Ketiga, perlombaan. Lomba makan tentunya ada rival persaingan dan waktu terbatas. Kondisi demikian menuntut seseorang untuk menghabiskan makanannya dalam sekejap.Â
Sekejapnya makan bisa jadi membuat asyiknya pun cepat berlalu. Alih-alih merasa kenyang, makanan seperti tidak ada rasanya, hambar.
 Jadi, asyiknya makan dengan sekejap itu semu, antara ada dan tiada, seringkali tak terasa. Apalagi, kita semua tahu, menghabiskan makan dengan sekejap atau tergesa-gesa bisa beresiko tersedak.
EMOSIONAL (E)
Makan dalam kondisi galau, marah, kecewa, jengkel, stres, atau perasaan negatif lainnya, bisa jadi asyik. Hal itu jika porsi makan terkontrol, kita menyadarinya dan makanannya dimaknai sebagai penyembuh emosi itu.
Namun, seringkali perasaan negatif justru menyebabkan seseorang lupa diri, dan lepas kontrol. Semua ingin dimakan dan serasa mengalami kelaparan kronis. Persisi seperti kisah pertama di atas.
Hal itu menandakan bahwa suasana emosional negatif akan mengaburkan asyiknya makan. Bisa jadi, ia tidak sadar atas pilihan dan apa saja yang telah dimakannya. Alih-alih menyelesaikan konflik batinnya, orang itu beresiko mengalami obesitas.
DI samping itu, kesedihan atau perasaan negatif lainnya menyebabkan seseorang tidak nafsu makan. Orang tak bersemangat makan atau memilih tidak makan.
Situasi ini semakin menghilangkan asyiknya makan. Yang awalnya makan itu mengasyikkan atau sumber kebahagiaan, berbalik menjadi sesuatu yang hampa, tak berasa sama sekali, atau malah ingin dihindari. Orang merasa tidak lapar padahal mungkin sudah seharian dirinya tidak makan. Kondisi demikian sering dialami oleh para penyintas depresi.Â
MELAMUN (M)
Wikipedia menyebutkan (https://id.wikipedia.org/wiki/Melamun), melamun itu suatu kondisi terputusnya pikiran seseorang dengan lingkungan sekitarnya. Tandanya, kontak realita menjadi kabur, pikiran dipenuhi dengan khayalan visual, seperti hal-hal yang menyenangkan, harapan atau ambisi, dan dialami dalam kondisi terjaga.