Diantara kawan-kawanku di SMP Palda, Andi adalah sahabatku yang paling akrab. Kami merasa senasib sepenanggungan. Aku dan Andi sering main ke rumah Yudha, Pinru Regu Badak. Rumahnya di kampung Tambon Tunong. Orangtua Yudha ramah kepada kami. Bahkan kami sering makan bersama di rumahnya. Sesekali menumpang tidur juga di rumah dia sembari berdiskusi tentang kegiatan-kegiatan kepramukaan.
Sudah beberapa kali latihan atribut Pramuka tidak juga aku miliki. Aku tak punya uang membeli kacu seperti diperintah Kak Rudi, pelatih kami. Satu dua kali aku mulai bolos latihan. Hukumannya harus push-up dan berlari keliling lapangan. Walau demikian aku tetap usahakan terus latihan, karena aku merasa punya banyak kawan di sana.
Suatu hari bapak sakit. Bapak tidak sanggup kerja ngesol sepatu di Lhokseumawe. Berulang pergi dan pulang dari Kruenggeukueh ke tengah kota Lhokseumawe ternyata membuat fisik bapak kelelahan. Disamping faktor usia juga. Sehari dua hari libur kerja masih bisa ditanggulangi ibu kebutuhan di rumah. Tapi hari-hari berikutnya semakin payah. Aku merasakan kesulitan ibu. Tapi bapak tidak mungkin dipaksa bekerja walau bapak ingin terus bekerja.
Dari bilik kamar tidur terdengar suara batuk bapak yang berat. Ibu belum pulang dari rumah camat tempat ia mengambil upah cucian. Aku baru pulang sekolah. Aku lihat di meja makan tudung nasi di bawahnya tak berisi apa-apa. Kosong melompong. Ibu tidak masak. Aku maklum, ibu tak lagi punya uang untuk membeli beras. Makan kami semakin berkurang.
Aku masuk ke bilik bapak. Aku lihat bapak terbaring lemah. Batuknya tidak berhenti juga. Aku ambilkan air minum agar tenggorokan bapak basah. Batuk kering terasa sakit di dada bapak. Aku bantu bapak bersandar duduk di sisi tempat tidur. Aku pandangi tubuh bapak yang kurus, tulang rusuk dan tulang dadanya menonjol ke luar. Kamar yang diterangi lampu 5 watt itu membantu aku melihat jelas tubuh bapak. Rambut bapak semakin memutih saja.
“Kau sudah pulang sekolah?” suara Bapak berat terdengar.
“Sudah makan?” kata Bapak lagi.
Aku diam. Terbayang di meja makan tak ada apa-apa. Tapi aku tak ingin melihat bapak sedih. Aku anggukkan kepala.
“Sudah, Pak. Bapak sudah minum obat?”
“Kapan kau makan?”
“Tadi di rumah kawan, Pak,” jawabku berbohong. Terasa cacing berbunyi di perutku, tapi aku tahan agar ia tak bersuara.