Mohon tunggu...
Mujahid Zulfadli AR
Mujahid Zulfadli AR Mohon Tunggu... Guru - terus berupaya men-"jadi" Indonesia |

an enthusiast blogger, volunteer, and mathematics teacher | https://mujahidzulfadli.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sebuah Pesan untuk "Menjadi Indonesia"

16 September 2016   00:04 Diperbarui: 16 September 2016   09:02 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Tribunnews.com

Jangan mau jadi pengecut, hidup sekali harus berarti. Ada yang berubah, Ada yang bertahan. Karena zaman tak bisa dilawan. Yang pasti, kepercayaan harus diperjuangkan | Chairil Anwar

Ibarat sebuah perjalanan, anak-anak muda hari ini menanggung jalan yang masih panjang. Berliku, berkelok, penuh onak duri, mengalami intrik, cobaan, dan lain-lain. Dan sebuah perjalanan, mesti mengambil jeda untuk menghilangkan dahaga dan menegakkan punggung yang kehilangan tenaganya. Bagi mereka, perjalanan belum selesai!

Banyak persinggahan yang harus mereka lalui. Salah satunya adalah rehat sejenak, meresapi sejenak perjalanan mereka selama ini, dengan duduk, di tengah orang-orang tua, demi mendengarkan nasehat dan meminta kembali doanya. Jiwa mereka harus dikobarkan nyala api yang besar! Dan diberikan suplemen kebanggan yang penuh!

Dalam kehidupan masyarakat Bugis Makassar, hal ini dinamakan “pappaseng ri matoa”. Arti literernya, pesan-pesan orang tua dan tokoh masyarakat. Bagi anak-anaknya yang ingin menempuh rantau, atau sedang dalam rantau, moral ini terus saja diulang.

Mengapa? Pertama, karena di dalamnya ada doa yang tidak putus-putus. Mendoakan keselamatan dan keberhasilan anak-anaknya. Itu berarti matoa (orang tua) sungguh rela melepaskan perjalanan mereka, keberangkatan mereka. 

Alasan kedua, orangtua adalah unsur penting yang memberikan pengaruh besar bagi perasaan batin. Pesan beliau merupakan bekal makanan batin setiap saat bila mereka lelah, tidak semangat, dan mengendur. Bila sudah seperti itu, perasaan tenang akan melambari hati dan perasaan.

Dan syukurlah, buku “Menjadi Indonesia: Surat dari dan Untuk Pemimpin” ini ada dengan tujuan menyiapkan anak-anak muda hari ini, sebagai pesan, untuk melewati titik singgahnya masing-masing dengan baik, di manapun mereka berada.

Medio 2014, Pak Boediono memberikan buku ini sebagai kenang-kenangan. Gembira sekali saya waktu itu. Ia bilang begini, “bacalah buku itu, kau akan menemukan nasihat dan pesannya.”Di dalamnya selain pesan Pak Boed, memang terdapat tak kurang dari 120 surat-surat lainnya –ada yang tulisan tangan- dikolase ke dalam sebuah publikasi yang sangat layak dibaca.

Mengapa kita perlu “Menjadi Indonesia?”

Barangkali karena, “Menjadi Indonesia” adalah sesuatu yang terus bergerak, bertumbuh, kadang layu, kadang mekar. Dalam hal ini, saya perlu menguraikan Daniel Dakhidae dalam opininya “Kewarganegaraan.” Bahwa hal “menjadi warga negara” atau katakanlah “menjadi Indonesia” bukan hanya harus diartikan dalam sifatnya yang statis. Ketika 1928 sebuah kontrak kepemudaan mengakui ‘Tanah’, ‘Bahasa’ dan ‘Bangsa’ yang satu, maka sejak itulah tercipta konsekuensi yang tidak bisa kita tolak.

Semua orang yang lahir di tanah yang sudah tersebutkan itu -Indonesia- adalah bagian dari tanah-bangsa-bahasa ini. Tanpa memerhatikan urusan-urusan hukum administratif, pengakuan akan kewarganegaraan secara otomatis tertanam di sana, kata Daniel Dakhidae.  

Akan tetapi, kewarnegaraan juga mengandung sifatnya yang dinamis. Proses yang selalu berjalan. Terus mencari bentuknya dan terus melaju menuju kualitas yang selalu lebih tinggi dari sebelumnya.

Setiap yang mengaku warga akan selalu selibat dengan banyak unsur-unsur lain seperti menjunjung keadilan, melakukan pengorbanan, dan menghargai kebebasan dan hak orang lain. Yang pada ujungnya, sejurus dengan waktu, akan menghasilkan kualitas kewarganegaraan, inilah yang Daniel sebut dengan istilah active citizenship.  

Dulu founding fathers bergulat dan bergumul mencari rumusan yang pas sebagai jalan hidup dan ideologi Indonesia. Dalam perjalanan panjangnya, pergulatan itu akhirnya melahirkan demokrasi. 

Di masa perjuangan kemerdekaan, kita pernah mencoba-coba Sosialisme-Islam ala Tjokroaminoto-Agoes Salim, Komunis ala Musso-Alimin, dan Nasionalisme Marhaenisme ala Soekarno. Beruntung dari pergulatan itu lahir demokrasi sebagai jalan tengah.

Demokrasi membutuhkan parstisipasi publik seluas-luasnya dan seramai-ramainya. Generasi baru pun terus saja bertumbuh seiring zaman yang terus berubah. Kisah-kisah positif perjalanan pembangunan bangsa tentu sudah banyak. 

“Menjadi Indonesia” barangkali seperti sebuah perbincangan antargenerasi tentang bagaimana mereka mengisahkan dan menawarkan peran membangun bangsa dan republik ini di masa yang telah lewat.

Bapak bangsa yang pernah jadi republiken dan interniran, tahu betul bagaimana Indonesia waktu itu masih sesuatu yang baru saja mulai “men-jadi,” penuh perjuangan. 

Katakanlah Sjahrir sebagai contoh. Dalam pengasingannya, ia mengamati masyarakat secara langsung. Enam tahun di berada di Banda Neira, ia menyibukkan dirinya dengan mengajar dan bermain dengan anak-anak Banda. Meski di benaknya, tidak pernah lepas bagaimana Indonesia Merdeka.

Suatu ketika pada 29 Mei 1936, Sjahrir di pengasingan Banda Neira, menulis surat kepada istrinya yang seorang Belanda, ia mengatakan,“hidup tanpa emosi jadi “terlampau positif”. Hidup seperti itu tak memadai, sebuah “penalaran abstrak” tanpa “pengalaman” (“ervaring”).” (Seri Buku Tempo. Sjahrir: Peran Besar Bung Kecil. 2010)

Semua bapak bangsa, mengajar dan melibatkan dirinya dengan sejumlah pengalaman-pengalaman. Pengalaman itulah yang dibutuhkan oleh generasi selanjutnya. Adapun kisah dan pelajaran di dalamnya, hal itulah yang harus disampaikan. Membincangkan perbaikan bangsa dalam sebuah dialog antargenerasi maupun lintas generasi. Begitu seterusnya kepada setiap generasi yang lahir.

Perbincangan ini mesti ada karena keberlanjutan akan dengan segera diambil oleh generasi selanjutnya. Mereka berceritera, berpesan, agar kita semua bersedia menjadi Indonesia. Siapa lagi kalau bukan anak muda, generasi yang mau menempuh jalan sejarah, seperti kata Rocky Gerung. Kapan lagi...

Pesan tersiratnya kira-kira begini, “Hai anak muda, terjun ke masyarakat, libatkan dirimu dengan penalaran dan pengalaman

Apa rumusan “Menjadi Indonesia?”

Buku ini dimulai dengan kutipan surat Goenawan Mohamad tentang rumusannya: Menjadi Indonesia adalah menjadi manusia yang bersiap memperbaiki keadaan, tetapi bersiap pula untuk melihat bahwa perbaikan itu tidak akan pernah sempurna dan ikhtiar itu tidak pernah selesai.

Dalam konteks Indonesia hari ini, “Menjadi Indonesia” yang disinggung tersebut, tidaklah mudah. Masih tersisa problem dimensional yang semenjak reformasi belum teratasi hingga sekarang. 

Negara ini masih sibuk membangun dan menata lagi bata-bata peradaban sosial, pendidikan,ekonomi, budaya, politik, hingga hukum.Telah banyak perbaikan di sana sini. Hal yang patut disyukuri adalah kemauan kita semua untuk me-reformasi (melakukan-perbaikan) diri sendiri, lalu melebar ke lingkungan yang lebih luas.

Kita butuh lebih banyak orang-orang dengan kesediaan yang tinggi ingin “men-jadi” dinamisator perbaikan-perbaikan Indonesia. Menyiapkan badan dan jiwanya agar selalu bersikukuh lewat sikap, keinginan, dorongan hati, dan impulsnya untuk mau melakukan itu semua. Apapun yang orang-orang ini lakukan demi perbaikan-perbaikan itu, pasti akan mendapatkan gairah yang besar karena ketulusannya.

Dan yang lebih penting ialah menyiapkan mental secara positif bahwa usaha perbaikan itu tidak akan pernah sempurna. Umpama bangunan “Indonesia”, semua upaya pembangunannya tidak bisa diselesaikan satu tukang saja. Jerihnya akan dilanjutkan oleh tukang yang lain. Memoles dan memelihara bangunan dilakukan tukang selanjutnya, dan begitu seterusnya. Setiap hari.

Kita tinggal dalam bangunan yang sama bernama “Indonesia.” Setiap orang wajib melakukan penjagaan dan perawatan atas seluruh sisi bangunan. Makanya, tidak ada yang bisa kita lakukan sendirian. 

Kata Goenawan lagi, maka “Menjadi Indonesia” juga berarti menjadi-Indonesia-bersama-orang-Indonesia-yang-lain. Bahwa upaya, sedalam dan seintensif apapun, sebuah upaya tetaplah tinggal sebuah upaya. Ia melibatkan orang lain yang juga selibat dalam proses “Menjadi Indonesia”.

Jangan-jangan, “Menjadi Indonesia” merupakan sebentuk kesadaran kolektif yang ingin diinternalisasi perlahan-lahan oleh inisiatornya, dengan teladan dan hikmah. Mengajak sebanyak mungkin orang lain untuk terlibat memajukan Indonesia.

Jutaan penggerak-penggerak lokal di berbagai daerah telah sedang dalam memajukan negeri ini. Kepada merekalah anak-anak muda hari ini harus menaruh hormat yang setinggi-tingginya. 

Anak-anak muda telah diberi kesempatan merasakan ribuan lapis proses yang telah dibangun dan dikerjakan sebelumnya. Termasuk para penulis surat ini, yang tidak lain tak bukan adalah matoasekaligus bapak dan ibu ideologis dalam kerja “Menjadi Indonesia.” Sebagaimana surat-surat itu ada, direnungkan, ditulis, dan disampaikan kepada mereka: ANAK-ANAK MUDA INDONESIA.

 “Menjadi Indonesia?”,  Mau sampai kapan?

Ibu Saparinah Sadli, seorang pejuang dan aktivis perempuan hingga masa tuanya, menulis dalam suratnya, “Menjadi (Indonesia) adalah tantangan untuk tidak berhenti mengoptimalkan segala potensi yang dimilikinya dan menjadi manusia yang peduli pada kualitas tumbuh kembang bangsa yang tidak akan pernah selesai. Dengan bertumpu pada proses becoming, Menjadi Indonesia adalah kepedulian kita bersama, tua-muda, laki-perempuan, dalam mendukung proses perkembangan bangsa yang terus bergulir.”

Beliau ketua pertama Komnas Perempuan itu menjawab, proses menjadi tercermin dalam keinginan diri untuk tetap menyelesaikan tantangan yang dihadapi dengan menyesuaikan pada berbagai kemunduran fisik, mental, dan sosial. 

Sikap beliau didasarkan pada rasa syukurnya yang telah diberi karunia umur yang panjang. Yang memberikan kami kesimpulan bahwa batas waktu “Menjadi Indonesia” adalah sebatas daya juang yang mampu didayagunakan hingga di penghujung usia.

Dan pada akhirnya?

Pesan-pesan sudah disampaikan dan doa-doa sudah melangit mengangkasa. Perjuangan anak-anak muda hari masih begitu panjang.  Sementara perjuangan mereka telah berpuluh-puluh tahun. 

Begitu banyak bukti perbaikan yang nyata dari semua yang telah mereka perjuangkan. Sebagai Buah integritas dan dedikasi yang tinggi pada perbaikan diri, masyarakat, bangsa dan negara.

Sebagaimana buku-buku lain di dunia, buku ini pun bukan buku yang sempurna. Karena buku yang sempurna adalah buku yang tidak pernah ditulis, kata orang bijak. Tapi pesan yang ditulis, akan tahan lama.

Dan tugas kecil pemuda hari ini adalah menggunakan pappaseng ri matoa “Menjadi Indonesia” sebagai hal yang tidak sempurna. Laiknya ikhtiar yang juga sama tidak sempurnanya. Semoga menjadi doa dan restu bagi anak-anak muda Indonesia yang lain untuk melakukan upaya lebih menutupi ketidaksempurnaan itu.

Saya cuma ingin bilang, buku ini (tetap dan akan selalu) layak.

Terus berkabar dan bercerita.
Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun