Pagi-pagi sekali aku berpamitan lagi kepada bapak dan ibu. Kali ini aku tak berseragam sekolah. Aku tidak mau berbohong lagi. Aku katakan kepada bapak dan ibu kalau kemarin aku bolos, pergi ke Lhokseumawe bekerja menggantikan bapak menjahit sepatu. Aku perlihatkan kepada ibu uang lima ribuan dan sisa uang yang diberi Ustad Ismail pengurus musala.
Bapak tampak marah dalam diamnya ketika aku tetap bekerja menggantikan dirinya yang sakit. Tapi kemarahan itu tak ditumpahkannya kepadaku layaknya ibu bila marah. Melihat uang lima ribuan di tanganku ibu sangat terharu. Uang itu aku serahkan kepada ibu. “Untuk beli beras,” kataku.
Perempuan yang melahirkanku itu memeluk tubuhku dengan erat. Ia menangis. Aku tahu ia sangat menyayangi aku, anak satu-satunya di rumah ini. Bapak memalingkan wajahnya, aku yakin bapak menangis. Bapak sangat mudah tersentuh, apalagi ketika ia tahu aku yang belum cukup dewasa sudah mulai bekerja.
“Hari ini izinkan Agam bekerja lagi, Bu.”
Bapak dan ibu tak menjawab. Masih larut dalam keharuannya.
“Sayang sekolah bila kau tinggalkan, Nak.”
Ibu mengelus kepalaku. Ia tak marah lagi.
“Hanya beberapa hari ini saja, Bu. Aku akan kejar ketertingalan itu nanti. Aku janji akan memberikan nilai terbaik.”
Sekali lagi ibu memeluk tubuhku dengan erat. Aku salami bapak dan ibu. Aku berangkat ke Lhokseumawe lagi. Aku berharap akan dapat uang lebih banyak lagi. Aku siap bekerja keras.
Benarlah, hari itu beberapa orang datang mengupahkan sepatu mereka untuk aku jahit. Hatiku sangat gembira. Walau beberapa orang lainnya yang datang tidak jadi menjahitkan sepatunya lantaran aku anak kemarin sore, tak jadi soal bagiku. Aku yakin rezeki Tuhan tak berpintu. Ustad Ismail melihat semangat kerjaku tersenyum bangga. Dia orang paling baik di dunia menurutku. Betapa tidak, dia datang siang itu seusai salat Zuhur mengantar rantangan dari rumahnya untukku. Istrinya memasak gulai ikan yang sangat lezat.
“Ini untukmu, makanlah,” ujarnya.