Din Patuk tertawa. Dia mengangguk-anggukkan kepala.
“Tentu. Kemarin aku sudah mendaftar. Kau doakanlah semoga aku bisa sekolah di sana,” katanya kemudian. “Nah, kau sendiri sekolah dimana?” tanya Din Patuk kepadaku.
“Belum tahu. Mungkin di salah satu SMP di Kruenggeukueh itu. Aku tidak tahu apakah sekolah di sana jauh atau tidak.”
“Ya, aku kira di sana juga ada sekolah.”
“Semoga saja, dan mudah-mudahan bapakku punya uang untuk mendaftarkan aku masuk sekolah,” jawabku.
Hari terus beranjak. Din Patuk mengajakku ke pantai. Dia mau ikutan adu layangan. Tentu saja aku senang. Setidaknya aku bisa terkenang ingatan lama ketika masa-masa kecil dulu bermain layangan di Tembung. Tapi aku tak boleh lama-lama. Aku sudah berjanji kepada ibu akan membantunya mengemasi barang-barang yang akan dibawa pindah ke Kruenggeukueh, tempat tinggal baru kami. Beberapa hari lagi masa kontrakan kami habis. Kalau belum pindah, tentu kami harus membayar uang sewa untuk bulan berikutnya.
Di pantai landai berpasir putih kekuningan aku lihat banyak anak-anak seusiaku menerbangkan layangan. Tidak hanya anak laki-laki, tapi juga beberapa diantaranya anak perempuan. Wajah-wajah mereka ceria. Di langit puluhan layangan bermancam rupa dan warna mengudara. Indah sekali pemandangan sore itu.
Din Patuk segera menerbangkan layangannya. Dalam sekejap melayanglah layangan kertas minyak berwarna merah menyala milik Din Patuk di angkasa. Layangan itu naik melenggak-lenggok dengan anggunnya. Senyum Din Patuk mengembang. Dia terus mengulurkan benang layangannya hingga layangan itu terbang tinggi sekali. Dari jauh terdengar teriakan beberapa orang anak-anak yang mengajak Din Patuk bertanding, adu layangan. Din Patuk menyambutnya dengan menganggukkan kepala.
Aku menyaksikan Din Patuk dengan lihainya memainkan layangan. Ternyata dia ahli juga mengadu layangan. Dalam sekejap dua-tiga layangan lawan putus dibuatnya. Tapi dia harus menyerah kalah ketika tiga layangan lawan secara bersamaan menyerang layangannya, lalu tiba-tiba putuslah benang layangannya dan layang berwarna merah itu jatuh meliuk-liuk ke laut. Tak ada yang mengejar, karena angin sepoi bertiup ke laut dengan sangat tenangnya.
“Sial! Aku kalah!” teriaknya sembari membanting gulungan benangnya.
Aku tersenyum. Aku rangkul pundak kawanku itu.