Mata bapak menerawang. Tampak bola mata itu berkaca-kaca. Terdengar lagi batuk kering bapak yang berat. Tanganku memijat-mijat kaki bapak yang terasa tulang saja menonjol dilapisi kulit.
“Pak, besok Agam tidak sekolah, mau libur dulu.”
Bapak memalingkan wajahnya ke arahku.
“Kenapa?”
“Agam mau bantu Bapak bekerja. Biar Agam yang jahit sepatu. Sudah beberapa hari Bapak tidak kerja. Tentu langganan Bapak mencari-cari. Mohon Bapak iznkan Agam,” pintaku dengan penuh harap.
Lama bapak termenung mendengar ucapanku itu. Berat bapak menahan hatinya.
“Jangan kau korbankan waktu sekolah, Nak. Biarlah, besok Bapak usahakan bekerja,” jawab Bapak. Kemudian Bapak batuk lagi.
“Jangan, Pak. Bapak jangan bekerja dulu. Bapak harus sembuh. Agam sudah bisa menjahit sepatu seperti Bapak. Satu dua hari ini Agam coba bekerja menggantikan Bapak. Kalau dapat uang nanti, Agam berikan kepada ibu. Biar ada beras yang dimasak,” jawabku polos.
Bapak menarik tanganku. Memeluk tubuhku dengan sangat erat. Bapak sangat terharu sekali.
“Bapak mohon kau jangan kerja. Besok Bapak sudah sembuh. Tetaplah sekolah.”
Aku tak menjawab lagi. Aku larut dalam pelukan bapak. Aku rasakan kasih sayangnya. Aku tak mau cepat kehilangan Bapak. Aku ingin membahagian bapak dan ibu kelak, ketika aku sudah besar. Tuhan, sembuhkan sakit bapak. Aku mohon.