“Apa ini?” tanyaku penasaran.
“Itu gambar kapal terbang. Bagus, kan?”
Aku mengangguk. Aku pandangi gambar itu. Sebuah pesawat udara dengan dua sayapnya yang lebar. Ada awan di atasnya. Ada dua ekor burung terbang di sisinya. Di sudut gambar ada matahari.
“Bagus sekali. Terima kasih, kawan,” jawabku.
“Kelak, ketika kau besar, bercita-citalah naik kapal itu. Terbanglah kemana kau suka. Kalau kau sudah jadi orang hebat, tentu kau tak lupa aku kan?”
Aku tersenyum ketika ia mengucapkan kalimat itu. Aku pandangi wajahnya yang semakin pucat.
“Ah, kau bisa saja, kawan. Kau dan aku harus naik kapal ini nanti,” jawabku. Dia pun tertawa dengan lemah. Aku ikut tertawa.
Karena aku berjanji hanya sebentar, aku segera pamit pulang. Darmawi dan ibunya menahan, dan aku disuruh makan siang dulu. Tapi aku tolak, takut bapak marah lantaran aku terlalu lama di Ujongblang. Dengan berat hati ibu dan anak itu melepas aku pergi. Itulah terakhir kali aku bertemu Darmawi, bertatap muka dengannya, bercanda dan tertawa bersama.
Keesokan harinya sekolah kami heboh. Bu Fauziah, kepala sekolah dengan tergesa-gesa masuk ke ruang kelas. Ia berbisik sejenak dengan wali kelas dan minta izin berbicara di depan kami. Seisi kelas hening dan penasaran gerangan kabar apa yang hendak disampaikan Bu Fauziah.
“Anak-anak, kawan kalian Darmawi telah tiada. Tadi malam sakitnya kambuh lagi, dan nyawanya tak tertolong. Ia telah pergi meninggalkan kita untuk selama-lamanya...”
Innalillahi wa inna ilaihi raajiuun...