Mohon tunggu...
Muhammad Subhan
Muhammad Subhan Mohon Tunggu... -

Muhammad Subhan, seorang jurnalis, penulis dan novelis. Editor beberapa buku. Tinggal di pinggiran Kota Padangpanjang. Bekerja di Rumah Puisi Taufiq Ismail. Nomor kontak: 0813 7444 2075. Akun facebook: rahimaintermedia@yahoo.com, email aan_mm@yahoo.com. Blog: www.rinaikabutsinggalang.blogspot.com.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cinta Regu Badak (17)

14 November 2011   07:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:41 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Novel Muhammad Subhan

Bapak menunggu di ruang kepala sekolah. Aku berjalan mengikuti Pak Lukman ke ruang kelas. Dari kejauhan masih kudengar suara sorak sorai teman-temanku yang belajar bahasa Indonesia. Pelajaran bahasa Indonesia di kelas kami cukup menyenangkan. Bu Husna gurunya. Dia guru yang paling pintar menggembirakan hati kami. Setiap pelajaran bahasa Indonesia masuk, kami menyambut dengan senang. Khususnya pelajaran mengarang. Semua kawan-kawanku suka mengarang.

“Assalamualaikum...”

Pak Lukman masuk ke ruang kelas. Semua perhatian kawan-kawanku tertuju ke pintu. Aku berdiri di samping Pak Lukman. Salam Pak Lukman disambut serentak oleh semua penghuni kelas.

“Waalaikumussalam...”

Sesaat terdengar suara bisik-bisik kawan-kawanku yang menyebut namaku. Mungkin mereka telah tahu peristiwa penggusuran rumahku oleh aparat dua hari kemarin. Sejenak suasana gaduh. Semua mata mengarah kepadaku dan kepada Pak Lukman.

“Tenang anak-anak. Kepala sekolah ingin berbicara kepada kalian.” Bu Husna menenangkan semua murid. Sejenak suasana hening. Pak Lukman berdiri di depan kelas. Aku mengikuti Pak Lukman berdiri di sampingnya.

“Anak-anak, apa kabar kalian?”

“Baik, Pak....” jawab teman-temanku serentak.

Itulah keistimewaan Pak Lukman, kepala sekolahku. Dalam kondisi apapun, dia selalu menyapa semua orang, menanyakan kabarnya, ada baik atau tidak. Usai menyapa barulah ia bicara pokok persoalan. Sungguh kepala sekolah yang sangat bijaksana.

“Begini, Bapak ingin menyampaikan sesuatu kepada kalian. Agam, teman kalian ini akan pindah ke Aceh. Jadi, dia ingin pamitan dengan kita. Mari kita dengarkan Agam bicara.”

Semua kawan-kawanku gaduh lagi. Mereka berbisik-bisik membicarakan tentang kepindahanku ke Aceh.

“Agam, ayolah bicara pada teman-temanmu.”

Pak Lukman memandangku sejenak. Memintaku mengucapkan kata-kata perpisahan kepada teman-temanku. Semua mata mereka tertuju kepadaku.

Aku bingung harus mengatakan apa. Seolah kehilangan kata-kata. Bola mataku terasa panas. Ada sesuatu yang hendak tumpah dari mataku. Sejenak kupandangi bangku kosong paling depan di sudut kanan. Itulah bangku yang aku duduki selama ini. Disebelahnya duduk Tohang, kawan sebangkuku. Kupandangi semua wajah teman-temanku satu persatu. Wajah-wajah yang polos. Semua diam membisu.

“Agam, ayolah...”

Pak Lukman menepuk pundakku pelan. Menyuruhku bicara. Aku memandang Pak Lukman, memandang Bu Husna guru bahasa Indonesia, memandang semua wajah kawan-kawanku yang hendak kutinggalkan.

“Kawan-kawanku semua...,” aku mulai bicara. “Aku senang bisa sekolah di sini, belajar bersama kalian. Tapi beberapa hari lagi aku akan pindah ke Aceh, ke kampung bapakku. Di sini aku ingin pamit pada kalian semua. Aku minta maaf kalau selama berteman aku ada salah...”

Kalimatku tergantung. Airmataku telah jatuh. Menganak sungai di pipi. Aku lihat teman-temanku menangis, terutama yang perempuan.

“Anak-anak, kalian memaafkan Agam?” tanya Pak Lukman kemudian yang tahu aku tak dapat lagi meneruskan kalimatku.

Semua kawan-kawanku mengangguk. Memberi maaf meski tak terucap. Bu Husna aku lihat menunduk, jatuh juga airmatanya. Di kelas, pelajaran mengarang nilaiku selalu berada di posisi atas. Aku termasuk murid kesayangan Bu Husna.

Sesaat suasana hening. Kecuali suara di kelas sebelah. Aku tak dapat lagi menahan kesedihan. Dengan ujung lengan baju sekolah yang lusuh aku mengusap airmata yang tersisa.

Selesai menyampaikan salam perpisahan, aku bersalaman dengan Pak Lukman, juga dengan Bu Husna. Aku cium tangan guru bahasa Indonesiaku itu. Aku dipeluknya erat, bagai mencurahkan kasih sayang kepada anak kandungnya sendiri. Setelah itu semua kawan-kawanku berdiri menyalamiku. Kami berpelukan. Seolah tak ingin berpisah.

Pak Lukman mengajakku kembali ke ruang kerjanya. Aku melangkah keluar pintu. Mengikuti Pak Lukman. Sesampainya di luar, aku mendengar suara seseorang berteriak memanggil namaku.

“Agam...”

Aku menoleh ke belakang.

Latifah. Kawan perempuanku yang rambutnya berkepang dua.

Aku lihat ia habis menangis. Tiba-tiba dia menyodorkan sesuatu kepadaku. Sebuah buku harian.

“Ini, ambillah...”

Aku mengambil buku itu. Memandangnya sejenak. Suasana yang sangat haru.

“Terima kasih, ya. Kamu baik sekali...” Hanya kalimat itu yang dapat aku katakan kepadanya. Dia menunduk.

Setelah menyerahkan buku itu, Latifah berlari masuk ke dalam kelas. Dari belakang aku pandangi dia. Lalu melangkah mengikuti Pak Lukman, kembali ke ruang kerjanya. Bapak telah menunggu.

Pak Lukman mengantar bapak dan aku ke ruang majelis guru. Di sana guru-guruku telah berkumpul. Semua guru aku salami. Begitu juga bapak. Bu Titin, guru matematiku yang paling cerewet di sekolah itu, dan juga pernah mempermasalahkan tanganku tak sampai menyentuh telinga kiri ketika mendaftar sekolah dulu, wajahnya tampak bersedih. Ketika aku menyalaminya dengan penuh takzim, meminta maaf bila ada salah selama di sekolah, aku lihat dia menangis. Diusap-usapnya kepalaku.

Dan, semua guru ikut menangis.

Aku dan bapak pulang meninggalkan sekolah, dilepas Pak Lukman hingga ke halaman. Sekali-sekali aku menoleh ke belakang. Sekali-sekali aku pandangi ruang kelasku yang didalamnya teman-temanku sedang belajar. Di kelas Bondan, anak itu juga tak ada. Sejak peristiwa penggusuran yang menghancurkan rumah kami, aku tak tahu kemana Bondan dibawa orangtuanya. Begitupun Anton, kami tak berjumpa lagi.

Sesampainya di rumah Nek Ani, aku lihat ibu telah mengemasi semua barang-barang yang akan dibawa ke Aceh. Beberapa barang yang sedikit berharga telah dijual ibu kepada warga di sekitar rumah Nek Ani. Uangnya buat kebutuhan selama di jalan, juga buat persiapan hidup di daerah yang baru. Dan, malam itu, seperti malam habis penggusuran, aku tak dapat memejamkan mata. Aku masih terbayang wajah Bondan yang menangis berteriak-teriak kepada aparat yang merobohkan rumahnya. Dia berteriak-teriak menyebut-nyebut cita-citanya yang akan menjadi dokter. Entah di mana dia kini. Aku berharap, sebelum meninggalkan Tembung, aku bertemu dia. (bersambung)

Catatan: Novel ini belum pernah dipublikasikan. Pertama di Kompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun