“Iya, boleh.”
Sesaat kemudian wajah ibu tampak murung lagi.
“Tapi...”
“Tapi kenapa lagi, Bu?” tanya Bu Fauziah.
“Saya khawatir ibu-ibu pedagang di luar pagar akan bertambah marah kepada saya, Bu?” terdengar suara Ibu pelan, wajahnya memperlihatkan kecemasan.
Bu Fauziah menepuk-nepuk pundak ibu penuh perhatian. Sangat bersahabat sekali. Bu Fauziah usianya lebih tua dari ibu.
“Ibu jangan khawatir, nanti saya beri penjelasan kepada ibu-ibu pedagang di luar pagar. Rezeki itu Allah yang beri. Semua sudah dibagi. Tak baik bila ada yang mencemburui rezeki pemberian Tuhan itu,” ujar Bu Fauziah dengan bijaknya.
Mendengar ucapan Bu Fauziah ibu tersenyum. Sungguh karunia Tuhan yang sangat besar diberikan kepada ibu yang mendapat kesempatan berjualan di dalam perkarangan sekolah. Tentulah ibu menjadi orang yang paling istimewa saat itu. Ibu berterima kasih kepada Bu Fauziah yang baik hati, kepala sekolahku.
Sejak mendapat izin berjualan di dalam pagar, pagi-pagi sekali sebelum pintu pagar ditutup penjaga sekolah, ibu sudah masuk ke dalam pagar dan duduk di bangku taman. Ibu meletakkan tampah kue-kuenya di bangku taman. Ibu duduk bermenung hingga waktu istirahat tiba. Dari balik jendela kelas aku lihat ibu duduk di sana. Ibu sangat sabar sekali. Mulai hari itu terkenallah aku sebagai anak tukang sol sepatu dan penjual kue di sekolah.
Ada beberapa kawan-kawanku yang meledek ketika kami berada di dalam kelas.
“Hei Gam, lihat tuh ibu kau jualan kue. Minta dong gratis kuenya...” teriak Dudi, anak yang paling necis gayanya di sekolah. Anak orang kaya. Bapaknya dokter. Dia agak sombong dan nakal.