Ini adalah pemikiran yang sangat relevan apabila kita melihat ketimpangan sosial dan kemiskinan yang ada di Indonesia.
Ketimpangan Sosial dan Ekonomi dalam Konteks Indonesia
Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam dan potensi ekonomi, namun kemiskinan masih menjadi masalah yang tak kunjung usai. Ketimpangan sosial dan ekonomi semakin menganga.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), walaupun ada perbaikan dalam beberapa tahun terakhir, tetapi ketimpangan pendapatan di Indonesia masih tinggi.
Gini ratio yang mengukur ketimpangan pendapatan, tercatat 0,38 pada 2023 merupakan sebuah angka yang menggambarkan adanya ketimpangan yang signifikan antara yang kaya dan yang miskin.
Kondisi ini bisa dipahami dengan menggunakan konsep asabiyyah dari Ibnu Khaldun. Ketika sebuah masyarakat kehilangan solidaritas dan kebersamaan antaranggota, maka ketimpangan sosial pun akan semakin lebar.
Dalam konteks Indonesia, ketimpangan antara desa dan kota, antara pulau-pulau besar dan kecil, serta antara kelompok ekonomi yang berbeda, memperburuk ketidaksetaraan ini.
Dengan kata lain, masyarakat yang kaya semakin kuat, sedangkan kelompok miskin terpinggirkan dan tidak memiliki akses yang memadai untuk mengubah nasib mereka.
Pemerintah Indonesia telah meluncurkan berbagai program untuk mengatasi kemiskinan seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT), dan berbagai program pembangunan infrastruktur.
Meskipun ada kemajuan, namun hasilnya tidak selalu merata. Banyak daerah, terutama di kawasan perdesaan dan kawasan timur Indonesia yang masih tertinggal.
Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan tersebut belum sepenuhnya mampu mengurangi ketimpangan yang mendalam di masyarakat.