Mohon tunggu...
Muhammad Sevaja Ansas
Muhammad Sevaja Ansas Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

facta sunt potentiora verbis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Partai Politik Lokal: Hakikat dan Dinamika serta Eksistensinya dalam Kehidupan Berdemokrasi pada Era Pra dan Pasca Reformasi

28 Desember 2022   21:21 Diperbarui: 29 Desember 2022   07:57 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada kontestasi pemilu tahun 1955, politik kepartaian bersifat terbuka sehingga partai-partai politik lokal dapat ikut berkompetisi pada level lokal sekaligus level nasional. Mirisnya, saat itu partai-partai politik lokal ini tidak mampu berbuat banyak, mereka kalah telak pada level nasional, pun dengan level lokal atau daerah yang seharusnya menjadi prioritas basis suara partai politik lokal namun kenyataannya perolehan suara partai politik lokal masih terpaut jauh. Partai politik lokal saat itu bisa dikatakan hanya menjadi "partai desimal" karena mereka hanya mendapatkan perolehan suara nol koma.

Masa demokrasi terpimpin menjadi sebuah era runtuhnya kekuasaan demokratis yang telah dibangun fondasinya pada pemilu tahun 1955, partai-partai politik tidak lagi bisa berkontestasi di pesta demokrasi. Semua praktik dan ekspresi demokrasi telah hilang, presiden mempunyai kekuasaan yang absolut dan tidak terbatas atau dapat disebut dengan istilah "otoriter". Ini semua dampak dari kehadiran Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang dikeluarkan Soekarno.

Pada perkembangannya, fase peralihan kekuasaan dari era Soekarno ke era Orde Baru melahirkan kebijakan yang tidak hanya mendiskreditkan bahkan mematikan tumbuhnya partai-partai politik yang cakupannya nasional, akan tetapi juga tidak memberi ruang hidup bagi partai-partai politik yang cakupannya lokal atau daerah. 

Era Orde Baru merupakan masa suram bagi kepartaian di Indonesia, partai-partai dipaksa oleh rezim saat itu untuk melakukan fusi menjadi tiga partai saja, yaitu Golongan Karya (Golkar), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Begitu juga dengan eksistensi partai politik lokal sudah tidak diakui lagi. Praktis, mulai dari kontestasi pemilu tahun 1977 hingga pemilu di penghujung era Orde Baru yaitu tahun 1997, kontestan pemilu hanya diikuti oleh tiga partai itu saja, yaitu Golkar, PPP, dan PDI.

•PARTAI POLITIK LOKAL DALAM DEMOKRASI PASCA ORDE BARU ATAU ERA REFORMASI 

Pasca tumbangnya Orde Baru, atau lumrah disebut sebagai era Reformasi, kran demokratisasi mulai terbuka, partai-partai politik kembali tumbuh secara berjamuran, dan masyarakat pun mulai gegap gempita kembali untuk meramaikan perpolitikan di Indonesia. Hadirnya partai politik lokal, khususnya pada masa reformasi didorong karena adanya pembilahan sosial (social cleavages) yang bersifat teritorial, yaitu berwujud pembilahan sosial nasional vs lokal. 

Setelah proses yang panjang pada daerah-daerah terutama Aceh dan Papua, pembilahan sosial yang bersifat lokal akhirnya lahir. Yang menjadi akar dari pembilahan sosial lokal lahir, ialah karena perasaan tidak puas atas perlakuan pemerintah pusat yang dianggap tidak berdasarkan pada asas keadilan (justice), terjadi eksploitasi ataupun persepsi yang berkaitan dengan manipulasi sejarah terhadap daerah-daerah tersebut. Pada perjalanannya, pembilahan sosial lokal tersebut kemudian mengalami permanensi dan kemudian dimobilisasi melalui instrumen pergerakan. 

Contoh organ pergerakan yang dibangun atas argumentasi pembilahan sosial lokal vs nasional yaitu GAM di Aceh dan OPM di Papua dan kedua organ ini bersifat separatis. Perjuangan GAM dan OPM sebagai organ pergerakan yang ingin mengejawantahkan negara sendiri, telah melahirkan sejumlah tanggapan dari pemerintah RI mulai dari pendekatan koersif, seperti operasi militer ataupun pendekatan yang bersifat lebih damai, melalui perundingan.

Pendirian partai politik lokal di Aceh, ditandai dengan mulainya pembahasan rancangan undang-undang (RUU) tentang Pemerintah Aceh yang dibahas di DPR dengan DPRD Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam pada tanggal 25 Februari hingga 5 Juli 2006. 

Pembahasan terkait RUU PA tidak lama setelah pemerintah melakukan penandatanganan MoU (Memorandum of Understanding) dapat disebut nota kesepahaman ataupun nota kesepakatan dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, Finlandia pada tanggal 15 Agustus 2005. MoU Helsinki ini menjadi titik kulminasi dari dinamika hubungan antara pemerintah Indonesia dengan GAM. 

Segmen yang menjadi kesepakatan penting yang terdapat di MoU Helsinki ialah poin pemenuhan hak sipil dan politik dan partisipasi politik, dalam konteks tersebut, MoU Helsinki mendukung agar terjadi pembentukan partai politik lokal beserta partisipasi politik di Aceh yang telah dijamin oleh konstitusi. Ini menjadi gambaran bahwasanya di saat yang bersamaan GAM mengubah orientasi tuntutan merdeka menjadi pemerintahan sendiri (self-government). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun