“Tidak bisa. Kau yang baca doa!” perintahnya lagi.
Aku tak dapat lagi mengelak. Takut kalau Wakil Kepala Sekolahku yang mengajar Pendidikan Moral Pancasila (PMP) itu semakin marah dan menghukumku di lapangan. Aku terpaksa menerima tugas untuk pertama kali di dalam hidupku.
“Baik, Pak. Akan saya coba.”
Teks doa yang akan aku baca diserahkan Pak Syamsul. Teks itu satu halaman panjangnya. Tulisannya diketik dengan mesin tik. Cukup jelas terbaca. Aku pun disuruh maju ke depan. Kawan-kawanku yang juga mendapat tugas ikut maju ke depan. Seribuan pasang mata menatap ke arah kami. Disaat berjalan dari barisan ke posisi yang ditentukan, jantungku tak henti-hentinya berdegup cepat. Aku menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri.
Siaaaappp.... Graaakkk....!!!
Yudha, Komandan Upacara memberi aba-aba agar semua peserta upacara dalam posisi siap dan tidak lagi melakukan aktivitas lainnya. Suara anak itu sangat lantang menggema ke udara. Pak Syamsul, Wakil Kepala Sekolah kami menjadi Pembina Upacara pagi itu. Ketika bendera merah putih dikibarkan di tiang bendera diiringi nyanyian Indonesia Raya, aku merasakan ada suatu getaran yang menyusup sangat cepat ke dalam darahku, mengalir ke seluruh tubuh. Dalam posisi hormat aku khusyuk menyanyikan Lagu Indonesia Raya, dan bendera itu berkibar dimainkan angin pagi yang sejuk.
Pembina Upacara Pak Syamsul menyampaikan nasihat kepada siswa untuk tidak terlambat masuk sekolah. Orang yang suka melalaikan waktu dan tidak disiplin, apapun yang dia lakukan akan gagal. Pak Syamsul juga mengucapkan selamat kepada siswa baru yang mengikuti latihan Pramuka. Regu Badak dan Regu Padi SMP Palda dalam setiap kompetisi kepramukaan selalu menjadi juara. Banyak penghargaan dan piala yang diraih Pramuka SMP Palda.
“Kepada anggota baru, tekunlah kalian latihan. Kuasai seluruh keterampilan kepramukaan. Harumkan terus nama baik sekolah ini,” ujarnya.
Setelah amanat pembina upacara selesai, tak lama kemudian protokol memanggil namaku untuk membacakan doa. Tiba-tiba lagi jantungku berdegup cepat. Tangan dan kedua kakiku terasa gemetar. Walau demikian aku tetap berjalan beberapa langkah ke depan di posisi pembaca doa lalu membaca teks doa yang ada di tanganku. Aku tolehkan pandangan sejenak ke seluruh peserta upacara. Wuihhh.... semua mereka memandang ke arahku. Ya Allah, selamatkan aku!
Maka mulailah aku membaca teks doa itu. Mikrofhon yang berdiri di depan mulutku suaranya sangat nyaring, menggema dari pengeras suara di sudut lapangan. Terbayanglah aku wajah Kyai Haji Zainuddin MZ yang sering aku dengar ceramahnya di radio butut milik bapak di rumah. Suaranya sangat bagus. Dalam membaca doa itu aku tiru suara Zainuddin MZ. Hasilnya ternyata bagus juga. Hingga selesai doa itu aku bacakan, alhamdulillah tidak ada kalimat yang salah. Aku kembali ke posisi semula, sembari membusungkan dada bangga.
***