Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), PDRB per kapita di Provinsi DKI Jakarta, misalnya, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain di luar Jawa, seperti Papua dan Nusa Tenggara Timur.
Hal ini menunjukkan bahwa meski pertumbuhan ekonomi di pusat cukup pesat, akan tetapi banyak daerah yang masih tertinggal dalam hal pembangunan ekonomi yang tidak merata.
Selain itu, ketimpangan ini juga terlihat dalam akses terhadap layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan.
Di daerah-daerah terpencil, fasilitas pendidikan dan kesehatan sering kali tidak memadai. Dan pada gilirannya, membatasi kemampuan masyarakat untuk mengakses peluang ekonomi yang lebih baik.
Keterbatasan ini semakin memperburuk kesenjangan sosial dan ekonomi antara daerah pusat dan daerah pinggiran.
Dampak negatif disparitas terhadap pertumbuhan ekonomi
Ketimpangan yang semakin melebar antara pusat dan daerah dapat menimbulkan berbagai dampak negatif terhadap perekonomian negara secara keseluruhan. Salah satu dampaknya adalah terhambatnya potensi sumber daya yang ada di daerah.
Banyak daerah di Indonesia, terutama yang kaya akan sumber daya alam seperti Papua, Kalimantan dan Sulawesi, memiliki potensi ekonomi yang luar biasa.
Akan tetapi, ketidakseimbangan dalam pembangunan infrastruktur dan akses terhadap teknologi menghalangi pemanfaatan potensi tersebut secara optimal.
Akibatnya, sektor-sektor ekonomi yang ada di daerah-daerah tersebut tidak berkembang secara maksimal, dan sebagian besar penduduknya terjebak dalam kondisi ekonomi yang rendah.
Ini mengarah pada peningkatan angka kemiskinan dan pengangguran, serta meningkatkan urbanisasi ke pusat-pusat ekonomi yang sudah 'sesak' seperti Jakarta.