adna al-laa ta'uwluw." Maksudnya, yang demikian itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya."

Hal ini mengindikasikan bahwa, jika pernikahan poligami dilakukan tidak dengan cara yang benar maka akan terjadi aniaya dan kezaliman kepada hak-hak istri lainnya atau bahkan semua istri dan semua keluarga besar baik di pihak lelaki atau suami dan semua keluarga istri. 

Namun sebaliknya, jika dilakukan dengan cara yang benar itulah yang perintahkan. Maka, dari poligami ini akan menghasilkan kemanfaatan yang luar biasa besarnya. Wallahu alam bishawab. 

Semoga bermanfaat (Follow, like, komen)

_________________________

Dalam perjalanan menuju Kendari, Sulawesi Tenggara.
15 Ramadhan 1440 H
20 Mei 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun