Mohon tunggu...
Muh Ibnu Sina
Muh Ibnu Sina Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Psikolog Klinis/RSUD Hj Anna Lasmanah Banjarnegara/Anggota Ikatan Psikolog Klinis Wilayah Jawa Tengah

Satu Satunya Pria Psikolog Klinis yang Eksotis Item Manis Tanpa Pemanis Buatan

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Asyiknya Makan Itu Semu atau Seru?

13 November 2020   21:40 Diperbarui: 14 November 2020   01:38 459
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi oleh @hanamori_nisa

Aku nek kesuh pinginne opo wae tak maem...koyone aku tok sing ngene iki, oh mulane akhir-akhir iki berat badanku naik #Ojo nganti statusku konangan ibnu sina (Kalau saya marah, apa saja ingin saya makan....Sepertinya hanya saya yang merasa seperti ini, oh makanya akhir-akhir ini berat badanku naik #Jangan sampai status saya diketahui ibnu sina)

Tulisan seorang sahabat di WA storynya, memecahkan kenikmatan saya bersama indahnya panorama wisata Dieng sore itu, Minggu, 18 Oktober 2020.

Siang kemarin aku makan cukup banyak, dan setelah selesai, aku merasa sangat menyesal, pada akhirnya kebiasaanku kambuh lagi. Suara itu kayak datang lagi, rasa tidak nyaman dan tidak tenang kembali muncul. Aku muntahkan makanan yang kumakan, tidak hanya sekali.

Setelah muntahan yang pertama, aku kembali makan, dan kembali menyesal, sehingga aku muntahkan lagi makanan yang baru kumakan. Aku muntah berkali kali kemarin. Padahal aku tidak makan nasi, tapi aku merasa tidak tenang memakan sesuatu yang berlemak. Terasa diriku tambah buruk.

Aku menyalahkan semua makanan yang ada di rumah, kenapa tidak ada makanan yang sehat yang bisa aku makan, semua kotor, semua buruk. Aku bingung. 

Tutur klien dalam dalam sesi psikoterapi di poli psikologi instalasi rehabilitasi medik, RSUD Hj Anna Lasmanah Banjarnegara, Kamis 22 Oktober 2020.

Keduanya unik. Nuansa "makan" yang berbeda sesuai pengalaman pribadi. Cerita pertama, tersirat nuansa jengkel, marah, kecewa sehingga makan dijadikan pelarian. Emosi negatif menyebabkan ambisi makannya meningkat. Keinginan dan dorongan meningkat tajam tak tahu apakah lapar atau tidak. Serasa, dia mengalami kelaparan stadium empat sehingga semua ingin dimakan.

Kisah ini merupakan cuplikan tentang perilaku makan sebagai 'solusi' dari tekanan psikologis atau dikenal dengan emotional distress. Banyak pakar mendefinisikannya sebagai suatu keadaan seseorang yang mengalami stres.

Reaksi emosional negatif seseorang saat menghadapi tekanan, ancaman, atau situasi yang menyakitkan. Seperti pada kisah ini, dia marah dan kecewa berlebihan sebagai reaksi terhadap situasi penuh tekanan. Oleh karenanya, perilaku makannya meningkat seolah-olah dirinya mengalami kelaparan kronis.

Kalau membaca Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa edisi III (PPDGJ III), kisah pertama ini dapat disebut sebagai makan berlebihan yang berhubungan dengan gangguan psikologis lainnya.

Tandanya, seseorang makan berlebihan sebagai reaksi terhadap tekanan yang membuatnya stres atau emotionally distressing events. Akibatnya, orang tersebut akan mengalami obesitas. Terlebih, orang itu rentan terhadap penambahan berat badan.

Sedangkan, cerita kedua, tersirat tentang kecemasan terhadap citra tubuhnya. Ia merasakan dilema. kalau tidak makan, maka akan kelaparan.

Namun, jika makan, maka tubuh serasa buruk dan tidak sehat. Kebimbangan tersebut menjadikannya tertekan. Ia mengalami kebuntuan. Hingga akhirnya dia mengeluarkan makanan yang telah ia makan. Hal itu terjadi berulang kali.

Cuplikan ini pun cenderung menggambarkan orang dengan gangguan makan (anorexia nervousa). PPDGJ III dan DSM-5 (Diagnostic and Statistical Manual Of Mental Disorder) menyebutkan kalau anorexia nervousa termasuk gangguan makan yang ditandai dengan keyakinan yang keliru terhadap citra tubuhnya.

Para penyintas selalu cemas kalau-kalau berat badannya naik. Seringkali, ia menggunakan beragam cara untuk mempertahankan berat badannya, misal memuntahkan, menggunakan pencahar, olahraga berlebihan, obat penghilang nafsu makan atau bahkan menolak makan. Dirinya juga sangat kaku terhadap pilihan makanannya, sangat menghindari makanan berlemak.

Apakah diantara kamu pernah mengalami kondisi seperti keduanya? Atau, kamu punya kisah unik lainnya berkaitan sama perilaku makan?

Jika mengalami kebuntuan dari problem makan kamu, mungkin saatnya kamu mengkonsultasikan kondisimu pada ahlinya.

Perilaku Makan 

Makan, merupakan salah satu kebutuhan dasar biologis manusia. Oleh karenanya, mendapatkan asupan makanan (pangan) merupakan salah satu kebutuhan primer manusia. Sandang, pangan, papan.

Makan adalah sarana untuk kelangsungan hidup manusia. Manusia bakal mati kelaparan jika tidak ada asupan makanan dalam jangka waktu tertentu. 

Menurut beberapa peneliti psikologi, perilaku makan dimaknai sebagai cara-cara individu dan atau kelompok untuk memilih, mengonsumsi, dan menggunakan makanan yang tersedia. Perilaku makan ini dapat dipengaruhi faktor budaya dan sosial dimana orang tersebut tinggal. 

Tak sedikit orang yang menjadikan perilaku makan sebagai kegemarannya (hobby). Atau, makan adalah prioritas utama dan atau satu-satunya kebutuhan terpenting dalam hidup. Tak ayal, banyak orang rela merogoh kocek lebih dalam guna memuaskan hobby satu ini.

Terlebih saat ini, 9 bulan pandemi enggan berlalu. Selama itu pula pandemi terkesan menciptakan kebiasaan baru, tak terkecuali perilaku makan kita. Menurut survei BPS Juni 2020, terjadi kenaikan signifikan 46 % terhadap kebutuhan konsumsi makanan. Sebanyak 56 % dari responden menyatakan bahwa kebutuhan terhadap makan mengalami peningkatan selama pandemi.

Makanan ternyata bukan hanya sebagai sumber kekuatan namun juga sebagai sumber kebahagiaan. Paul Fluglestad, pakar dari University of North Florida, bersama kawan-kawannya melakukan studi apakah ada hubungan antara perilaku makan dengan kebahagiaan seseorang.

Hasilnya sungguh menawan. Penelitian yang dilakukan terhadap 2287 remaja ini menyebutkan kalau remaja yang konsisten menjaga pola makan sehat, memilih makanan sesuai kebutuhan diri, akan cenderung bahagia dibandingkan dengan remaja yang tidak konsisten atau abai terhadap perilaku makannya. Ini menandakan, seberapa besar perhatian kita pada perilaku makan, akan menentukan seberapa besar kebahagiaan kita.

Lalu, bagaimana dengan perilaku makan kita selama ini? Yuk kita cermati kembali.

Asyiknya Makan itu Semu 

Fatamorgana. Seperti tidak nyata. Tipu muslihat. Pernahkah merasakan kalau kita makan tapi gak asyik? Atau, sudah makan sepiring tapi kok sepertinya tidak kenyang ya? Mengapa demikian? Mungkin karena asyiknya makan kita semu. Berikut beberapa faktor yang mempengaruhi kondisi itu.

SEKEJAP (S)

Pernahkah mengamati sekeliling kita, ada orang yang makan dengan sangat cepat? Misalnya, makan bakso. Kita baru makan beberapa suap, dirinya sudah habis satu mangkok bakso. Sekejapnya makan ini bisa dilandasi beragam alasan.

Pertama, ingin segera melakukan aktivitas selanjutnya. Tuntutan perkerjaan yang sangat tinggi, atau batas istirahat kerja yang hanya 15 menit bisa melatarbelakanginya.

Kedua, kebiasaan makan cepat. Seseorang yang sudah terbiasa makan cepat, ia akan konsisten dalam situasi apapun. Bisa juga karena sudah dari dulunya seperti demikian maupun karena keadaan lingkungan.

Ketiga, perlombaan. Lomba makan tentunya ada rival persaingan dan waktu terbatas. Kondisi demikian menuntut seseorang untuk menghabiskan makanannya dalam sekejap. 

Sekejapnya makan bisa jadi membuat asyiknya pun cepat berlalu. Alih-alih merasa kenyang, makanan seperti tidak ada rasanya, hambar.

 Jadi, asyiknya makan dengan sekejap itu semu, antara ada dan tiada, seringkali tak terasa. Apalagi, kita semua tahu, menghabiskan makan dengan sekejap atau tergesa-gesa bisa beresiko tersedak.

EMOSIONAL (E)

Makan dalam kondisi galau, marah, kecewa, jengkel, stres, atau perasaan negatif lainnya, bisa jadi asyik. Hal itu jika porsi makan terkontrol, kita menyadarinya dan makanannya dimaknai sebagai penyembuh emosi itu.

Namun, seringkali perasaan negatif justru menyebabkan seseorang lupa diri, dan lepas kontrol. Semua ingin dimakan dan serasa mengalami kelaparan kronis. Persisi seperti kisah pertama di atas.

Hal itu menandakan bahwa suasana emosional negatif akan mengaburkan asyiknya makan. Bisa jadi, ia tidak sadar atas pilihan dan apa saja yang telah dimakannya. Alih-alih menyelesaikan konflik batinnya, orang itu beresiko mengalami obesitas.

DI samping itu, kesedihan atau perasaan negatif lainnya menyebabkan seseorang tidak nafsu makan. Orang tak bersemangat makan atau memilih tidak makan.

Situasi ini semakin menghilangkan asyiknya makan. Yang awalnya makan itu mengasyikkan atau sumber kebahagiaan, berbalik menjadi sesuatu yang hampa, tak berasa sama sekali, atau malah ingin dihindari. Orang merasa tidak lapar padahal mungkin sudah seharian dirinya tidak makan. Kondisi demikian sering dialami oleh para penyintas depresi. 

MELAMUN (M)

Wikipedia menyebutkan (https://id.wikipedia.org/wiki/Melamun), melamun itu suatu kondisi terputusnya pikiran seseorang dengan lingkungan sekitarnya. Tandanya, kontak realita menjadi kabur, pikiran dipenuhi dengan khayalan visual, seperti hal-hal yang menyenangkan, harapan atau ambisi, dan dialami dalam kondisi terjaga.

Pernahkah melamun saat makan? Melamun ini mungkin terjadi saat sedang makan sendirian. Pikiran secara otomatis berselancar ke mana-mana.

Alih-alih fokus pada makanan yang sedang disantapnya, dirinya asyik menikmati lamunannya. Kondisi ini menjadikan asyiknya makan itu semu. Dirinya tidak menikmati setiap kunyahan melainkan terbuai nikmatnya lamunan.

URUNG (Batal) KENYANG (U)

Pernahkah mengalami kondisi dimana makanan tahu tahu sudah habis namun merasa belum kenyang, padahal porsinya sudah banyak? Kok bisa ya? Mari kita periksa kembali. Situasi demikian bisa jadi dikarenakan diri kita sedang multitasking, melakukan beragam aktivitas dalam satu waktu. Atensi yang terpecah akan mengurangi tingkat kesadaran terhadap apa yang sedang kita kerjakan.

Sebagai contoh, makan sambil nonton drama Korea kesukaan. Oleh karena atensi lebih tertuju pada tontonan drama Korea, maka aktivitas makan tidak disadari dan tiba-tiba serasa makanannya cepat habis. Atensi terhadap makan pastinya sangat minim sebab perilaku makan sudah menjadi aktivitas rutin dan otomatis, sehingga terkesan tak butuh atensi berlebih.

Orang bisa makan di tempat yang gelap sekalipun tanpa salah memasukkan makanan ke dalam hidung. Hal ini tanda bahwa perilaku makan sangat otomatis, mudah, dan sangat enteng dilakukan.

Berbeda halnya dengan menonton drama Korea. Asyiknya makan tertutupi oleh serunya tontonan drama Korea. Kenyang pun tak terasa.

Asyiknya makan yang semu ini dapat disebabkan oleh kondisi diri tidak mindful (sadar sepenuhnya). Mindful dimaknai sebagai menyadari sepenuhnya apapun yang sedang dilakukan. Seseorang secara sengaja menghadirkan diri, pikiran, hati, di tempat dan momen tersebut. Here and Now.

Saat sedang makan misalnya, maka seseorang akan sengaja menyadari dan menikmati sajian makanannya. Dengan kesadaran yang sepenuhnya, maka akan menjadikan asyiknya makan itu seru, bukan semu. 

Coba kita rasakan, kapan kita terakhir makan dengan mindful? 

Bagaimana keseruan makan dengan kesadaran penuh? 

Lalu, gimana caranya agar kita bisa mindful?

Asyiknya Makan Itu Seru 

Ada beragam cara. Berikut sekelumit cara agar diri kita bisa menikmati makan sesadarnya. Merasakan asyiknya makan itu benar-benar seru.

Sadari Sensai Inderawi (S)

Kita tahu, bahwa kita memiliki panca indera, mata sebagai penglihatan, hidung untuk penciuman, telinga gunanya pendengaran, lidah/mulut sebagai pengecapan, dan kulit untuk perabaan. Kelima indera ini berfungsi sebagai detector utama dalam mengirimkan informasi pada pikiran kita. Kelima indera ini adalah garda terdepan tubuh kita.

Perlu juga untuk menyadari kehadiran nafas. Seringkali kita makan dengan cepat dan sekejap. Dengan menyadari nafas, makan akan semakin nyaman dan memberikan keasyikan yang seru. 

Misalnya, kita akan makan buah mangga. Kita sengaja melihat mangga itu. Kita amati warnanya, bentuknya, ukurannya. Lalu kita pegang mangganya, kita sadari aroma mangga itu, kita atur nafas kita dengan sebaik-baiknya.

Kemudian kita sengaja mengupasnya slice by slice, pelan-pelan. Kita sadari tekstur mangga itu, lembutnya, licinnya, aromanya pun semakin kuat terasa, serta warna buah dalamnya semakin tampak menyala, mungkin kulitnya berwarna hijau, kuning, atau ijau kekuningan sementara isinya berwarna jingga matang. Lalu kita iris dan sajikan di piring yang telah kita sediakan.

Menyadari sensasi inderawi dan nafas kita ini tampak sederhana, namun seringkali kita abaikan sebab sudah sangat otomatis kita lakukan.

Etika dan Estetika (E) 

Setiap budaya memilki tata krama, adab. atau tata cara masing-masing saat melakukan aktivitas tertentu, tak terkecuali saat menyantap sajian makanan.

Tata krama atau kita kenal dengan etika akan berbuah keindahan (estetika). Lihat saja etika para chef dalam memasak dan menghidangkan setiap makanan. Rapih nan elok. Hidangan yang tersajikan dengan penuh estetika serasa membangkitkan minat makan kita. Lalu menyantapnya dengan etika akan menyempurnakan kenikmatan kita menikmati keindahan itu.

Seperti sabda Nabi Muhammad SAW, makanlah dari yang terdekat, dari pinggir. Seruan itu bermakna bahwa kita makan dengan pelan penuh kehati-hatian, mulai pinggir lalu ke tengah. Makan dari pinggir tidak akan langsung merusak keindahan hidangan yang kita santap. Sedikit demi sedikit, kita sadari, resapi dengan penuh tata krama.

Beragam adab lain seperti makan dengan duduk, berdoa sebelum makan, makan dengan tangan kanan akan menghadirkan estetika dalam perilaku makan.

Bukan hanya itu, banyak tinjauan ilmiah menyebutkan kalau makan dengan duduk jauh lebih menyehatkan daripada makan dengan berdiri. Oleh karena itu, makan beretika dan berestetika menghadirkan keasyikan yang seru.

Rasakan Setiap Kunyahan (R) 

Langkah selanjutnya adalah memasukkan makanan ke dalam mulut. Mangga yang tadinya sudah di tangan, pelan-pelan dimasukkan ke dalam mulut. Letakkan dengan lembut tanpa mengunyahnya terlebih dahulu. Sejenak rasakan sensasi rada dan teksturnya di mulut. Luangkan beberapa saat untuk fokus pada sensasi tersebut. Kemudian, kunyahlah secara perlahan. Jangan buru-buru menelannya. Rasakan perubahan sensasi dari waktu ke waktu.

Ketika kita sudah siap menelan mangga itu, periksa kembali keinginan untuk menelannya. Dengan demikian kita menyadari sepenuhnya bahwa kita akan menelan mangga itu. Lalu, kita menelan mangga itu secara sadar dan perlahan. Terakhir, perhatikan kembali apakah kita bisa merasakan bagaimana mangga bergerak turun ke perut. Rasakan sensasi tubuh dan perasaan secara keseluruhan seusai menyantap mangga itu.

Sensasi mengunyah akan maksimal terasa jika aktivitas ini tidak disambi dengan aktivitas lain. Seyogyanya, kita meluangkan waktu 15-30 menit untuk fokus menikmati makanan. Kalau kita mindful, maka kita akan menyadari betapa proses makan itu memberikan keasyikan yang seru dan membahagiakan.

Ucapkan Syukur (U)

Mengucapkan syukur secara mendalam bisa dilakukan selama proses makan. Baik sebelum, selama, dan seusai makan. Bergembira saat hidangan makanan tersajikan, saat menikmati makan, dan seusai makan. Kita bisa membayangjan proses dari asal mula makanan bermula hingga sampai tersaji di hadapan kita.

Tentunya melaui proses panjang dan terkadang melibatkan banyak orang. Kita juga bisa mendoakan seluruh orang yang terlibat dalam penyajian makan itu.

Bagi yang muslim, bisa dimulai dengan basmalah dan ditutup hamdalah. "Alloohumma baariklana fi maa rozaqtanaa wa qinaa `adzaabannaar" semoga Allah SWT memberikan keberkahan bagi semua orang yang berkontribusi pada makanan tersebut.

Mengucapkan syukur tentunya akan membawa kedamaian dan kebahagiaan. Perilaku makan yang sudah sangat biasa dilakukan ternyata akan memberi keseruan hakiki jika disadari sepenuhnya.

Kalau kamu, asyiknya makan itu SEMU atau SERU? SEMU: Sekejap, Emosional, Melamun, Urung kenyang. SERU : Sadari Sensasi inderawi, Etika dan estetika, Rasakan setiap kunyahan, Ucapkan syukur. 

Referensi 

Aji, Darmawan. 2019. Mindful Life: Seni Menjalani Hidup Bahagia dan Bermakna. Solo : Metagraf

American Psychiatric Association. 2013. Diagnostic And Statistical Manual of Mental Disorder Edition (DSM-5). Washington: American Psychiatric Publishing.

Badan Pusat Statistik. 2020. Hasil Survei Demografi Dampak Covid-19. www.bps.go.id. Diunduh tanggal 11 November 2020

Fluglestad, P.T., Bruening, M., Graham, D.J., Eisenberg, M.E., & Neumark-Sztainer, D. 2013. The Association of eating-related attitudinal balance with psychological well-being and eating behaviors. Journal of Social and Clinical Psychology . 32(10). 1040-1060

Manampiring, Henry. 2019. Filosofi Teras: Filsafat Yunani-Romawi Kuno Untuk Mental Tangguh Masa Kini. Jakarta: Kompas

Maslim, Rusdi. 2001. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas dari PPDGJ III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya

Sohrah. 2016. Etika Makan dan Minum dalam Pandangan Syariah. Jurnal Al Daulah. Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makasar. Vol. 5 No. 1. hlm 21-41

Sugiarto, Ryan. 2015. Psikologi Raos: Saintifikasi Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram. Yogyakarta : Pustaka Ifada

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun