Mohon tunggu...
Mujahid Zulfadli AR
Mujahid Zulfadli AR Mohon Tunggu... Guru - terus berupaya men-"jadi" Indonesia |

an enthusiast blogger, volunteer, and mathematics teacher | https://mujahidzulfadli.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mati Bahagia ala Albert Camus

8 November 2016   06:20 Diperbarui: 8 November 2016   20:04 786
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“…kau salah kalau kau percaya kalau kita harus memilih, kalau kita harus melakukan apa pun yang kita mau, dan kalau ada persyaratan untuk meraih kebahagiaan. Yang terpenting adalah keinginan untuk berbahagia, dan kau harus selalu sadar akan keinginanmu itu. Sisanya –wanita, karya seni, dan keberhasilan duniawi hanyalah dalih untuk berbahagia. Sebuah kanvas untuk lukisan kita”

Atau di lain hari, Mersault berujar padanya:

“seorang seniman harus tahu kapan ia harus berhenti, kapan sebuah pahatan tidak lagi memerlukan sentuhan, dan bahwa dalam hal ini keinginan untuk menjadi bodoh lebih berguna bagi sang seniman kewaskitaan, keinginan untuk menjadi bodoh bisa berguna untuk menyempurnakan hidup dalam kebahagiaan.”Bagi mereka yang pandai, keinginan untuk menjadi bodoh harus diraih”

Pada ujungnya, dengan segala –aktivitas keseharian tanpa tendensi- yang dikerjakan oleh Mersault selama ia hidup di kampung halamannya, di Aljir, dan di pedesaan nun jauh di sana, ia tahu bahwa bahagia punya defenisi sendiri, masing-masing.  Terpisah antara satu dengan yang lain. Sehingga, ia berhasil menarik sebuah langgam kebahagiaan ‘ala Patrice Mersault”:

***

Namun, setelah bertemu Lucienne, yang memberinya perasaan yang sama seperti Marthe, ia memutuskan untuk menikah. Mengapa? karena keinginannya untuk menjadi bahagia, seperti yang ia teriakkan ke Zagreus.

Tetapi, sama saja. Mersault adalah Mersault dengan ide kebahagiannya sendiri, tak tercampur. Kemudian ia memutuskan lagi untuk pergi. Tanpa bersama Lucienne. Kecuali, ia menulis surat karena mengharapkan Lucienne berada di sana sewaktu-waktu.

Ia pindah ke suatu tempat di mana ia bisa melihat pantai, pedesaan, dan tentunya, rumahnya bisa menghadapkan dirinya ke dunia. Menatapa dengan angkuh sekaligus rendah hati pada dunia yang terhampar di hadapannya. Ia menyebutnya, “Rumah Dunia.”

Rumah yang ia tasbihkan akan memberikan kebahagiaan, karena ia begitu menginginkan kesendirian. Kesendirian yang ternyata juga sia-sia tapi membuatnya sanggup untuk berbahagia. Dari hari ke hari.

“Percayalah, tidak akan ada kesedihan, penyesalan, atau kenangan. Semua akan terlupakan bahkan cinta sejati. Itulah sedih dan senangnya hidup. Hanya ada satu cara untuk menyikapi hal-hal yang kau jumpai dalam hidup, dan kadang kau menyadarinya”

“Cinta adalah keinginan yang menyengsarakan, tapi jangan pernah berpikir kalau cinta tidak berguna. Paling tidak, dengan mencinta kau mempunyai sedikit dalih untuk keputusasaan tanpa alasan yang diderita oleh semua manusia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun