“Eh, kau yang menjahit sepatu?” tanyanya, sama pertanyaan dengan perempuan setengah tua tadi.
“Iya, Pak. Ada yang dapat saya bantu?”
“Ini tolong jahitkan sepatu saya, yang rapi ya? Saya baru beli, biar lebih kuat,” katanya sembari menyodorkan sepatu itu.
Alhamdulillah, rezeki datang ketika hendak pulang. Cepat aku raih sepatu itu. Aku perhatikan telapaknya. Sepatunya mudah dijahit, tidak keras. Mulailah aku beraksi, pertama kali seumur hidupku menjahit sepatu orang.
Setengah jam berlalu begitu cepat. Sepatu itu selesai aku jahit. Alhamdulillah. Berpeluh juga dahi dan tubuhku.
“Ini sepatunya Pak.” Aku menyodorkan sepatu itu kepada si bapak yang duduk memerhatikan aku kerja sejak mula ia membawa sepatu barunya.
“Terima kasih, berapa upahnya?”
Aduh. Berapa ya? Aku tak tahu berapa uang yang harus aku minta sebagai upah atas jasaku itu. Aku memang sering melihat bapak menjahit, tapi jarang aku perhatikan berapa pembayaran upahnya.
“Berapa saja deh, Pak.” Spontan aku mengucapkan kalimat itu.
“Lho, kok begitu?” tanyanya heran.
“Iya, karena sudah sore, Bapak boleh membayar berapa saja. Saya ikhlas,” jawabku sembarangan.