Saya bukan penyintas tragedi Mina. Saya hanya pernah pergi ke tanah Suci pada musim haji Desember 2005- Januari 2006 bersama Ibu dan Bapak saya. Saya sebenarnya sudah menahan diri untuk tidak menulis ini, tapi karena intuisi saya sudah terbukti dua kali, apa yang saya pikirkan 9 tahun lalu, rasanya tidak ada salahnya jika saya menulis, siapa tahu ada sedikit kebaikan yang dapat muncul. Dengan sedikit pandangan subjektif saya, saya berharap para pembaca lebih objektif dalam mengomentari tragedi Mina, tidak hanya mengedepankan artikel-artikel tertentu yang menyalahkan jama’ah, apalagi jika didasari karena kebencian terhadap golongan tertentu.
Sebenarnya banyak kritik, yang mudah-mudahan bersifat membangun (siapa juga yang akan mendengar) yang akan saya berikan berkaitan dengan pelaksanaan Ibadah Haji, khususnya terhadap Pemerintahan Kerajaan Arab Saudi. Namun berkaitan dengan terjadinya tragedi Mina 2015, saya hanya akan menekankan pada pelaksanaan wajib haji pelemparan Jamarat. Saya pun yakin, tulisan saya ini mungkin tidak akan dipedulikan. Tulisan saya ini, saya tulis berdasarkan apa yang saya rasakan dan alami pada musim haji 2005/2006, di mana belum ada penambahan jembatan jamarat, juga belum ada proyek perluasan masjidil Haram.
Dibandingkan rukun maupun wajib haji lainnya, menurut saya, pelemparan jamarat adalah aktivitas yang paling beresiko. Jama’ah akan melakukan aktivitas tersebut pada waktu yang telah ditentukan dan harus bergerak (berjalan kaki ataupun menggunakan sarana tertentu), selama tiga hari berturut-turut (tanggal 11,12, dan/atau 13 Dhulhijah). Wukuf di Arafat waktunya juga tertentu( 9 Dhulhijah), tetapi jama’ah tidak bergerak, diam di tenda ataupun duduk di suatu tempat. Thawaf dan Sa’i, jamaah bergerak mengitari Ka’bah dan lari-lari kecil antara Shafa dan Marwa, tetapi waktunya tidak bersamaan untuk seluruh jama’ah dan rentang waktunya panjang. Biasanya jamaah melakukan thawaf dan Sa’i wajib, di hari yang sama dengan kedatangan jama’ah di kota Mekah, jadi kemungkinan terjadinya penumpukan jamaah yang tak terkendali ketika melakukan thawaf dan sa’i jarang terjadi, karena kedatangan jama’ah di kota Mekah tentunya tidak berbarengan dari seluruh negara. Jama’ah Indonesia saja rentang waktunya hampir 40 hari.
Menyadari resiko tejadinya kecelakaan pada aktivitas pelemparan Jumrah ini (berdasarkan peristiwa terdahulu), saya dan Bapak, sejak wukuf di Arafat sudah merencanakan waktu pelemparan jumrah dengan memilih waktu-waktu tertentu yang sekiranya tidak menjadi waktu favorit para jama’ah. Bapak dan saya tidak mengacu jadwal yang disarankan untuk Jama’ah Indonesia. Ibu tidak ikut dalam pelemparan jumrah ini, karena Ibu saya menggunakan kursi roda. Pelemparan Jumrah ibu, saya wakili. Bapak dan saya berpandangan bahwa Ibu termasuk orang yang lemah, sehingga boleh diwakili. Apalagi penggunaan kursi roda ini pada situasi tertentu di tengah desakan-desakan jamaah, bisa menyulitkan diri sendiri dan juga bisa menyulitkan orang lain.
Saya sangat kagum dan respek terhadap jama’ah yang sudah terlihat tua dan terlihat lemah ataupun yang menggunakan kursi roda, tetap melakukan pelemparan jumrah tanpa diwakilkan, padahal beresiko. Ya, Bapak dan saya memang meminimalkan resiko dalam pelemparan jumrah ini. Saya sadar “Pulang” di tanah suci ini adalah salah satu cara terbaik untuk “Pulang”, tetapi saya belum ingin “Pulang”. Saya yakin Bapak pun demikian, karena Bapak pernah mengatakan Beliau ingin berumur sampai 80 tahun. Walaupun tidak pernah diungkap, saya yakin Ibu pun belum ingin “Pulang”. Menyadari resiko ini, saya sangat respek dan penuh hormat terhadap para jama’ah yang sengaja mencari waktu afdhal dengan segala resikonya. Kalaupun harus “Pulang” karena aktivitas pelemparan jamarat ini, saya yakin itu adalah cara terbaik ke”Pulang” annya.
Singkat cerita, di hari pertama dan ke dua pelemparan Jumrah Bapak dan saya, berjalan lancar, tanpa desak-desakan yang berarti, mungkin karena pilihan waktunya tepat. Entah salah perhitungan atau bagaimana, di hari ke tiga, setelah dengan lancar melewati terowongan Mu’asim (waktu itu jalur untuk datang dan pulang di terowongan ini sudah dibuat terpisah), jama’ah yang menuju jamarat membeludak. Saya agak lupa, saat itu pukul 7 atau 8 pagi waktu Mina. Saya selalu menggandeng erat tangan Bapak, khawatir terpisah. Walaupun masih pagi tetapi matahari sudah terasa terik. Ada rasa khawatir ketika menyaksikan jama’ah yang membeludak ini, apalagi setiap melewati persimpangan jalan suasana terlihat kacaus(chaos). Entahlah mungkin hanya perasaan saya saja, derap langkah para jamaah ini seperti melangkah semakin cepat.
Arus jama’ah seperti sudah tidak bisa diperlambat apalagi dihentikan. Ketika itu saya berpikir, kalau ada orang yang terjungkal, apalagi terjungkalnya di pertemuan arus bisa berakibat fatal. Akhirnya setelah berdesak-berdesakan saya selesai melempar jamarat untuk diri saya sendiri dan juga ibu saya. Bapak juga menyelesaikan pelemparan ini dengan selalu berada di samping saya. Prosesi ketika melempar ini dalam pemikiran saya, resiko terjadinya kecelakaan lebih kecil dibanding ketika perjalanan mendekati jamarat, walaupun tentu tetap ada kemungkinan terjadi kecelakaan, misal ada yang terjatuh lalu menimbulkan kepanikan. Situasi dalam pelemparan jamarat ini, tidak sekacau arus perjalanan mendekati jemarat. Dalam bayangan saya, paling sering mungkin jama’ah yang didepan, kepalanya terlontar kerikil yang dilempar oleh jama’ah di belakangnya yang lemparannya tidak sukses mengenai jamarat. Dalam pemikiran saya, mungkin karena dalam pelemparan ini, jama’ah tidak bergerak dengan kecepatan tertentu, jadi situasi kacau yang timbul tidak sekacau perjalanan menuju jamarat.
Nah ketika balik badan untuk pulang ke tenda setelah selesai melempar, saya dan Bapak sedikit kebingungan mencari jalan pulang, harus lewat jalan yang mana. Apalagi melihat lautan jama’ah di mana-mana, semua jalan jadi kelihatan sama. Secara otomatis, ketika membalikkan badan dan berjalan kami melawan arus, kami menyadari harus mencari jalan lain. Entah kebetulan, mungkin juga karena Bapak saya paham bahasa Arab, sehingga bisa bertanya-tanya, akhirnya kami bisa menemukan jalan pulang dengan tidak melawan arus. Sudah tidak melawan arus saja, ternyata situasi jauh lebih kacau dibandingkan ketika berangkat. Setiap melewati persimpangan jalan, situasi tambah semakin kacau.
Situasi kacau ini karena semakin banyak jama’ah yang datang, dan juga ada jama’ah yang pulang. Saat itu saya berpikir kembali, “pantas saja sering terjadi tragedi di sini, karena situasi memang kacau. Tetapi seharusnya bisa diminimalkan terjadinya tragedi ini. Prosesi pelemparan jumrah ini seharusnya bisa dipelajari karakteristiknya. Tetapi entahlah pernah dilakukan riset atau tidak oleh kerajaan Arab Saudi”. Dapat dibayangkan, kami yang hanya berdua saja, sudah merasakan situasi yang kacau dan membingungkan, apalagi para ketua rombongan yang membawa jama’ah yang diketuainya hampir dipastikan pasti menghadapi situasi yang lebih berat, apalagi kalau jama’ahnya sudah berumur dan secara fisik tidak sesehat saya dan Bapak saya. Semoga para ketua rombongan dibalas amal kebaikannya nya oleh Allah SWT.
Bapak dan saya, tiba di tenda sekitar pukul 10 atau 11, saya lupa, yang ingat pokoknya sangat terik saja. Sambil istirahat, saya masih terbayang situasi kacau tadi. Saya hanya berandai-andai, “bagaimana jika Bapak saya terjungkal tadi, bagaimana jika ibu saya yang berkursi roda ikut ke jamarat”. Sore hari, jam 3 atau 4 waktu Mina, saya mendapat kabar terjadi tragedi di dekat jamarat, dengan jama’ah yang “pulang” ratusan (sumber resmi lebih dari 300). Saya sedih, di lain pihak apa yang saya pikirkan sejak perjalanan di jamarat tadi menjadi kenyataan.
Ketika tiba kembali di Indonesia, saya membaca berita untuk meminimalkan terjadinya tragedi Mina, akan dibangun jembatan menjadi 4 atau 5 lantai dari yang sebelumnya hanya dua lantai. Saya tidak habis pikir, inti masalahnya bukan lantainya yang kurang, tetapi bagaimana mengendalikan arus jama’ah yang kacau tadi. Penambahan lantai mungkin akan mengurangi kepadatan jama’ah dalam melempar jamarat, tetapi kurang bisa mengurangi situasi kacau arus jama’ah yang menuju jamarat. Entahlah intuisi saya kembali mengatakan, selama karakteristik sistem prosesi pelemparan jamarat belum dipelajari dan dibangun sistem pencegahannya, mau dibangun jembatan 10 lantaipun, tragedi akan tetap berulang di suatu saat. Tragedi akan bisa tetap mengintai terjadi di hari pertama, ke dua, atau ke tiga pelemparan jamarat, satu tahun, dua tahun, tiga tahun, ataupun bertahun-tahun kemudian. Akhirnya dengan sedih, intuisi saya terbukti 9 tahun kemudian. Saya lebih sedih lagi, ketika banyak berita yang menyalahkan para jama’ah. Insyaa Allah mereka yang “Berpulang” sudah syahid.