Novel Muhammad Subhan
Hari sudah hampir sore. Tapi belum juga ada tanda-tanda orang akan menjahitkan sepatu atau sendal mereka yang rusak. Benarlah, pekerjaan yang paling membosankan itu bernama menunggu. Aku hampir putus asa. Sungguh berat sekali bekerja. Bukan pekerjaannya yang berat, tetapi menunggu rezeki itu datang. Andai tidak sabar, aku ingin cepat pulang.
Ketika aku memutuskan hendak menutup peti sepatu dan pulang kembali ke Kruenggeukueh, seorang perempuan setengah tua dan seorang anak lelakinya menghampiriku. Wajahnya terlihat kusut. Agaknya dia sedang punya masalah. Entahlah, aku tak memedulikan sikapnya itu. Aku berharap dia mau memanfaatkan jasaku.
“Eh, kau. Mana bapak yang biasa menjahit sepatu di sini?” tanyanya ketus.
Aku berusaha tersenyum ramah.
“Maaf Bu, saya mengantikan bapak saya, beliau lagi sakit di rumah.”
“Oh, kau bisa menjahit?” tanyanya lagi.
“Bisa Bu, baru belajar. Boleh saya tolong menjahit sepatu ibu bila ada yang rusak?” tawarku ramah.
“Kau baru belajar, ya? Ah, besok sajalah!”
Tanpa melihatku lagi perempuan itu berlalu pergi. Anak lelakinya yang berusia sekitar 7 tahun menoleh ke arahku. Tersenyum. Aku balas dengan senyum pula dan anggukan kepala. Ah, mungkin belum rezekiku lagi.
Tak lama kemudian, datang seorang bapak-bapak membawa sepatu yang baru dibelinya. Sepatu berwarna hitam itu terlihat berkilat.