Setibanya di rumah hari sudah terlalu sore. Ketika aku sampai di rumah, bapak baru saja selesai mandi. Bapak baru pulang kerja.
“Dari mana, kau?” tanya Bapak dengan handuk masih membalut pinggangnya.
“Main di laut, Pak,” jawabku takut.
Wajah bapak memerah. Marah.
“Berapa kali Bapak harus ngomong kau jangan sering main ke laut?”
Aku menunduk. Takut menantang wajah bapak. Ibu datang, merangkul bahuku. Aku disuruh ke belakang, berganti pakaian dan mandi.
“Ibu selalu saja bela anak!”
Bapak kesal melihat aku mendapat pembelaan ibu. Di dalam kamar masih aku dengar suara bapak bagai orang berceramah. Bapak paling tidak suka perintahnya dibantah. Tapi kalau bukan ke laut kemana juga aku akan bermain di kampung pesisir itu? Aku juga tidak sering mandi laut, kok. Aku hanya bermain di pinggirnya saja. Ah, aku tak ingin jadi anak durhaka. Makanya apa yang dikatakan bapak tak berani aku jawab, walau kadang apa yang diperintahkan bapak tak aku jalankan.
Malamnya aku diajarkan ibu mengaji Alquran. Sehabis salat magrib. Aku mengaji dengan mengeja huruf-hurufnya. Alif, ba, ta, tsa... dan seterusnya. Alif di atas A, alif di bawah I, alif di depan U, bacanya A-I-U. Alif di atas An, alif di bawah In, alif di depan Un, bacanya An, In, Un. Bacaan itu kadang aku lagukan agar terdengar enak di telinga. Syukurlah aku tergolong anak yang cepat membaca huruf-huruf Alquran. Maka sebulan dua bulan berikutnya aku sudah mengaji ayat-ayat pendek, semisal surat Al-Fatihah, An-Naas, Al-Falaq, Al-Ikhlas, dan ayat-ayat pendek lainnya. Yang rutin mengajarkan aku baca Alquran adalah ibu. Bapak hanya sekali-sekali saja, karena habis salat biasanya bapak berzikir lama sekali. Habis berzikir waktu Isya sudah masuk, lalu bapak salat Isya dan berzikir lagi hingga menjelang tidur. (bersambung)