Cerpen Muhammad Subhan
Kelebat bayangan hitam itu semakin mendekat. Melompat dari satu pohon ke pohon lain. Sangat sigap. Ilmu olah kanuragannya cukup tinggi. Daun-daun pohon tak terdengar berisik. Begitupun tak ada suara ranting kayu yang patah.
Lelaki itu terpaku mengamati gerakan bayangan hitam itu. Sejak tadi ia telah memasang kuda-kuda siaga. Tangkai golok yang menyelip di pinggangnya ia renggangkan. Waspada kalau-kalau makhluk misterius itu menyerang dirinya tiba-tiba.
Malam semakin pekat. Suara lolongan anjing di lembah Gunung Tandikat yang bersisian dengan Gunung Singgalang itu terdengar sahut-menyahut. Pertanda kabar kurang baik. Suara burung hantu di tengah belantara pun terdengar menakutkan. Suasana mencekam. Belum lagi dinginnya malam menegakkan bulu roma siapa saja yang berada di lembah berkabut itu.
Lelaki itu masih diam. Kedua matanya awas mengamati kelebat bayangan hitam yang kian mendekat ke arahnya. Ia pun menarik napas dalam-dalam. Mengatur detak jantungnya yang terdengar semakin cepat.
Wusssshhh…!!!
"Huph! Heaaahhkh....! Lelaki itu melompat beberapa langkah ke belakang. Benar saja, sosok hitam misterius itu menyerangnya tiba-tiba. Pertarungan sengit pun tak terelakkan.
"Siapa kau! Apa maksudmu menyerangku?" Lelaki itu berteriak di tengah keheningan malam. Tapi bukan jawaban yang ia dapatkan, melainkan pukulan dan tendangan yang bagai kilat berkelebat menghunjam tubuhnya. Untung saja ia punya ilmu beladiri. Dulu, sebelum meninggal, datuknya telah mewariskan jurus pamungkas Kapas Putih. Bagaikan kapas, tubuhnya melayang menghindari serangan bertubi-tubi dari makhluk misterius itu.
Jurus demi jurus yang dikeluarkan manusia bertubuh hitam itu semakin cepat. Lelaki itu tampak kewalahan. Beberapa kali tangkisannya meleset sehingga pukulan telak menghantam perut dan dadanya.
"Hekhh! Achh…!!"
Pukulan di perutnya membuat lelaki itu terjungkal jatuh ke belakang. Belum sempat ia bangkit, satu tendangan berikutnya mendarat di tengkuknya. Untung saja ia mampu menahan. Kalau tidak, mungkin dia sudah mati terkena tendangan yang dipadukan dengan tenaga dalam sangat tinggi.
Secepat kilat lelaki itu melompat ke samping. Berguling-guling. Tubuh hitam itu pun terus mengejar. Semakin cepat. Mengunci langkah lawannya. Jurang dalam menganga lebar di belakang. Dia terjebak. Satu langkah saja mundur ke belakang, maka habislah riwayatnya. Tapi dia belum mau mati. Di benaknya tak ada terbayang cara lain untuk menyelamatkan diri.
Bayangan hitam itu tiba-tiba berhenti menyerang. Tubuhnya tepat berdiri tiga langkah di hadapan lelaki itu. Sorot matanya tajam. Bersinar seolah menyimpan bara dendam membara.
"Apa maumu, hei orang misterius?!" tanya lelaki itu. Napasnya tersenggal-senggal.
Makhluk bertubuh hitam itu tak menjawab. Ia mengepal tangannya. Terdengarlah suara gemeretak jari kedua tangannya yang kekar.
"Aku Biju! Kuingatkan untuk pertama dan terakhir kali, jangan kau dekati lagi Putri Anai. Kalau tidak, kau akan dapati tubuhmu menjadi tengkorak di bawah jurang itu!" Suara lelaki bertubuh hitam itu lantang. Menggelegar bak halilintar di telinga lelaki itu.
Setelah mengucapkan kata-kata itu, lelaki bernama Biju itu melesat ke belakang. Melompati popon-pohon. Lalu menghilang di tengah pekatnya malam. Ilmu meringankan tubuhnya sangat sempurna.
Lelaki itu masih diam di tempatnya. Tiba-tiba saja dia terduduk. Keletihan. Peluh membasahi tubuhnya. Golok masih terselip di pinggangnya yang terasa remuk.
"Biju!" Gumam lelaki itu.
* * *
" Putri Anai, kau cantik sekali," lelaki itu melingkarkan tangannya yang kekar ke pinggang perempuan di hadapannya. Menatap gadis itu penuh nafsu.
"Ah, Rangga, jangan…." Perempuan itu menggeliat. Seperti ular. Ranjang kayu dalam bilik gubuk itu berderit.
Malam malu menyaksikan nafsu dua anak manusia di sebuah gubuk di lembah berkabut itu.
"Rangga..." perempuan cantik bernama Putri Anai itu merebahkan kepalanya di dada bidang lelaki itu.
“Iya, Putri.”
Tiba-tiba Putri Anai menangis.
"Hei, menapa kau menangis?" tatap lelaki itu heran.
"Aku mengingat seseorang," jawab Putri Anai.
"Siapa?" tanya lelaki itu penasaran.
"Biju."
"Siapa Biju?" tanya lelaki itu lagi.
"Suamiku."
"Bukankah dia sudah mati?"
"Entahlah. Dia pergi mengembara dua tahun silam. Aku selalu bermimpi bertemu dengannya."
"Lupakan dia. Bukankah sekarang ada aku?"
Malam semakin beranjak larut. Kokok ayam hutan terdengar sayup. Sebentar lagi fajar menyingsing.
* * *
"Biju..." Lelaki itu masih terduduk di pinggiran jurang. Nafasnya tersenggal-senggal. Otot di tubuhnya terasa sakit.
Biju, suami Putri Anai telah datang dan nyaris membunuhnya. Lelaki itu mencoba bangkit berjalan. Matanya berkunang-kunang. Perutnya mual. Tiba-tiba dia muntah. Darah kental berwarna hitam pekat melompat dari mulutnya.
"Hueekkkh!!!
Tubuh lelaki itu gemetar. Pandangannya gelap. Brraakk!!! Dia terjatuh. Tak sadarkan diri.
* * *
"Aghh... di mana aku?"
Lelaki itu mendapati tubuhnya terbaring di atas sebuah ranjang kayu. Kedua matanya terasa sulit dibuka.
" Rangga, kau sudah siuman?"
Lelaki itu mendengar suara lembut seorang perempuan yang cukup dikenalnya.
"Kau… Putri Anai…. Di mana aku?"
"Di kamarku. Pagi tadi aku menemukan kau tergeletak di pinggir hutan. Apa yang terjadi semalam? Sepertinya kau habis berkelahi," ujar Putri Anai sembari membalurkan ramuan obat-obatan ke dada lelaki itu yang terlihat lembam.
"Ya, aku diserang seseorang," jawab lelaki itu.
"Siapa yang menyerangmu Rangga?" tanya Putri Anai penasaran.
"Biju!"
Bagai halilintar menyambar di telinga perempuan itu. Tubuhnya mundur selangkah. Wajah ayunya tiba-tiba pucat pasi. Ketakutan.
"Kau jangan takut, Putri Anai. Aku berjanji akan membunuhnya," ujar lelaki itu.
Tiba-tiba Putri Anai menangis. Terisak-isak. Terbayang kesalahannya selama ini. Ia telah mengkhianati cinta suaminya. Ia telah jadi pelacur bagi Rangga. Tapi salahkah dia? Biju meninggalkannya tanpa pesan dua tahun silam. Pergi entah kemana. Lasmini mendengar dari penduduk kalau Biju, suaminya itu, sedang menuntut ilmu hitam di lembah Gunung Talang.
"Biju tak akan mengganggu kita, Putri. Tunggu saja saatnya ketika kepalanya kupenggal dan tubuhnya kucincang-cincang," geram Rangga.
Lelaki itu masih memegang perutnya yang sakit. Pukulan dan tendangan Biju begitu membunuh. Untung saja tenaga dalam ia kerahkan setiap kali pukulan dan tendangan Biju mendarat di tubuhnya.
* * *
Malam kesepuluh setelah Biju datang tiba-tiba menyerang lelaki itu. Putri Anai mendekat ke arah Rangga yang terbaring menatapnya. Pandangannya binal. Nafsunya menggelora. Lelaki itu tetap tak bergeming. Namun matanya buas menatap tubuh Putri Anai yang berbalut selendang tipis.
"Rangga, ayolah kemari..." Putri Anai membentangkan kedua tangannya.
Belum sempat Rangga bangkit dari pembaringan, tiba-tiba gubuk yang mereka tempati bergetar. Suara angin di luar cukup kencang. Putri Anai tersentak. Begitupun lelaki itu. Ranjang berderit. Atap gubuk itu terasa hendak diterbangkan angin.
"Ada apa ini? Apa yang terjadi?" Putri Anai ketakutan.
Gubuk terus bergoyang. Suara pintu dan jendela berderit-derit. Rangga melompat cepat dari ranjang kayu menuju jendela. Ia mengintip keluar. Namun alangkah kagetnya ia ketika melihat sesosok tubuh hitam kekar menghunus sangkur berdiri di bawah sebatang pohon beringin di depan gubuk itu.
"Dia datang, Putri," ujar Rangga. Suaranya tertahan.
"Siapa?" tanya Putri Anai semakin takut.
"Biju!"
Mendengar nama itu, Putri Anai semakin gemetar. Secepat mungkin ia melompat dan berlari ke arah lemari pakaian. Dia sambar pakaiannya dan secepat mungkin membalut tubuhnya yang nyaris bugil.
"Biju datang? Aduh, dia akan membunuh kita!"
Putri Anai semakin ketakutan.
"Tenang Putri. Sebelum kita dibunuhnya, aku yang akan membunuhnya terlebih dahulu!" Geram Rangga.
"Jangan. Kau tidak akan mampu menandingi ilmunya!" cegah Putri Anai.
"Tidak! Nanti akan kita lihat golok siapa yang bermandi darah," ujar Rangga.
Setelah berkata demikian ia melompat ke luar rumah. Ilmu meringankan tubuh membuatnya melayang cepat di udara. Tubuhnya yang kekar mendarat tepat di atas tanah sepuluh tombak di hadapan Biju.
"Kau datang lagi bedebah!" geram Rangga.
"Kali ini aku datang untuk membunuhmu!"
Secepat kilat Biju melompat menyerang Rangga. Pukulan dan tendangannya mematikan. Pertarungan sengit pun tak bisa terelakkan.
"Huph! Heah...!!
"Ciaat..!!!" Dekk! Ahh! Hupshh!!!!
Ilmu Biju memang tampak sempurna dibanding Rangga. Rangga kelihatan terdesak. Tangkisan demi tangkisannya tak memberi arti. Tubuhnya tetap terkena pukulan dan tendangan lelaki lawan tandingnya.
"Bajingan! Rasakan ini, yeaahhh...!!!
Rangga mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Tubuhnya berputar-putar membentuk gulungan angin yang menghempas tubuh Biju.
Biju lebih gesit. Seperti orang sedang bersemedi, tubuhnya pun berputar-putar. Ilmu angin puting beliung yang dimiliki oleh keduanya beradu. Membentuk gulungan badai besar. Menghempas apa saja yang ada di sekitar mereka.
"Kau memiliki ilmu puting beliung juga rupanya," ujar Biju.
Jurus-jurus Biju terus mendesaknya. Kekuatannya memang lebih unggul.
Rangga semakin terdesak ke belakang. Satu tendangan Biju mendarat lagi di perutnya.
"Achhhhhh... Hueakkh!!!”
Ranggga muntah darah. Tubuhnya terhempas ke belakang. Terguling-guling.
Secepat itu juga biju mengeluarkan sangkur beracunnya. Mata sangkur yang berkilat diterpa cahaya rembulan itu melesat secepat dari sarangnya.
"Jangan… Heakhhhh.....!!!"
Sangkur yang dilempar Biju melesat cepat menembus dada Putri Anai yang tiba-tiba berlari ke arena pertarungan dan mencoba melindungi Rangga. Perempuan itu jatuh bersimbah darah. Tubuhnya kejang-kejang sesaat, lalu diam.
" Putri.... Tidaakkk…!!!"
Rangga melompat menahan tubuh Putri Anai yang jatuh. Darah segar dari mulutnya terus mengucur deras. Perempuan itu tak lagi bergerak. Mati.
Biju tak bergeming. Matanya menatap tajam ke arah dua insan yang bersimbah darah di hadapannya. Satu sosok lelaki yang saat ini menjadi musuhnya. Dan satunya lagi tubuh istrinya, Putri Anai, yang telah dia tinggalkan dua tahun silam dan tertembus mata sangkurnya yang tajam.
"Bajingan, ku bunuh kau...!!!"
Rangga berlari sekuat tenaga ke arah Biju dan menyerangnya. Belum sempat ia mendekat, dua jarum beracun melesat lebih cepat menembus ulu hatinya. Rangga terjungkal ke belakang. Tubuhnya tepat jatuh di samping kepala Putri Anai. Kemudian diam tak bergeming.
Angin bertiup kencang menyaksikan dua insan yang bersimbah darah itu. Daun-daun dari pepohonan berguguran. Malam semakin larut. Jangkrik tak mengeluarkan suara. Lolongan anjing terdengar menyayat di tengah hutan Tandikat memecah suasana yang semakin mencekam.
Lelaki itu, Biju, tak bergeming dari bumi yang menopang kedua kakinya. Deru napasnya begitu tenang.
Sebelum melangkah meninggalkan dua mayat yang terbujur kaku di hadapannya, sesaat ia memandang tubuh perempuan yang tak lagi bernyawa itu. Perempuan yang lebih sepuluh tahun ia gauli. Dan yang menemani hari-harinya....
Terkenanglah ia akan masa-masa indah bersama perempuan itu, dulu.
"Uda, kalau kita punya anak laki-laki, kau akan beri nama apa?" tanya Putri Anai manja.
"Tentu nama sepertiku, Biju Anggara. Ha, ha..." jawab lelaki itu tertawa renyah.
Seolah tak menginjak bumi, Biju melangkah pergi tanpa menoleh lagi ke belakang. Malam pekat melenyapkan tubuhnya seiring fajar yang akan menyingsing di ufuk timur. []
Dangau di kaki Singgalang, 2007-2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H