Darmawi keluar kamarnya dan melihat aku dengan senyumnya yang lebar. Dia dipapah ibunya. Anak itu duduk di depanku. Tapi wajahnya terlihat sangat pucat. Tak tampak cahaya hidup di sana. Bibirnya kering. Senyumnya pun terkesan dipaksakan. Iba aku memandang keadaannya.
“Kau jangan dekat aku, duduklah di sana. Sudah tiga hari aku belum mandi,” katanya. Aku tertawa. Dalam kondisi sakit pun dia masih bisa melucu.
“Bagaimana keadaan kau, Mawi? Sudah baikan kah?” tanyaku.
“Entahlah, rasanya semua badanku sakit. Tadi aku dengar kau mengetuk pintu, tapi tak dapat aku jawab. Bangkit pun aku susah. Untunglah datang ibu yang membawa kau masuk. Aku minta maaf,” ujarnya dengan tatapan mata kosong.
“Ah, tidak apa, kawan. Aku maklum keadaan kau. Sudah minum obat, kan?”
Dia mengangguk. Kemudian dia menoleh ke belakang. Memanggil ibunya dengan suara yang berat.
“Ada apa, Mawi?” tanya Ibunya yang tergopoh-gopoh datang.
“Tolong ambilkan buku gambarku, Mak.”
Ibu Darmawi masuk ke dalam kamar anak itu. Tak lama kemudian perempuan itu datang lagi sembari membawa sebuah buku gambar. Buku itu diserahkan kepada Darmawi.
Anak itu membalik-balik buku gambarnya sejenak. Di lembar tengah ia berhenti, ada sesuatu yang ingin dia perlihatkan kepadaku. Tiba-tiba dia merobek selembar kertas buku gambar itu, lalu memberikannya kepadaku.
“Ini buat kau, ambillah.”