Suaranya yang keras itu didengar seluruh kawan-kawanku di dalam kelas. Terdengar bisik-bisik menyebut namaku. Tentu saja aku malu. Sejak itu aku menjadi anak yang minder karena ibuku berjualan kue di sekolah. Aku juga menjadi anak yang tidak percaya diri.
Setiap kali jam istirahat, aku duduk di perpustakaan sekolah di samping kantor dewan guru. Dari jauh aku lihat kawan-kawanku mengerubungi ibuku, mereka membeli kue yang dijual ibu. Aku sendiri malu meminta kue kepada ibu. Walau ada diberi sedikit uang jajan oleh bapak, tapi aku tidak biasa jajan di sekolah. Uang itu aku simpan saja, dan setibanya di rumah aku beli roti cokelat yang dijual di warung di dekat rumah. Roti cokelat itu paling aku suka.
Ibu berjualan di sekolah hingga jam belajar usai. Kadang kue yang dijual ibu habis, kadang juga tidak. Bila tidak habis biasanya ibu membawa pulang kue itu dan dibagi-bagikan ke tetangga sebelah rumah. Kadang juga aku pulang bersama ibu, tapi lebih sering pulang sendirian. Sebelum sampai di rumah ibu juga menjajakan sisa kue yang tidak habis di jalanan. Kadang ada yang membeli, kadang juga tidak.
Ketika aku pulang bersama ibu melintasi trotar menuju rumah kami di Kampung Jawa Lama, aku lihat wajah ibu murung. Aku tahu masalahnya pasti soal uang kontrakan rumah yang tidak cukup. Beberapa hari lalu aku dengar bapak dan ibu berbincang di kamar soal uang yang kurang itu kemana hendak dicari. Penghasilan bapak begitulah, kadang ada kadang tidak. Dagangan kue ibu pun kadang habis kadang pula tidak.
“Ibu kenapa? Apakah ibu sakit?”
Aku pandangi wajah ibu. Aku minta membawakan tampah kue ibu yang masih bersisa beberapa potong kue. Ibu tidak memberikannya.
“Tidak apa, ibu tidak sakit,” jawab Ibu.
Tapi perasaanku tidak enak. Sepanjang jalan aku dan ibu banyak diam.
“Kau malu ibu berjualan di sekolah, Gam?” tiba-tiba Ibu bersuara. Aku terkejut.
“Siapa bilang, Bu? Aku tidak malu kok,” jawabku.
“Kenapa kau tidak pernah dekat Ibu saat jam istirahat.”