Selesai menyampaikan salam perpisahan, aku bersalaman dengan Pak Lukman, juga dengan Bu Husna. Aku cium tangan guru bahasa Indonesiaku itu. Aku dipeluknya erat, bagai mencurahkan kasih sayang kepada anak kandungnya sendiri. Setelah itu semua kawan-kawanku berdiri menyalamiku. Kami berpelukan. Seolah tak ingin berpisah.
Pak Lukman mengajakku kembali ke ruang kerjanya. Aku melangkah keluar pintu. Mengikuti Pak Lukman. Sesampainya di luar, aku mendengar suara seseorang berteriak memanggil namaku.
“Agam...”
Aku menoleh ke belakang.
Latifah. Kawan perempuanku yang rambutnya berkepang dua.
Aku lihat ia habis menangis. Tiba-tiba dia menyodorkan sesuatu kepadaku. Sebuah buku harian.
“Ini, ambillah...”
Aku mengambil buku itu. Memandangnya sejenak. Suasana yang sangat haru.
“Terima kasih, ya. Kamu baik sekali...” Hanya kalimat itu yang dapat aku katakan kepadanya. Dia menunduk.
Setelah menyerahkan buku itu, Latifah berlari masuk ke dalam kelas. Dari belakang aku pandangi dia. Lalu melangkah mengikuti Pak Lukman, kembali ke ruang kerjanya. Bapak telah menunggu.
Pak Lukman mengantar bapak dan aku ke ruang majelis guru. Di sana guru-guruku telah berkumpul. Semua guru aku salami. Begitu juga bapak. Bu Titin, guru matematiku yang paling cerewet di sekolah itu, dan juga pernah mempermasalahkan tanganku tak sampai menyentuh telinga kiri ketika mendaftar sekolah dulu, wajahnya tampak bersedih. Ketika aku menyalaminya dengan penuh takzim, meminta maaf bila ada salah selama di sekolah, aku lihat dia menangis. Diusap-usapnya kepalaku.