Siapa yang tak berbesar hati menerima nikmat yang luar biasa itu? Sudah lama aku tak makan daging ikan. Hari itu Tuhan memberikannya lewat tangan Ustad Ismail, pengurus musala yang baik hati itu.
Sedang asyik menunggu orang datang membawa sepatu atau sendalnya untuk dijahit, tiba-tiba aku berjumpa dengan seorang anak laki-laki jangkung yang wajahnya sangat aku kenal. Anak itu terkejut melihat aku duduk menunggui peti sepatu di antara gang pertokoan di tengah kota yang terik. Anak itu Andi, kawan sekolahku.
“Kau ada di sini? Sudah pulang sekolah?” tanyaku kepadanya.
“Sudah. Kau sendiri tidak sekolah. Guru menanyai kau. Aku mencari ke rumah tadi. Kata ibumu, kau kerja jahit sepatu di sini menggantikan bapak yang lagi sakit,” ujarnya. Matanya awas melihat sepatu-sepatu bekas di atas peti yang aku tunggui.
Aku diam. Ada rasa malu ketika kawan sekolahku tahu pekerjaanku sebagai tukang sol sepatu.
“Ini pilihan yang berat, Kawan. Aku sangat ingin sekolah, tapi aku juga ingin membantu bapak yang lagi sakit. Ini saatnya aku berbakti kepada kedua orangtua,” wajahku menunduk. Ada rasa sedih di sana.
Andi duduk di sampingku. Dia menepuk pundakku lembut. Dia juga terharu melihat aku bekerja menjadi tukang sol sepatu. Seharusnya aku dan dia bermain di lapangan sepakbola, bersenang-senang bersama anak-anak lainnya.
“Besok kau latihan Pramuka, kan?”
Aku menggeleng.
“Kenapa?” tanyanya lagi.
“Aku tak punya kacu,” jawabku.