Perilaku konsumtif generasi muda Indonesia dalam beberapa tahun terakhir telah menjadi fenomena yang semakin mendapatkan perhatian.
Ketika berbicara mengenai perilaku konsumsi, terutama di kalangan generasi muda, kita tidak hanya berbicara tentang pembelian barang dan jasa, tetapi juga tentang pola pikir, kebutuhan, dan dorongan psikologis yang mengarah pada pengeluaran yang lebih besar dari pendapatan.
Dalam hal ini, ekonomi makro dapat memberikan perspektif yang sangat berguna. Salah satunya melalui pendekatan John Maynard Keynes yang lebih fokus pada pengaruh permintaan agregat terhadap pertumbuhan ekonomi.
Definisi Perilaku Konsumtif Generasi Muda
Generasi muda Indonesia, terutama mereka yang berada dalam rentang usia 15 hingga 35 tahun, telah dikenal dengan kebiasaan konsumtif yang kerap mencerminkan tren global.
Perilaku konsumtif ini tidak hanya berfokus pada kebutuhan dasar, tetapi juga pada pemenuhan gaya hidup yang lebih hedonistik.
Di era digital yang semakin maju, kebutuhan konsumsi lebih dipengaruhi oleh akses informasi yang cepat, kampanye iklan yang cerdas, dan tekanan sosial untuk mengikuti gaya hidup tertentu.
Hal ini menciptakan dorongan untuk membeli barang-barang yang sering kali lebih berdasarkan keinginan daripada kebutuhan.
Pendekatan Keynes dalam Memahami Perilaku Konsumtif
John Maynard Keynes, seorang ekonom terkemuka asal Inggris, dalam teorinya mengenai ekonomi makro menekankan bahwa konsumsi adalah salah satu faktor kunci dalam menentukan tingkat permintaan agregat dalam perekonomian.
Dalam konteks Indonesia, perilaku konsumtif generasi muda berperan penting dalam 'merangsang' perekonomian domestik.
Keynes mengajukan bahwa konsumsi merupakan fungsi dari pendapatan, dimana semakin tinggi pendapatan, maka semakin besar proporsi konsumsi yang dikeluarkan oleh individu atau rumah tangga.
Namun demikian, yang menarik dari pendekatan Keynes adalah konsep 'marginal propensity to consume'Â (MPC) atau kecenderungan marginal untuk mengkonsumsi, yang menjelaskan seberapa besar proporsi tambahan pendapatan yang akan dibelanjakan.
Keputusan konsumsi ini tidak hanya dipengaruhi oleh pendapatan itu sendiri, melainkan faktor-faktor psikologis, sosial, dan budaya.
Dalam konteks ini, generasi muda Indonesia menunjukkan pola konsumsi yang lebih tinggi meski mereka mungkin belum memiliki pendapatan yang stabil atau tinggi.
Fenomena ini sering kali diperburuk dengan pengaruh media sosial yang memberikan gambaran tentang gaya hidup yang harus diikuti, dan menciptakan tekanan sosial untuk membeli barang-barang tertentu yang dianggap sebagai simbol status.
Pengaruh Konsumsi terhadap Ekonomi Domestik
Secara makro, konsumsi yang dilakukan oleh generasi muda Indonesia mempengaruhi perekonomian nasional.
Keynes berpendapat bahwa permintaan agregat (total permintaan barang dan jasa) dalam perekonomian, berperan penting dalam menentukan tingkat output dan lapangan pekerjaan.
Dalam hal ini, generasi muda sebagai konsumen utama di Indonesia berperan dalam mendorong permintaan agregat tersebut.
Misalnya, sektor industri barang elektronik, fesyen, dan teknologi mengalami peningkatan pesat karena tingginya konsumsi generasi muda terhadap produk-produk ini.
Dalam jangka pendek, konsumsi ini dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan aktivitas produksi dan lapangan kerja.
Namun di sisi lain, kecenderungan konsumtif yang berlebihan tanpa memperhatikan tabungan atau investasi dapat menyebabkan ketidakseimbangan ekonomi, dan menjadi masalah dalam jangka panjang.
Ketergantungan pada konsumsi dapat mengurangi potensi tabungan dan investasi yang dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Tekanan Sosial dan Pengaruh Media Sosial
Salah satu alasan utama mengapa generasi muda Indonesia terjerat dalam perilaku konsumtif adalah tekanan sosial yang datang melalui media sosial.
Platform seperti Instagram, TikTok, dan YouTube kerap menjadi sarana bagi generasi muda untuk mengekspresikan diri melalui konsumerisme.
Misalnya, banyak influencer yang memamerkan barang-barang mewah atau gaya hidup tertentu yang menjadi aspirasi bagi banyak anak muda.
Ini menciptakan apa yang disebut dengan 'konsumsi simbolik', dimana pembelian barang lebih dilihat sebagai alat untuk menunjukkan status sosial atau identitas daripada sekedar pemenuhan kebutuhan.
Dalam teori Keynes, konsumsi yang berlebihan tanpa mempertimbangkan kestabilan pendapatan atau tabungan dapat menyebabkan ketidakstabilan ekonomi.
Tetapi dalam konteks ini, perilaku konsumtif yang dipengaruhi oleh media sosial tidak hanya berisiko bagi kestabilan individu, melainkan dapat menciptakan distorsi dalam pola konsumsi sosial secara keseluruhan.
Dengan demikian, generasi muda lebih cenderung mengejar tren yang bersifat sementara, dan pada gilirannya dapat memperburuk kesenjangan ekonomi antara kelompok yang mampu dan yang tidak mampu mengikuti tren tersebut.
Kecenderungan Generasi Muda dalam Menanggapi Krisis Ekonomi
Konsumsi yang tinggi di kalangan generasi muda Indonesia juga dipengaruhi oleh persepsi mereka terhadap masa depan dan ketidakpastian ekonomi.
Ketika menghadapi krisis atau ketidakpastian ekonomi, Keynes berpendapat bahwa individu cenderung meningkatkan tabungan mereka sebagai bentuk perlindungan terhadap ketidakpastian yang ada.
Namun pada generasi muda Indonesia, kecenderungan ini tidak selalu tercermin. Sebaliknya, mereka sering kali menganggap konsumsi sebagai cara untuk mengatasi stres atau kebosanan, terutama dalam kondisi sosial-ekonomi yang tidak stabil.
Contoh nyata dari fenomena ini adalah bagaimana generasi muda di Indonesia sering kali lebih memilih untuk membeli barang konsumsi meskipun situasi ekonomi sedang lesu atau menghadapi krisis seperti yang terjadi pada masa pandemi COVID-19.
Di saat ekonomi tertekan, alih-alih menahan konsumsi atau mengalihkan dana untuk tabungan, generasi muda tetap menunjukkan pola konsumsi yang cenderung meningkat, baik melalui pembelian barang-barang teknologi, pakaian, maupun kosmetik.
Solusi untuk Mengatasi Perilaku Konsumtif yang Berlebihan
Dari perspektif Keynesian, untuk menjaga perekonomian tetap stabil, penting untuk memiliki keseimbangan antara konsumsi, tabungan, dan investasi.
Salah satu cara untuk mengatasi perilaku konsumtif yang berlebihan di kalangan generasi muda adalah dengan meningkatkan literasi keuangan.
Pendidikan mengenai pentingnya pengelolaan keuangan yang sehat, investasi jangka panjang, serta pentingnya tabungan dapat membantu mengubah pola pikir konsumtif yang impulsif menjadi lebih rasional.
Selain itu, perubahan kebijakan pemerintah yang mendorong penghematan dan investasi juga dapat membantu menstabilkan perekonomian domestik.
Misalnya, melalui program tabungan atau insentif bagi generasi muda untuk berinvestasi dalam aset produktif seperti saham atau properti.
Pemerintah juga perlu mengatur regulasi yang lebih ketat terhadap iklan produk yang menargetkan konsumen muda agar mereka tidak mudah terjerat dalam pengeluaran berlebihan hanya untuk memenuhi standar sosial yang tidak realistis.
Kesejahteraan Individu dan Stabilitas Perekonomian IndonesiaÂ
perilaku konsumtif generasi muda Indonesia dapat dipahami melalui pendekatan Keynesian yang menekankan pentingnya konsumsi dalam permintaan agregat ekonomi.
Namun kecenderungan konsumtif yang tinggi, terutama di kalangan generasi muda yang terpengaruh oleh media sosial dan tekanan sosial, dapat menciptakan masalah ekonomi jangka panjang apabila tidak diimbangi dengan kebijakan yang mendukung tabungan dan investasi.
Dengan memahami faktor-faktor psikologis dan sosial yang mendasari perilaku konsumtif ini, kita dapat mengarahkan generasi muda Indonesia untuk memiliki kebiasaan konsumsi yang lebih berkelanjutan dan rasional.
Dengan begitu, dalam jangka panjang, ini tidak hanya akan mendukung kesejahteraan individu, tetapi juga stabilitas perekonomian Indonesia secara keseluruhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H