Mohon tunggu...
Mujahid Zulfadli AR
Mujahid Zulfadli AR Mohon Tunggu... Guru - terus berupaya men-"jadi" Indonesia |

an enthusiast blogger, volunteer, and mathematics teacher | https://mujahidzulfadli.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mati Bahagia ala Albert Camus

8 November 2016   06:20 Diperbarui: 8 November 2016   20:04 786
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di suatu sore, saya menemukan sebuah buku pada salah satu acara pameran buku. Judul buku itu cukup membuat hati gentar sekaligus senang: Mati Bahagia. Perpaduan antara ‘Mati’ dan ‘Bahagia’. Buku ini merupakan karya Camus. Albert Camus.

Sebenarnya, buku ini tidak diinginkan Camus untuk dipublikasikan. Karya-karyanya yang lainlah –yang hadir setelah ini- yang diterbitkan, dan itu menghasilkan begitu banyak sumbangsih bagi kesusasteraan dunia.

Buku ini merupakan karya klasik yang disusun ketika usianya memasuki awal dua puluh tahunan. Camus sendiri meninggal pada tahun 1960. Tiga tahun sebelumnya di tahun 1957, Camus diganjar Nobel bidang Kesusasteraan karena karya-karyanya yang brilian, utamanya karena “kejujuran yang tajam menerangkan masalah-masalah seputar kesadaran manusia di zaman sekarang

Nirwan Dewanto dalam pengantarnya dengan  jujur mengatakan beberapa sastrawan kelas dunia memang menggilai filsafat. Pun karya ini tidak lepas sama sekali. Bahkan kata Nirwan, karya ‘filsafat berbulu sastra’ ini memiliki bulu sastra yang begitu tebal sehingga para pembaca barangkali akan tenggelam dalam kondisi yang tidak sadar dengan alur kisah yang memiliki nilai sastra tinggi.

Buku ini menghadirkan Mersault –Patrice Mersault- sebagai tokoh utama yang membunuh Zagreus demi mengambil uangnya dua juta franc yang begitu besar. Tidak sesimpel itu. Ada banyak perbincangan yang mereka lalui sebelum Marseult memutuskan membunuhnya.

Perbincangan itu adalah tentang “(semangat) hidup”. Dialog-dialog filosofis nan ringkas padat menjalin sedemikian rupa. Yang mengejutkan, adegan ini berlangsung di awal. Pembunuhan tanpa alasan yang terang, tak bisa dimengerti, dan meninggalkan tanya yang tidak henti melangsungkan protes.

Meskipun dalam beberapa cuplikan dialog, ia menyukai Zagreus dengan rasa seperti orang yang hendak menjalin pertemanan. Sikap pendiam dan kaku -barangkali karena masa lalu- yang dimiliki Marseult membuatnya tidak punya banyak waktu dan perhatian untuk memikirkan hubungan keintiman dengan seperti sahabat.

Marseult memang menyimpan cukup kejengkelan pada Zagreus. Pertama-tama karena ia adalah mantan kekasih Marthe. Kedua, karena setelah perbincangan dengan Zagreus selama beberapa kali, ia gerah dengan kemurnian hatinya. Apalagi Zagreus kelihatan begitu menikmati harapan hidupnya di tengah kondisi kedua kaki teramputasi. Cemburu. Jelas ia cemburu.

Persentuhannya dengan Marthe yang begitu jelita berhasil mengobrak-abrik keangkuhannya. Perempuan ini berhasil membuatnya iri.

Iri pada Marthe yang mencintai hidup, dan iri pada mantan kekasih Marthe, iri pada sikap Marthe yang mau menerimanya apa adanya meski ia tahu Mersault adalah orang yang sejujurnya, tidak bahagia. Ia sedang menemani orang yang punya kadar bahagia yang akan begitu sulit dimengerti secara langsung.

Dalam salah satu pengakhiran dialog pamungkas, Zagreus bilang ke Marseult, “satu-satunya tugasmu dalam hidup adalah berbahagia

***

Di sinilah bermula pencarian kebahagiaan ala Marseult yang keras kepala, setelah menghilangkan nyawa calon temannya itu.

Setelah sukses membuat kematian Zagreus seolah bunuh diri, ia menanggalkan pertaliannya dengan Marthe. Lalu mulai melarikan diri lewat trem ke trem mengunjungi beberapa tempat di Eropa Tengah.

“Aku harus meraih hidupku. Pekerjaanku delapan jam yang harus kubuang dalam sehari, menghalangiku untuk meraih hidupku” dalam sebuah komentar tangkasnya untuk Zagreus.

Praha dan Swiss adalah dua kota yang terakhir ia kunjungi sebelum ia menjadi begitu sangat bosan. Ia begitu merindukan kebahagiaan yang berjalin dengan hubungan antar sesama manusia, yang intim, yang dekat, katakanlah seperti keluarga.

Sebenarnya, begitu ia pergi, ia telah mengacaukan identitasnya, menghancurkan keterikatan akan identitas dan rasa pulang ke kampung halaman.

Setelah beberapa waktu pergi dan menjalin hubungan yang akrab dengan hanya segelintir orang, ia mulai diterkam bosan, alih-alih merindukan sebuah suasana baru atau kerinduan atau hubungan(?). Menikmati hari-harinya yang tidak punya tendensi menyelesaikan apapun kecuali masalah yang terjadi pada saat itu. Menikmati tubuhnya yang bergembira pada laut, laut, dan laut, di daerah pedesaan.

“Sibuk apa kalian? Ceritakan tentang diri kalian dan tentang sinar matahari, kepada pria yang tank punya kampung halaman ini” tulisnya pada teman bersuratnya di Aljir.

Maka dengan itu, ia memutuskan kembali ke Aljir. Menemui anak-anak angkatnya Rose dan Claire. Anak-anak muda yang begitu bergairah dalam hidup. Menyusul Catherine yang belakangan tinggal di rumah mereka. Mereka tinggal harmonis dengan perbincangan yang dialogis yang selalu terjadi.

Menariknya, Mersault tertarik berdialektik dengan anak angkatnya yang satu ini, Catherine.

Ada pertanyaan kejutan Catherine pada Mersault, “apakah kau bahagia?

“…kau salah kalau kau percaya kalau kita harus memilih, kalau kita harus melakukan apa pun yang kita mau, dan kalau ada persyaratan untuk meraih kebahagiaan. Yang terpenting adalah keinginan untuk berbahagia, dan kau harus selalu sadar akan keinginanmu itu. Sisanya –wanita, karya seni, dan keberhasilan duniawi hanyalah dalih untuk berbahagia. Sebuah kanvas untuk lukisan kita”

Atau di lain hari, Mersault berujar padanya:

“seorang seniman harus tahu kapan ia harus berhenti, kapan sebuah pahatan tidak lagi memerlukan sentuhan, dan bahwa dalam hal ini keinginan untuk menjadi bodoh lebih berguna bagi sang seniman kewaskitaan, keinginan untuk menjadi bodoh bisa berguna untuk menyempurnakan hidup dalam kebahagiaan.”Bagi mereka yang pandai, keinginan untuk menjadi bodoh harus diraih”

Pada ujungnya, dengan segala –aktivitas keseharian tanpa tendensi- yang dikerjakan oleh Mersault selama ia hidup di kampung halamannya, di Aljir, dan di pedesaan nun jauh di sana, ia tahu bahwa bahagia punya defenisi sendiri, masing-masing.  Terpisah antara satu dengan yang lain. Sehingga, ia berhasil menarik sebuah langgam kebahagiaan ‘ala Patrice Mersault”:

***

Namun, setelah bertemu Lucienne, yang memberinya perasaan yang sama seperti Marthe, ia memutuskan untuk menikah. Mengapa? karena keinginannya untuk menjadi bahagia, seperti yang ia teriakkan ke Zagreus.

Tetapi, sama saja. Mersault adalah Mersault dengan ide kebahagiannya sendiri, tak tercampur. Kemudian ia memutuskan lagi untuk pergi. Tanpa bersama Lucienne. Kecuali, ia menulis surat karena mengharapkan Lucienne berada di sana sewaktu-waktu.

Ia pindah ke suatu tempat di mana ia bisa melihat pantai, pedesaan, dan tentunya, rumahnya bisa menghadapkan dirinya ke dunia. Menatapa dengan angkuh sekaligus rendah hati pada dunia yang terhampar di hadapannya. Ia menyebutnya, “Rumah Dunia.”

Rumah yang ia tasbihkan akan memberikan kebahagiaan, karena ia begitu menginginkan kesendirian. Kesendirian yang ternyata juga sia-sia tapi membuatnya sanggup untuk berbahagia. Dari hari ke hari.

“Percayalah, tidak akan ada kesedihan, penyesalan, atau kenangan. Semua akan terlupakan bahkan cinta sejati. Itulah sedih dan senangnya hidup. Hanya ada satu cara untuk menyikapi hal-hal yang kau jumpai dalam hidup, dan kadang kau menyadarinya”

“Cinta adalah keinginan yang menyengsarakan, tapi jangan pernah berpikir kalau cinta tidak berguna. Paling tidak, dengan mencinta kau mempunyai sedikit dalih untuk keputusasaan tanpa alasan yang diderita oleh semua manusia

Baik Marthe maupun Lucienne, kedua orang itu mampu menghadirkan kepada Mersault sebuah kebahagiaan dengan menjadi peneman. Tetapi Mersault sendiri mencoba mengambil jarak yang cukup besar. Tidak membiarkan mereka berdua mengambil porsi yang banyak dari bagian hidupnya.

Barangkali, kecuali Bernard. Seorang Dokter desa tempatnya menetap sebelum ia meninggal -dengan belum dan hampir bahagia. Bernard sudah menyaksikan dan mendengar dua hal yang paling rahasia dalam hidup Mersault. Juga menjadi teman yang setia menemani di saat-saat terakhirnya. Akhirnya, jiwanya terenggut sebagaimana ia merenggut jiwa Zagreus, teman ideologisnya.

Pada akhirnya, ia mati dengan bahagia. Setelah merasakan kematian yang dekat, yang tidak ia sadari sebenarnya, ditambah keinginan untuk merasakan banyak hal yang belum ia lihat dan saksikan.

Seperti kata Camus sendiri, “kembali dengan hati berbahagia, pada kebenaran dunia-dunia yang tak bergerak

Kalau kata Nirwan, terjemahan ini menambah sebuah penting pelajaran. “Tentang bagaimana membunuh si pengarang demi menghidupkan novel, mengerjakan adegan pembunuhan demi menumbuhkan alegori, dan membunuh filsafat demi mengamalkan sastra

Oke, sekali lagi, saya ingin mengutip bagaimana bahagia ala Mersault sekaligus ala Camus: “yang terpenting adalah kemampuan untuk rendah hati, untuk menata hati agar sesuai dengan irama hari, dan bukan membentuk irama hari agar sesuai dengah harapan kita”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun