Akan tetapi, kewarnegaraan juga mengandung sifatnya yang dinamis. Proses yang selalu berjalan. Terus mencari bentuknya dan terus melaju menuju kualitas yang selalu lebih tinggi dari sebelumnya.
Setiap yang mengaku warga akan selalu selibat dengan banyak unsur-unsur lain seperti menjunjung keadilan, melakukan pengorbanan, dan menghargai kebebasan dan hak orang lain. Yang pada ujungnya, sejurus dengan waktu, akan menghasilkan kualitas kewarganegaraan, inilah yang Daniel sebut dengan istilah active citizenship.
Dulu founding fathers bergulat dan bergumul mencari rumusan yang pas sebagai jalan hidup dan ideologi Indonesia. Dalam perjalanan panjangnya, pergulatan itu akhirnya melahirkan demokrasi.
Di masa perjuangan kemerdekaan, kita pernah mencoba-coba Sosialisme-Islam ala Tjokroaminoto-Agoes Salim, Komunis ala Musso-Alimin, dan Nasionalisme Marhaenisme ala Soekarno. Beruntung dari pergulatan itu lahir demokrasi sebagai jalan tengah.
Demokrasi membutuhkan parstisipasi publik seluas-luasnya dan seramai-ramainya. Generasi baru pun terus saja bertumbuh seiring zaman yang terus berubah. Kisah-kisah positif perjalanan pembangunan bangsa tentu sudah banyak.
“Menjadi Indonesia” barangkali seperti sebuah perbincangan antargenerasi tentang bagaimana mereka mengisahkan dan menawarkan peran membangun bangsa dan republik ini di masa yang telah lewat.
Bapak bangsa yang pernah jadi republiken dan interniran, tahu betul bagaimana Indonesia waktu itu masih sesuatu yang baru saja mulai “men-jadi,” penuh perjuangan.
Katakanlah Sjahrir sebagai contoh. Dalam pengasingannya, ia mengamati masyarakat secara langsung. Enam tahun di berada di Banda Neira, ia menyibukkan dirinya dengan mengajar dan bermain dengan anak-anak Banda. Meski di benaknya, tidak pernah lepas bagaimana Indonesia Merdeka.
Suatu ketika pada 29 Mei 1936, Sjahrir di pengasingan Banda Neira, menulis surat kepada istrinya yang seorang Belanda, ia mengatakan,“hidup tanpa emosi jadi “terlampau positif”. Hidup seperti itu tak memadai, sebuah “penalaran abstrak” tanpa “pengalaman” (“ervaring”).” (Seri Buku Tempo. Sjahrir: Peran Besar Bung Kecil. 2010)
Semua bapak bangsa, mengajar dan melibatkan dirinya dengan sejumlah pengalaman-pengalaman. Pengalaman itulah yang dibutuhkan oleh generasi selanjutnya. Adapun kisah dan pelajaran di dalamnya, hal itulah yang harus disampaikan. Membincangkan perbaikan bangsa dalam sebuah dialog antargenerasi maupun lintas generasi. Begitu seterusnya kepada setiap generasi yang lahir.
Perbincangan ini mesti ada karena keberlanjutan akan dengan segera diambil oleh generasi selanjutnya. Mereka berceritera, berpesan, agar kita semua bersedia menjadi Indonesia. Siapa lagi kalau bukan anak muda, generasi yang mau menempuh jalan sejarah, seperti kata Rocky Gerung. Kapan lagi...