Semua kawan-kawanku gaduh lagi. Mereka berbisik-bisik membicarakan tentang kepindahanku ke Aceh.
“Agam, ayolah bicara pada teman-temanmu.”
Pak Lukman memandangku sejenak. Memintaku mengucapkan kata-kata perpisahan kepada teman-temanku. Semua mata mereka tertuju kepadaku.
Aku bingung harus mengatakan apa. Seolah kehilangan kata-kata. Bola mataku terasa panas. Ada sesuatu yang hendak tumpah dari mataku. Sejenak kupandangi bangku kosong paling depan di sudut kanan. Itulah bangku yang aku duduki selama ini. Disebelahnya duduk Tohang, kawan sebangkuku. Kupandangi semua wajah teman-temanku satu persatu. Wajah-wajah yang polos. Semua diam membisu.
“Agam, ayolah...”
Pak Lukman menepuk pundakku pelan. Menyuruhku bicara. Aku memandang Pak Lukman, memandang Bu Husna guru bahasa Indonesia, memandang semua wajah kawan-kawanku yang hendak kutinggalkan.
“Kawan-kawanku semua...,” aku mulai bicara. “Aku senang bisa sekolah di sini, belajar bersama kalian. Tapi beberapa hari lagi aku akan pindah ke Aceh, ke kampung bapakku. Di sini aku ingin pamit pada kalian semua. Aku minta maaf kalau selama berteman aku ada salah...”
Kalimatku tergantung. Airmataku telah jatuh. Menganak sungai di pipi. Aku lihat teman-temanku menangis, terutama yang perempuan.
“Anak-anak, kalian memaafkan Agam?” tanya Pak Lukman kemudian yang tahu aku tak dapat lagi meneruskan kalimatku.
Semua kawan-kawanku mengangguk. Memberi maaf meski tak terucap. Bu Husna aku lihat menunduk, jatuh juga airmatanya. Di kelas, pelajaran mengarang nilaiku selalu berada di posisi atas. Aku termasuk murid kesayangan Bu Husna.
Sesaat suasana hening. Kecuali suara di kelas sebelah. Aku tak dapat lagi menahan kesedihan. Dengan ujung lengan baju sekolah yang lusuh aku mengusap airmata yang tersisa.