Mohon tunggu...
Muhammad Sevaja Ansas
Muhammad Sevaja Ansas Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

facta sunt potentiora verbis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Partai Politik Lokal: Hakikat dan Dinamika serta Eksistensinya dalam Kehidupan Berdemokrasi pada Era Pra dan Pasca Reformasi

28 Desember 2022   21:21 Diperbarui: 29 Desember 2022   07:57 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

•DEFINISI DAN HAKIKAT SERTA FLUKTUASINYA PRA REFORMASI 

Partai politik merupakan salah satu instrumen yang sangat vital di negara yang menganut sistem demokrasi. Partai politik pada hakikatnya merupakan sarana dalam menegakkan demokrasi dan memastikan jalan juang atau keberlanjutan demokrasi di suatu negara. 

Partai politik muncul secara berjamuran, terkhusus pada negara yang menganut sistem kepartaian multipartai, kadangkala di Indonesia disebut sebagai multipartai ekstrem oleh beberapa kalangan dan pakar politik. 

Munculnya partai politik secara berjamuran tidak hanya terjadi pada tingkat nasional, namun muncul pula pada partai politik di tingkat lokal atau daerah. Kehadiran partai politik lokal tidak bisa dipisahkan dengan kondisi di Indonesia yang memiliki latar belakang suku, ras, kepentingan, dan kultur yang beragam. 

Di berbagai negara di dunia, seperti Inggris, Finlandia, Spanyol, ataupun India, kehadiran partai politik lokal telah menjadi sesuatu yang jamak. Munculnya partai politik lokal di berbagai negara di dunia dengan membawa background argumentasi yang berbeda dan mereka pun telah eksis secara mapan. 

Partai politik lokal adalah kelompok, organisasi, kumpulan, sarana, instrumen, dan semacamnya yang terorganisir, dan memiliki keinginan, kehendak, dan cita-cita yang sama (kehendak dan cita-cita ini direfleksikan dalam wujud visi-misi kolektif dan program kerja yang dicanangkan) serta jaringannya terbatas pada suatu daerah tertentu atau dengan kalimat lain, tidak mencakup level nasional. Yang menjadi kata kunci dalam mendefinisikan partai politik lokal adalah "lokalitas". 

Partai politik lokal merupakan salah satu bahasan yang sering dibicarakan, khususnya partai politik lokal di Aceh dan eksistensinya bukan sesuatu yang baru di kancah perpolitikan negeri ini. 

Secara historis, partai politik lokal di Indonesia sudah eksis pada pelaksanaan kontestasi pemilihan umum (pemilu) pertama kali di Indonesia, yaitu pada tahun 1955. Kemunculan partai politik lokal pada kontestasi pemilu tahun 1955 terkait dengan keinginan entitas lokal untuk terintegrasi, berjuang, dan mengambil peran dalam sistem politik formal yang baru terbangun. 

Hal ini juga dikarenakan dengan terbukanya ruang partisipasi yang luas, sehingga memberi struktur insentif tersendiri bagi partai politik lokal hadir dalam menyemarakkan praktik demokrasi di Indonesia pada tahun 1955. Sebagaimana tabel yang terdapat di dalam bukunya Sigit Pamungkas, berdasarkan pada sumber: Feith (1999: 89-90) bahwasanya pada pemilu tahun 1955 terdapat dua belas partai politik lokal yang ikut memeriahkan kontestasi pemilu tersebut. 

Berikut merupakan partai politik lokal pada pemilu 1955:

1. Grinda (Yogyakarta)

2. Partai Persatuan Daya (Kalimantan Barat)

3. Angkatan Kekuatan Umat Islam (Madura)

4. Partai Rakyat Desa (Jawa Barat)

5. Partai Rakyat Indonesia Merdeka (Jawa Barat)

6. R. Soejono Prawirosoedarso dkk (Madiun)

7. Gerakan Pilihan Sunda (Jawa Barat)

8. Partai Tani Indonesia (Jawa Barat)

9. Raja Kaprabonan dkk (Cirebon, Jawa Barat)

10. Gerakan Benteng (Jawa Barat)

11. Persatuan Indonesia Raya Nusa Tenggara Barat (Lombok)

12. Panitia Pendukung Pencalonan LM. Idrus Effendi (Sulawesi Tenggara)

Pada kontestasi pemilu tahun 1955, politik kepartaian bersifat terbuka sehingga partai-partai politik lokal dapat ikut berkompetisi pada level lokal sekaligus level nasional. Mirisnya, saat itu partai-partai politik lokal ini tidak mampu berbuat banyak, mereka kalah telak pada level nasional, pun dengan level lokal atau daerah yang seharusnya menjadi prioritas basis suara partai politik lokal namun kenyataannya perolehan suara partai politik lokal masih terpaut jauh. Partai politik lokal saat itu bisa dikatakan hanya menjadi "partai desimal" karena mereka hanya mendapatkan perolehan suara nol koma.

Masa demokrasi terpimpin menjadi sebuah era runtuhnya kekuasaan demokratis yang telah dibangun fondasinya pada pemilu tahun 1955, partai-partai politik tidak lagi bisa berkontestasi di pesta demokrasi. Semua praktik dan ekspresi demokrasi telah hilang, presiden mempunyai kekuasaan yang absolut dan tidak terbatas atau dapat disebut dengan istilah "otoriter". Ini semua dampak dari kehadiran Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang dikeluarkan Soekarno.

Pada perkembangannya, fase peralihan kekuasaan dari era Soekarno ke era Orde Baru melahirkan kebijakan yang tidak hanya mendiskreditkan bahkan mematikan tumbuhnya partai-partai politik yang cakupannya nasional, akan tetapi juga tidak memberi ruang hidup bagi partai-partai politik yang cakupannya lokal atau daerah. 

Era Orde Baru merupakan masa suram bagi kepartaian di Indonesia, partai-partai dipaksa oleh rezim saat itu untuk melakukan fusi menjadi tiga partai saja, yaitu Golongan Karya (Golkar), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Begitu juga dengan eksistensi partai politik lokal sudah tidak diakui lagi. Praktis, mulai dari kontestasi pemilu tahun 1977 hingga pemilu di penghujung era Orde Baru yaitu tahun 1997, kontestan pemilu hanya diikuti oleh tiga partai itu saja, yaitu Golkar, PPP, dan PDI.

•PARTAI POLITIK LOKAL DALAM DEMOKRASI PASCA ORDE BARU ATAU ERA REFORMASI 

Pasca tumbangnya Orde Baru, atau lumrah disebut sebagai era Reformasi, kran demokratisasi mulai terbuka, partai-partai politik kembali tumbuh secara berjamuran, dan masyarakat pun mulai gegap gempita kembali untuk meramaikan perpolitikan di Indonesia. Hadirnya partai politik lokal, khususnya pada masa reformasi didorong karena adanya pembilahan sosial (social cleavages) yang bersifat teritorial, yaitu berwujud pembilahan sosial nasional vs lokal. 

Setelah proses yang panjang pada daerah-daerah terutama Aceh dan Papua, pembilahan sosial yang bersifat lokal akhirnya lahir. Yang menjadi akar dari pembilahan sosial lokal lahir, ialah karena perasaan tidak puas atas perlakuan pemerintah pusat yang dianggap tidak berdasarkan pada asas keadilan (justice), terjadi eksploitasi ataupun persepsi yang berkaitan dengan manipulasi sejarah terhadap daerah-daerah tersebut. Pada perjalanannya, pembilahan sosial lokal tersebut kemudian mengalami permanensi dan kemudian dimobilisasi melalui instrumen pergerakan. 

Contoh organ pergerakan yang dibangun atas argumentasi pembilahan sosial lokal vs nasional yaitu GAM di Aceh dan OPM di Papua dan kedua organ ini bersifat separatis. Perjuangan GAM dan OPM sebagai organ pergerakan yang ingin mengejawantahkan negara sendiri, telah melahirkan sejumlah tanggapan dari pemerintah RI mulai dari pendekatan koersif, seperti operasi militer ataupun pendekatan yang bersifat lebih damai, melalui perundingan.

Pendirian partai politik lokal di Aceh, ditandai dengan mulainya pembahasan rancangan undang-undang (RUU) tentang Pemerintah Aceh yang dibahas di DPR dengan DPRD Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam pada tanggal 25 Februari hingga 5 Juli 2006. 

Pembahasan terkait RUU PA tidak lama setelah pemerintah melakukan penandatanganan MoU (Memorandum of Understanding) dapat disebut nota kesepahaman ataupun nota kesepakatan dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, Finlandia pada tanggal 15 Agustus 2005. MoU Helsinki ini menjadi titik kulminasi dari dinamika hubungan antara pemerintah Indonesia dengan GAM. 

Segmen yang menjadi kesepakatan penting yang terdapat di MoU Helsinki ialah poin pemenuhan hak sipil dan politik dan partisipasi politik, dalam konteks tersebut, MoU Helsinki mendukung agar terjadi pembentukan partai politik lokal beserta partisipasi politik di Aceh yang telah dijamin oleh konstitusi. Ini menjadi gambaran bahwasanya di saat yang bersamaan GAM mengubah orientasi tuntutan merdeka menjadi pemerintahan sendiri (self-government). 

Klausul 1.2 tentang partisipasi politik yang termaktub di poin 1.2.1 bahwa "Sesegera mungkin, dan selambat-lambatnya satu tahun sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini, GoI (Government of Indonesia) menyepakati dan akan memfasilitasi pembentukan partai-partai politik yang berbasis di Aceh yang memenuhi persyaratan nasional. 

Memahami aspirasi rakyat Aceh untuk partai-partai politik lokal, Pemerintah RI, dalam tempo satu tahun, atau paling lambat 18 bulan sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini, akan menciptakan kondisi politik dan hukum untuk pendirian partai politik lokal di Aceh dengan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)". Klausul MoU di atas secara jelas memerintahkan pembentukan partai politik lokal di Aceh, hal ini tercantum pula pada Ayat 1 Pasal 75 Bab XI UU RI No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, yang berbunyi "Penduduk di Aceh dapat membentuk partai politik lokal", beserta ayat-ayat selanjutnya yang menjadi penjelas. 

Setelah hadirnya UU RI No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh yang menjadi legitimasi pembentukan partai politik lokal di Aceh, terdapat pula Peraturan Pemerintah RI No. 20 Tahun 2007 Tentang Partai Politik Lokal di Aceh, pada Bab I Pasal 1 Ayat 2 yang berbunyi "Partai politik lokal adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia yang berdomisili di Aceh secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara melalui pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA)/Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK), Gubernur dan Wakil Gubernur, serta bupati dan wakil bupati/walikota dan wakil walikota". 

Aceh menganut sistem politik lokal tertutup sehingga partai lokal hanya mengikuti proses pemilihan di tingkat lokal yaitu pemilukada dan pileg DPRD, sedangkan dalam pileg DPR, DPD, dan pilpres, partai politik lokal tidak terlibat. Dalam kontestasi pemilihan di tingkat lokal, partai politik lokal tidak hanya berkompetisi dengan sesama partai politik lokal, akan tetapi juga berkompetisi dengan partai-partai nasional. 

Tujuan umum dan khusus dari partai politik lokal di Aceh, termaktub pada UU RI No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh pada Pasal 78 yang berbunyi:

(1) Untuk mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD Negara RI tahun 1945, 

(2) Mengambangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan

(3) Mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Aceh. 

Sedangkan tujuan khususnya, yaitu:

(1) Meningkatkan partisipasi partai politik masyarakat Aceh dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah

(2) Memperjuangkan cita-cita partai politik lokal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, sesuai kekhususan dan keistimewaan Aceh.

Pada pasal lain, yaitu pasal 79 juga dijelaskan perihal fungsi partai politik lokal, fungsi-fungsi tersebut ialah:

1. Pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat

2. Penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan rakyat

3. Penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik rakyat

4. Partisipasi politik rakyat.

Ditetapkan pula bahwa partai politik lokal di Aceh pada prinsipnya harus mentaati dua hal:

(1) Perjuangannya tidak boleh bertentangan dengan pancasila,

(2) Tidak boleh memperjuangkan kemerdekaan bagi daerahnya.

Prinsip-prinsip ini menjadi sebuah pembeda dari karakter partai politik lokal di Indonesia dengan di negara lainnya. Di negara lain, partai politik lokal diperbolehkan mengusung gagasan kemerdekaan, dengan catatan semuanya ditempuh dengan jalan damai dan demokratis. Partai politik lokal hanya diizinkan untuk mencantumkan asas ciri yang merefleksikan aspirasi, agama, adat istiadat, dan filosofi kehidupan masyarakat Aceh 

Adapun pemilu tahun 2009 menjadi pemilu bersejarah bagi Aceh dan fase baru dari kembali hadirnya partai politik lokal dalam kontestasi pemilu. Pada masa itu, terdapat 12 partai politik lokal yang secara administrasi dinyatakan lengkap oleh Komisi Pemilihan Umum. Namun, pada tahap selanjutnya hanya enam partai politik lokal saja yang lolos menjadi kontestan pemilu tingkat lokal di Aceh pada tahun 2009, yaitu sebagai berikut: 

1) Partai Aman Aceh Sejahtera (PAAS)

2) Partai Daulat Aceh (PDA)

3) Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA)

4) Partai Rakyat Aceh

5) Partai Aceh

6) Partai Bersatu Aceh

Terdapat 17 partai politik lokal di Aceh yang terdaftar dan berbadan hukum pada kanwil Kemenkumham Aceh tertanggal 26 Januari 2022, berikut nama-nama partainya:

1) Partai Aceh

2) Partai Nanggroe Aceh (PNA)

3) Partai Solidaritas Independen Rakyat (SIRA) perubahan 'suara' menjadi 'solidaritas' terjadi pada kongres II

4) Partai Darul Aceh

5) Partai Islam Aceh (PIA)

6) Partai Generasi Atjeh Beusaboh Tha'at dan Taqwa (GABTHAT)

7) Partai Aliansi Rakyat Aceh Peduli Perempuan (PARA)

8) Partai Lokal Aceh (PLA)

9) Partai Bersatu Atjeh (PBA)

10) Partai Aceh Meudaulat (PAM)

11) Partai Pemersatu Muslimin Aceh (PPMA)

12) Partai Darussalam

13) Partai Rakyat Aceh (PRA)

14) Partai Damai Aceh 

15) Partai Gabungan Rakyat Aceh Mandiri (GRAM)

16) Partai Daulat Aceh

17) Partai Adil Sejahtera (PAS Aceh)

Dalam menyambut pemilu 2024, terdapat 6 partai politik lokal yang sudah dinyatakan terdaftar di Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh sebagai calon kontestan pemilu 2024 mendatang, berikut partai-partainya: 

1. Partai Aceh

2. Partai Adil Sejahtera (PAS Aceh)

3. Partai Generasi Atjeh Beusaboh Tha'at dan Taqwa (GABTHAT)

4. Partai Darul Aceh 

5. Partai Nanggroe Aceh (PNA)

6. Partai Solidaritas Independen Rakyat Aceh (SIRA)

Terdapat Partai Amanah Reformasi (PAR) yang tidak memenuhi syarat. Sementara itu, Partai Islam Aceh (PIA) tidak mendaftar walaupun sudah mengisi akun di aplikasi Sistem Informasi Politik (SIPOL).

Dari beberapa kompetisi pemilu tingkat lokal yang sudah dilalui partai politik lokal di Aceh, Partai Aceh selalu menjadi pemenang dengan jumlah suara yang signifikan, ini kemungkinan terjadi karena Partai Aceh merupakan reinkarnasi dari Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang telah menjadi motor perjuangan dan aspirasi sebagian besar masyarakat Aceh, yang kini telah berorientasi pada perjuangan politik, tokoh-tokohnya pun berasal dari eks kombatan dan simpatisan GAM.

Sementara itu Papua, tidak bernasib seperti Aceh yang dapat mendirikan partai politik lokal dengan partisipasi politik yang khas, khusus dan dijamin oleh konstitusi. Melalui UU RI No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Pasal 28, keberadaan partai politik lokal masih berupa struktur peluang karena ketidaktegasan regulasi dalam mengatur tentang keberadaan partai politik lokal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun