Tulisan dengan kategori analisis pribadi merupakan tulisan dengan jenis semi opini-ilmiah. Seperti pada artikel sebelumnya, penulis memiliki latar belakang sebagai akademisi. Jadi, sedikit-banyak tahu kelebihan-kelemahan yang ada pada sebuah system.
Sebelumnya saya disclaimer dulu, jika tulisan penulis sourcenya analisis pribadi, maka isi tulisannya mencapai 1000 kata lebih (biasanya hanya 300-500 kata). Tapi tenang saja, ada highlight poin-poin yang akan disampaikan.
Baik, kelemahan system pendidikan di Indonesia itu nampak pada kurikulum pelajaran yang begitu padat. Mata pelajaran terbanyak pada jenjang SMA, dengan jumlah 17-24 mapel (penulis dapat 24 sebab dari Madrasah), SD berjumlah 6-10 mapel, SMP berjumlah 10-15.
Sambil bernostalgia, masih ingat jika SMA maple banyak disebankan adanya penjurusan. Kalau jurusan IPA, maka Anda akan mendapatkan matematika peminatan, biologi, fisika, kimia, dan sebagainya. Jangan lupa pula ada maple peminatan (lintas jurusan).
Kalau SD-SMP, pendapat penulis mapelnya masih berupa mata pelajaran dasar. Pengembagnan itu terjadi pada jenjang SMA dan Perguruan Tinggi.
Kalau mengacu jumlah, sebenarnya jumlah mata kuliah (istilah maple untuk perguruan tinggi) itu sangat sedikit ketimbang SMA.
Ada guyonan yang mengatakan jika kalau jadi mahasiswa, cukup punya 1 buku tebal untuk 4 tahun kuliah sampai lulus. Walaupun ada yang berkilah, itu semua tergantung dari dosen yang mengampu.
Ada perbedaan mendasar antara perguruan tinggi dengan SMA/SMP/SD. Masih ingat, jika Anda kalau mengerjakan tugas selalu dikoreksi dan langsung dapat penilaian?
Nah, kalau dikampus tugas yang Anda kumpulkan itu kebanyakan tidak dikoreksi.Â
Dan ini masuk ke kelemahan pertama, yaitu dosen terlihat tidak begitu peduli terhadap tugas yang Anda kumpulkan.
Dulu, waktu dibangku dasar tugas itu selalu ada nilai di atas pojok lembar ujian. Jadi, kalau nilai Anda jelek, maka harus remidi dan kalau dapat nasib sial, kena marah orang tua pula.
Sepanjang pengalaman pribadi penulis, kampus nampak menekankan disiplin tugas semata dan kepribadian baik, masalah pemahaman terhadap tugas itu adalah nomor sekian.
Penulis berpikir, kemungkinan itu bisa terjadi sebab dosen itu tugasnya tidak seperti guru (yang murni mengajar). Akan tetapi, ada tri dharma perguruan tinggi (pengajaran, penelitian, dan pengabdian) yang harus dilakukan.
Perbandigannya gini. Kalau guru IPS misal, ia wajib menyusun RPP, raport siswa, dan mengajar. Jadi kesibukannya ada pada internal sekolah.
Kalau dosen, itu selain mengajar di kelas (tentu dengan tugas pokok guru yang hamper sama), ia juga harus aktif dalam penelitian.
Satu dosen bisa mengajar beberapa mata kuliah, menjadi dosen pembimbing KKM, PKL, skripsi, dan kesibukan yang lain. Belum lagi kalau diundang menjadi pemateri seminar baik lingkup dalam atau luar kampus.
Penulis sering mendengar cerita kalau di kelas itu ada jam kosong pada beberapa mahasiswa. Entah alasan seperti itu tadi, mau lanjut program doctoral, dan sebagainya.
Kelemahan ini membawa dampak yang kedua, bahwa ikatan emosional di perguruan tinggi itu rendah ketimbang di pendidikan dasar.
Dan, walaupun berada pada satu area, bahwa dosen antar fakultas mungkin juga tidak saling mengenali. Sebab, sangking sibuknya agenda si dosen tersebut.
Lanjut, meski mahasiswa nampak lebih 'santai', masih aja dijumpau beberapa (sedikit) mahasiswa yang mengulang mata kuliah atau menambah semester.
Ini terjadi sebab si mahasiswa bersangkutan tidak masuk kelas lebih dari 3 kali, tugas terlambat, dan alasan sebagainya.Â
Dan ini kelemahan ketiga, kampus tidak pernah memperhatikan mahasiswa bolos, sebab sangking sibuknya dosen seperti yang dijelaskan tadi.
Beda kalau siswa, Anda bolos maka sudah dipastikan ditegur atau dimarahi guru juga orang tua. Tetapi pada era 2000-an ini, hampir jarang ada cerita pendidikan dasar tidak meloloskan muridnya, semua siswa pasti lulus.
Kalau zaman orang tua dulu (1950-an), cerita siswa tidak naik kelas itu masih dijumpai. Mungkin beberapa orang tua dari Anda ada yang mengalaminya.
Dan ini masuk kelemahan keempat, yaitu pendidikan itu nampak ingin meluluskan semua para peserta didiknya, tidak peduli seberapa buruk baik dari segi pribadi maupun keilmuan, nilai tiap siswa nampak disamaratakan.
Memang ada siswa yang pribadinya baik, tapi miskin ilmu. Ada juga yang pribadinya buruk, tapi kaya ilmu. Sangat sedikit yang baik di kedua hal. Nah, standar penilaian antar siswa bahkan sama. Makanya ada cuitan, nilainya orang yang rajin dengan malas situ tidak jauh beda. Ini yang kacau.
Hal itu juga disebabkan proporsi guru antara siswa itu seperti 1:25 (bahkan sampai 40). Jadi, guru sangat tidak focus memahamkan masing-masing siswa yang diajarnya, atau bahkan tidak mengenali siswanya.
Terlebih, ia mengajar hanya 40 menit untuk 1 kali pertemuan/1 SKS. Jadi. Peran mengajar dan mendidik menjadi lebih berat seiring pertumbuhan jumlah penduduk yang begitu cepat.
Kelemahan yang kelima ada pada pembelajaran presentasi berkelompok. Ini menjadi pisau bermata dua, sebab jika Anda mendengarkan materi yang teman Anda bahkan tidak menguasai, Anda juga bisa ikut tidak paham.Â
Tapi kalau paham, kecepatan untuk menghabiskan pelajaran dalam satu semester pun cepat, asal teman sekelas tergolong 'pintar'.
Presentasi ini menekankan pemahaman pada masing-masing siswanya. Dan banyak siswa yang presentasi itu hanya sekedar membaca textbook tanpa menjelaskan pemahaman pribadi kepada teman kelas.
Hal itu juga disebabkan minat membaca yang rendah yang juga tidak bisa disalahkan. Sebab, pengalaman penulis sendiri jika ingin presentasi dengan kualitas yang baik, maka setidaknya harus membaca puluhan hingga ratusan halaman sumber ilmiah. Dan memang, siswa peduli jika harus dituntut kutu buku hanya untuk satu kali presentasi?
Sedangkan, kesibukan siswa tidak hanya berkutat disekolah. Ada yang membantu orang tuanya berdagang (ya walaupun jumlahnya sedikit), ada yang mengikuti perlombaan untuk memenang lomba akademik atau ekstrakulikuler demi almamater sekolahnya (otomatis tugas pelajaran menumpuk), ada juga karena kesibukan organisasi (ditingkat perguruan tinggi, jam organisasi sangat padat), dan sebagainya.
Karena tidak focus, akhirnya yang dikorbankan adalah mata pelajaran utama di sekolah. Dan ini pengaruhnya kalau mau naik ke jenjang pendidikan, ia harus mengulangi sebagian ketertinggalan mata pelajarannya tersebut. Kalau tidak mengulangi, ya amblas.
Dan ini berakibat kepada pemahaman yang tidak menyeluruh terhadap mata pelajaran.
Tetapi, yang berani penulis jamin adalah sebenarnya hal yang paling diingat oleh siswa itu bukan mata pelajaran yang banyak itu, melainkan kegiatan diluarnya (seperti lomba akademik, kegiatan ekstrakulikuler, sahabat, guru yang humble, dan sebagainya). Ini bukanlah kelemahan system, melainkan kelemahan manusia, yaitu tempatnya salah dan lupa.
Oh iya kelemahan yang keenam sebagai penutup tulisan, pendidikan itu mencipatakan budaya curang sejak dini. Guru tidak dibekali diawal bahwa yang paling utama dari sekolah bukanlah nilai, tetapi kejujuran.
Pernyataan keenam ini sebenarnya kontradiktif dengan pernyataan pertama. Ini sering terjadi saat UAS (ujian akhir semester), yang mana penulis masih ingat betul, praktik contek-menyontek/tanya-diskusi jawaban, dan praktik kecurangan lainnya itu terjadi didepan mata saat ujian.
Sebagian guru ada yang menegur, sebagian guru diam dan nampak tidak berani menegur.
Menyontek itu menunjukkan kalau sekolah secara tidak sadar sedang menanamkan mainset ketidakperayaan terhadap diri sendiri menghadapi ujian.
Tetapi itu adalah akar permasalahan yang sistemik, sebab terlalu banyak mata pelajaran yang harus dikuasai, dan murid dipaksa harus menguasainya semua. Mana bisa seperti itu?
Bukan guru, juga bukan murid yang sebenarnya salah, tetapi karena system. Dan system ini dibuat oleh para petinggi dan pejabat negara. Makanya, tulisan ini diberikan judul kelemahan system, bukan kelemahan guru/murid.
Sebab, keberhasilan apapun bidangnya, itu bergantung system. Kalau system tersebut mendukung dan mampu menciptakan suasana positif, ya jadinya positif. Dan begitu pula sebaliknya.
Memang membaca sebuah gambar besar tentang masalah seperti sangatlah sulit diselesaikan, tetapi percaya jika dengan ilmu pengetahuan yang luas, sebesar apapun masalah bisa diminimalisiri dampak negatifnya.
By: M. Saiful Kalam
Source: Analisis PribadiÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H