Mohon tunggu...
Muh. Ibnu Choldun R.
Muh. Ibnu Choldun R. Mohon Tunggu... -

Seorang pengajar, tinggal di Bandung. Sampai SMA tinggal di Sukoharjo.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tragedi Mina dari Pandangan Subjektif Saya

28 September 2015   21:24 Diperbarui: 28 September 2015   21:46 910
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya bukan penyintas tragedi Mina. Saya hanya pernah pergi ke tanah Suci pada musim haji Desember 2005- Januari 2006 bersama Ibu dan Bapak saya. Saya sebenarnya sudah menahan diri untuk tidak menulis ini, tapi karena intuisi saya sudah terbukti dua kali, apa yang saya pikirkan 9 tahun lalu, rasanya tidak ada salahnya jika saya menulis, siapa tahu ada sedikit kebaikan yang dapat muncul.  Dengan sedikit pandangan subjektif saya, saya berharap para pembaca lebih objektif dalam mengomentari tragedi Mina, tidak hanya mengedepankan artikel-artikel tertentu yang menyalahkan jama’ah, apalagi jika didasari karena kebencian terhadap golongan tertentu.

Sebenarnya banyak kritik, yang mudah-mudahan bersifat membangun (siapa juga yang akan mendengar) yang akan saya berikan berkaitan dengan pelaksanaan Ibadah Haji, khususnya terhadap Pemerintahan Kerajaan Arab Saudi. Namun berkaitan dengan terjadinya tragedi Mina 2015, saya hanya akan menekankan pada pelaksanaan wajib haji pelemparan Jamarat. Saya pun yakin, tulisan saya ini mungkin tidak akan dipedulikan. Tulisan saya ini,  saya tulis berdasarkan apa yang saya rasakan dan alami pada musim haji 2005/2006, di mana belum ada penambahan jembatan jamarat, juga belum ada proyek perluasan masjidil Haram.

Dibandingkan rukun maupun wajib haji lainnya, menurut saya, pelemparan jamarat adalah aktivitas yang paling beresiko. Jama’ah akan melakukan aktivitas tersebut pada waktu yang telah ditentukan dan harus bergerak (berjalan kaki ataupun menggunakan sarana tertentu), selama tiga hari berturut-turut (tanggal 11,12, dan/atau 13 Dhulhijah). Wukuf di Arafat waktunya juga tertentu( 9 Dhulhijah), tetapi jama’ah tidak bergerak, diam di tenda ataupun duduk di suatu tempat. Thawaf dan Sa’i, jamaah bergerak mengitari Ka’bah dan lari-lari kecil antara Shafa dan Marwa, tetapi waktunya tidak bersamaan untuk seluruh jama’ah dan rentang waktunya panjang. Biasanya jamaah melakukan thawaf dan Sa’i wajib, di hari yang sama dengan kedatangan jama’ah di kota Mekah, jadi kemungkinan terjadinya penumpukan jamaah  yang tak terkendali ketika melakukan thawaf dan sa’i jarang terjadi, karena kedatangan jama’ah di kota Mekah tentunya tidak berbarengan dari seluruh negara. Jama’ah Indonesia saja rentang waktunya hampir 40 hari.

Menyadari resiko tejadinya kecelakaan pada aktivitas pelemparan Jumrah ini (berdasarkan peristiwa terdahulu), saya dan Bapak, sejak wukuf di Arafat sudah merencanakan waktu pelemparan jumrah dengan memilih waktu-waktu tertentu yang sekiranya tidak menjadi waktu favorit para jama’ah. Bapak dan saya tidak mengacu jadwal yang disarankan untuk Jama’ah Indonesia. Ibu tidak ikut dalam pelemparan jumrah ini, karena Ibu saya menggunakan kursi roda.  Pelemparan Jumrah ibu,   saya wakili. Bapak dan saya berpandangan bahwa Ibu termasuk orang yang lemah, sehingga boleh diwakili. Apalagi penggunaan kursi roda ini pada situasi tertentu di tengah desakan-desakan jamaah, bisa menyulitkan diri sendiri dan juga bisa menyulitkan orang lain.

Saya sangat kagum dan respek terhadap jama’ah yang sudah terlihat tua dan terlihat lemah ataupun yang menggunakan kursi roda, tetap melakukan pelemparan jumrah tanpa diwakilkan, padahal beresiko. Ya, Bapak dan saya memang meminimalkan resiko dalam pelemparan jumrah ini. Saya sadar “Pulang” di tanah suci ini adalah salah satu cara terbaik untuk “Pulang”, tetapi saya belum ingin “Pulang”. Saya yakin Bapak pun demikian, karena Bapak pernah mengatakan Beliau ingin berumur sampai 80 tahun. Walaupun tidak pernah diungkap, saya yakin Ibu pun belum ingin “Pulang”.  Menyadari resiko ini, saya sangat respek dan penuh hormat terhadap para jama’ah yang sengaja mencari waktu afdhal dengan segala resikonya. Kalaupun harus “Pulang” karena aktivitas pelemparan jamarat ini, saya yakin itu adalah cara terbaik ke”Pulang” annya.

               Singkat cerita, di hari pertama dan ke dua pelemparan Jumrah  Bapak dan saya, berjalan lancar, tanpa desak-desakan yang berarti, mungkin karena pilihan waktunya tepat. Entah salah perhitungan atau bagaimana, di hari ke tiga, setelah dengan lancar melewati terowongan Mu’asim (waktu itu jalur untuk datang dan pulang di terowongan ini  sudah dibuat terpisah), jama’ah yang menuju  jamarat membeludak. Saya agak lupa, saat itu pukul 7 atau 8 pagi waktu Mina. Saya selalu menggandeng erat tangan Bapak, khawatir terpisah. Walaupun masih pagi tetapi matahari sudah terasa terik. Ada rasa khawatir ketika menyaksikan jama’ah  yang membeludak ini, apalagi setiap melewati persimpangan jalan suasana terlihat kacaus(chaos). Entahlah mungkin hanya perasaan saya saja, derap langkah para jamaah ini seperti melangkah semakin cepat.

Arus jama’ah seperti sudah tidak bisa diperlambat apalagi dihentikan. Ketika itu saya berpikir, kalau ada orang yang terjungkal, apalagi terjungkalnya di pertemuan arus bisa berakibat fatal. Akhirnya setelah berdesak-berdesakan saya selesai melempar jamarat untuk diri saya sendiri dan juga ibu saya.  Bapak juga menyelesaikan pelemparan ini dengan selalu berada di samping saya. Prosesi ketika melempar  ini dalam pemikiran saya, resiko terjadinya kecelakaan lebih kecil dibanding ketika perjalanan mendekati jamarat, walaupun tentu tetap ada kemungkinan terjadi kecelakaan, misal ada yang terjatuh lalu menimbulkan kepanikan. Situasi dalam pelemparan jamarat ini, tidak sekacau arus perjalanan mendekati jemarat. Dalam bayangan saya, paling sering mungkin jama’ah yang didepan, kepalanya terlontar kerikil yang dilempar oleh jama’ah di belakangnya yang lemparannya tidak sukses mengenai jamarat. Dalam pemikiran saya, mungkin karena dalam pelemparan ini,  jama’ah tidak bergerak dengan kecepatan tertentu, jadi situasi kacau yang timbul tidak sekacau perjalanan menuju jamarat.

Nah ketika balik badan untuk pulang ke tenda setelah selesai melempar, saya dan Bapak sedikit kebingungan mencari jalan pulang, harus lewat jalan yang mana. Apalagi melihat lautan jama’ah di mana-mana, semua jalan jadi kelihatan sama. Secara otomatis, ketika membalikkan badan  dan berjalan  kami melawan arus, kami menyadari harus mencari jalan lain.  Entah kebetulan, mungkin juga karena Bapak saya paham bahasa Arab, sehingga bisa bertanya-tanya, akhirnya kami bisa menemukan jalan pulang dengan tidak melawan arus. Sudah tidak melawan arus saja, ternyata situasi jauh lebih kacau dibandingkan ketika berangkat. Setiap melewati persimpangan jalan, situasi tambah semakin kacau.

Situasi kacau ini karena semakin banyak jama’ah yang datang, dan juga ada jama’ah yang pulang. Saat itu saya berpikir kembali, “pantas saja sering terjadi tragedi di sini, karena situasi memang kacau. Tetapi seharusnya bisa diminimalkan terjadinya tragedi ini. Prosesi pelemparan jumrah ini seharusnya bisa dipelajari karakteristiknya. Tetapi entahlah pernah dilakukan riset atau tidak oleh kerajaan Arab Saudi”. Dapat dibayangkan, kami yang hanya berdua saja, sudah merasakan situasi yang kacau dan membingungkan, apalagi para ketua rombongan yang membawa jama’ah yang diketuainya hampir dipastikan pasti menghadapi situasi yang lebih berat, apalagi kalau jama’ahnya sudah berumur dan secara fisik tidak sesehat saya dan Bapak saya. Semoga para ketua rombongan dibalas amal kebaikannya nya oleh Allah SWT.

               Bapak dan saya, tiba di tenda sekitar pukul 10 atau 11, saya lupa, yang ingat pokoknya sangat terik saja. Sambil istirahat, saya masih terbayang situasi kacau tadi. Saya hanya berandai-andai, “bagaimana jika Bapak saya terjungkal tadi, bagaimana jika ibu saya yang berkursi roda ikut ke jamarat”. Sore hari, jam 3 atau 4 waktu Mina, saya mendapat kabar terjadi tragedi di dekat jamarat, dengan jama’ah yang “pulang” ratusan (sumber resmi lebih dari 300). Saya sedih, di lain pihak apa yang saya pikirkan sejak perjalanan di jamarat tadi menjadi kenyataan.

               Ketika tiba kembali di Indonesia, saya membaca berita untuk meminimalkan terjadinya tragedi Mina, akan dibangun jembatan menjadi 4 atau 5 lantai dari yang sebelumnya hanya dua lantai. Saya tidak habis pikir, inti masalahnya bukan lantainya yang kurang, tetapi bagaimana mengendalikan arus jama’ah yang kacau tadi. Penambahan lantai mungkin akan mengurangi kepadatan jama’ah dalam melempar jamarat, tetapi kurang bisa mengurangi situasi kacau arus jama’ah yang menuju jamarat. Entahlah intuisi saya kembali mengatakan, selama karakteristik sistem prosesi pelemparan jamarat belum dipelajari dan dibangun sistem pencegahannya, mau dibangun jembatan 10 lantaipun, tragedi akan tetap berulang di suatu saat.  Tragedi akan bisa  tetap mengintai terjadi di hari pertama, ke dua, atau ke tiga pelemparan jamarat, satu tahun, dua tahun, tiga tahun, ataupun bertahun-tahun kemudian. Akhirnya dengan sedih, intuisi saya terbukti 9 tahun kemudian. Saya lebih sedih lagi, ketika banyak berita yang menyalahkan para jama’ah. Insyaa Allah mereka yang “Berpulang” sudah syahid.

 A. Karakteristik Sistem Prosesi Pelemparan Jamarat

               Sebenarnya bukan kapasitas saya untuk mendeskripsikan sistem ini, para ahli transportasi ataupun pengendali kerumunan massa akan lebih tepat. Saya akan mendeskripsikan sejauh yang saya pikirkan dan saya pahami. Arus jama’ah yang menuju jamarat bisa dianalogikan dengan sistem transportasi, di mana beberapa parameter yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut:

-Rute

Jalur-jalur atau jalan-jalan yang ada sudah dapat dideskripsikan dengan jelas karena bersifat statis. Di mana ada persimpangan, di mana ada jalan membelok dapat diketahui dengan jelas.

-Kepadatan jama’ah yang melintas di rute tertentu dan distribusi kedatangannya

Banyaknya jama’ah yang melintas di rute tertentu dapat dihitung per satuan waktu, dan distribusi kedatangannya dapat dipelajari (apakah terdistribusi seragam, normal, eksponensial, atau yang lainnya). Karena kedua data ini bersifat dinamis, maka diperlukan pengumpulan data beberapa tahun untuk menyimpulkan karakteristiknya

-Kecepatan jalan jama’ah

Kecepatan jama’ah melintas di rute tertentu juga dapat dihitung, apakah melintas dengan kecepatan tetap, atau bergerak dengan percepatan tetap, ataupun malah bergerak dengan percepatan yang tidak beraturan. Karena data ini bersifat dinamis, harus dikumpulkan data beberapa tahun untuk menyimpulkan karakteristiknya.

-Karakteristik jama’ah

Karakteristik fisik meliputi: tinggi badan, warna kulit, umur, dll. Karakter psikis meliputi: emosi, motivasi, kecerdasan dll. Baik karakter fisik maupun psikis pasti sangat bervariasi karena berasal dari lebih dari 150 negara dengan karakteristik khas masing-masing. Ada jama’ah yang mengejar waktu afdhal, ada juga yang mencari waktu aman seperti saya, ada juga yang  mengikuti jadwal yang sudah ditentukan. Baik yang mengejar waktu afdhal, yang mencari aman, ataupun yang sesuai jadwal, menurut saya tetap menghadapi resiko yang sama, karena situasi kacau tidak dapat diprediksi kapan datangnya, karena memang belum ada sistem pencegahan yang diterapkan. 

Jadi kesimpulannya, hampir tidak mungkin pengendalian terhadap karakteristik jama’ah ini. Jama’ah yang emosional, mementingkan diri sendiri, dan semua sifat-sifat negatif harus dipahami sebagai  kekhasan masing-masing individu. Dorong-mendorong antar jama’ah seharusnya dipahami sebagai pertahanan diri alamiah menghadapi situasi yang kacau. Efek dari sifat-sifat negatif jama’ah ini walaupun sangat tidak diharapkan, seharusnya dapat diminimalkan  jika diberlakukan sistem pencegahan yang baik.

-Titik krusial dari sistem

Dapat dibayangkan dengan arus jama’ah yang datang dari berbagai penjuru dengan kecepatan yang tidak dapat dikatakan lambat, dengan tingkat kepadatan jama’ah yang tinggi, sedikit saja ada gangguan, apalagi kalau kebetulan pas di persimpangan, misal ada jama’ah yang jatuh atau tiba-tiba arus jama’ah dialihkan sehingga kepadatan jama’ah di suatu rute secara mendadak bertambah tinggi, tentu akan mengganggu kestabilan sistem.

Gangguan kestabilan bisa ditimbulkan karena kecepatan arus yang tiba-tiba berubah (ada yang jatuh, kalau sengaja berhenti mendadak rasanya hampir mustahil), atau karena adanya penambahan kepadatan jama’ah yang mendadak (misal ada pengalihan rute sehingga menumpuk di rute tertentu). Gangguan kestabilan arus ini, dengan sendirinya akan membuat sistem kacau dan akan menimbulkan kepanikan dari jama’ah, yang pada akhirnya timbul aksi dorong mendorong, sebagai usaha mempertahankan diri alamiah untuk melepaskan diri dari sistem yang kacau.

 B. Pendapat Pribadi

Dari cerita saya dan gambaran sistem di atas, ingin menekankan beberapa hal sebagai berikut

-Jangan menyalahkan jamaah

Apapun alasannya, menyalahkan jama’ah sebagai biang keladi terjadinya tragedi di prosesi pelemparan jumrah adalah sesuatu yang menurut saya, sangat tidak elegan. Apalagi kalau menyalahkan hanya karena dilandasi rasa kebencian karena berbeda golongan. Tahun ini menyalahkan jama’ah dari negara A, tahun 2006 siapa yang salah? Tahun 1990 siapa yang salah? Kalau merujuk dari jumlah korban, apakah kita rela jama’ah Indonesia disalahkan karena menjadi korban yang paling banyak di tahun 1990? Dari ilustrasi cerita saya tadi, bagaimana situasi kacau yang timbul, saya yakin, tidak ada satupun jama’ah yang sengaja ingin membuat kekacauan. Kurang pada tempatnya, Jama’ah sudah menjadi korban, masih juga disalahkan. Kalaupun kekacauan yang ditimbulkan oleh jama’ah, saya yakin karena sistem pencegahan tidak berjalan, sehingga sejarah akan selalu berulang kalau tidak ada perbaikan.

-Kerajaan Arab Saudi Lebih memfokuskan kenyamanan dibanding keamanan

Kalau melihat pembangunan besaran-besaran infrastruktur demi memanjakan jama’ah haji belakangan ini, menurut pendapat saya, pemerintahan Kerajaan Arab Saudi memang sangat fokus untuk memberikan kenyamanan, tetapi kurang memperhatikan keamanan jama’ah.  Menurut saya jauh lebih penting membangun sistem pencegahan tragedi di jamarat dari pada terus menerus terus menerus memanjakan para jama’ah. Apalagi terus menerus mempeluas Masjidil Haram, yang menurut saya urgensinya kurang. Menurut saya,  kenyamanan di Masjidil Haram yang diberikan pada tahun 2006 lalu,  sudah lebih dari cukup. Kalaupun alasannya untuk memperluas daya tampung, Thawaf dan Sai tidak dilakukan dalam waktu bersamaan, para Jama’ah pun sudah bersyukur bisa sholat fardlu di pelataran mesjid, karena di dalam masjid sudah penuh. Jauh lebih penting memikirkan bagaimana membangun sistem pengamanan di Jamarat.

-Sistem pencegahan

Kalau dari sudut pandang teori organisasi perbaikan kinerja bisa ditingkatkan dengan mengubah perilaku atau struktur. Seperti yang sudah saya ceritakan mengubah perilaku jama’ah dengan beragam karakteristiknya, hampir mustahil untuk dilakukan. Pengubahan struktur perangkat lunak, misal dengan pembuatan jadwal pelemparan jumrah untuk masing-masing negara, dapat diupayakan, tetapi kurang berguna, karena prosentase jama’ah yang mengejar waktu afdhol tentu tidak sedikit. Merekapun siap mati dengan mengejar waktu afdhal.

Jadi satu-satunya yang dapat dilakukan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya tragedi Mina adalah dengan mengubah struktur perangkat keras, yaitu membuat sistem pencegahan. Dalam pikiran saya, sistem pencegahan yang akan dibangun mempunyai fungsi-fungsi utama sebagai berikut:

  1. Dapat menghitung jumlah jamaah yang melintas di rute tertentu di waktu tertentu
  2. Dapat menghitung kepadatan rata-rata jama’ah di sepanjang rute tertentu
  3. Dapat menentukan distribusi kedatangan jama’ah ke jamarat (seragam, normal, eksponensial, poisson, atau yang lainnya)

Nah data-data tersebut setelah dikumpulkan selama beberapa musim penyelenggaran haji, dapat disimpulkan karakteristiknya. Dengan melakukan simulasi terlebih dahulu dengan program komputer, setelah diperoleh kesimpulan, dapat dibangun infrastruktur sistem pencegahan, misalnya dengan:

  1. Memasang alat-alat yang dapat menghitung jumlah jama’ah yang melintas di tempat tertentu.
  2. Dibuat sistem buka tutup. Jadi misalnya kepadatan jama’ah di rute tertentu sudah di ambang maksimal, maka secara otomatis ada peringatan, dan rute tersebut ditutup sementara sampai kepadatan normal.
  3. Alat-alat penghitung jumlah jama’ah yang melintas dan penghitung kepadatan ini dipasang di jarak-jarak tertentu dari awal sampai akhir rute, sehingga sejak awal sudah dapat diprediksi bagaimana situasi sistem pada waktu tertentu.
  4. Dengan adanya sistem buka tutup ini, perilaku-perilaku negatif dari para jama’ah yang dapat menimbulkan kekacauan dapat diminimalkan.

Saya yakin pembangunan sistem ini sangat jauh lebih murah dibanding pembangunan perluasan Masjidil Haram.

C. Analisa Singkat terhadap Tragedi Mina 2015

Dengan memperhatikan karakteristik sistem yang sudah saya deskripsikan di atas, saya mencoba mencari sebab-sebab bagaimana tragedi Mina 2015itu bisa terjadi. Seperti saya deskripsikan, hal-hal yang dapat menimbulkan kekacauan sistem adalah:

-Kecepatan jama’ah tiba-tiba berubah mendadak

Hal ini bisa disebabkan adanya jama’ah yang terjungkal, terjatuh, atau melawan arus, apalagi kalau pas di persimpangan jalan. Tetapi sekali lagi saya tekankan menyalahkan jama’ah adalah sesuatu yang tidak elegan. Yang melawan aruspun kadang bukan karena disengaja, tetapi karena terbawa oleh sistem yang rentan terjadi kekacauan. Dorong-mendorong antar jama’ah juga harus dipahami sebagai mekanisme pertahanan diri alamiah dalam menghadapi situasi yang kacau. Artikel online yang dapat digolongkan menyalahkan jama’ah misalnya adalah:

http://www.arrahmah.com/news/2015/09/25/jamaah-haji-dari-iran-tak-mau-diatur-penyebab-tragedi-mina-2015.html

Saya hanya berharap, semoga penulis ini menulis dengan pandangan objektifnya, bukan karena didasari oleh kebencian terhadap golongan tertentu.

-Kepadatan jama’ah yang meningkat secara mendadak

Hal ini mungkin disebabkan oleh pengalihan arus, sehingga jama’ah terkumpul di rute tertentu, ataupun karena distribusi kedatangan jama’ah yang cenderung eksponensial, semakin lama semakin banyak.  Salah satu artikel online yang dapat digolongkan pada sebab ini adalah yang memuat cerita langsung dari saksi hidup yang terlibat dalam situasi kacau tragedi Mina 2015, tetapi bukan korban. https://news.detik.com/berita/3028550/saksi-mata-askar-belokkan-jemaah-haji-indonesia-ke-204

http://kabar24.bisnis.com/read/20150926/15/476182/tragedi-mina-kemenag-akan-telusuri-alasan-askar-membelokkan-jamaah-indonesia

-Kesimpulan

Pendapat pribadi saya, karena saya berpendapat bahwa jama’ah tidak boleh disalahkan, penyebab dari terjadinya tragedi Mina 2015 lebih karena belum adanya sistem pencegahan yang baik, misalnya salah satunya adanya pengalihan arus yang mendadak yang menyebabkan kepadatan jama’ah meningkat di rute tertentu. Sebagai salah satu parameter karakteristik sistem yang harus diperhatikan, pengalihan arus mendadak bisa menyebabkan kestabilan sistem terganggu, apalagi belum ada sistem pencegahan yang baik. Kalau misal artikel alasan kedua tersebut memang benar adanya, saya bisa mengatakan para ASKAR tersebut tidak memahami sistem, bahwa dengan membelokkan arus, akan mengganggu kestabilan sistem, dan bisa mengakibatkan kekacauan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun