Mohon tunggu...
Muhammad Rafly Setiawan
Muhammad Rafly Setiawan Mohon Tunggu... Lainnya - Manager Pemantauan Nasional Netfid Indonesia

Kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia yang memiliki hobi travelling, menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Perspektif Habermasian dalam Membongkar Fenomena Korupsi di Indonesia

5 Januari 2025   06:19 Diperbarui: 6 Januari 2025   22:57 340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Wikipedia, Jurgen Habermas

Korupsi di Indonesia adalah masalah yang telah mengakar dalam berbagai lapisan masyarakat dan pemerintahan. Dari pejabat tinggi negara hingga pegawai negeri yang berada di tingkat terendah, hampir tidak ada sektor yang kebal dari praktik kotor ini.

Meski berbagai upaya pemberantasan telah dilakukan, namun hasilnya sering kali tidak sesuai harapan.

Fenomena ini tidak hanya menunjukkan kelemahan dalam sistem hukum dan politik Indonesia, tetapi juga mengungkap kegagalan dalam membangun sebuah ruang publik yang sehat dan demokratis.

Untuk memahami akar permasalahan ini, kita perlu menggunakan perspektif yang lebih kritis dan mendalam, salah satunya dengan pendekatan teori komunikasi dari Jurgen Habermas.

Habermas, seorang filsuf Jerman yang terkenal dengan teori komunikasi dan ruang publik, memberikan landasan penting dalam memahami bagaimana sistem komunikasi yang rusak dapat memperburuk praktik-praktik korupsi, serta bagaimana memperbaikinya melalui partisipasi aktif masyarakat dan pembentukan konsensus yang rasional.

Dalam konteks ini, teori Habermas tentang 'ruang publik' dan 'komunikasi rasional' menjadi kunci untuk menggali lebih dalam mengenai struktur sosial yang memungkinkan korupsi berkembang.

Korupsi sebagai Produk Ruang Publik yang Terkontaminasi

Menurut Habermas, ruang publik adalah arena dimana individu-individu dapat bertukar ide dan berpartisipasi dalam diskursus untuk membentuk opini bersama yang rasional dan demokratis.

Ruang publik ini, dalam konteks negara demokratis, seharusnya menjadi tempat untuk membangun konsensus sosial yang berorientasi pada kepentingan bersama, bukan kepentingan kelompok atau individu tertentu.

Namun di Indonesia, ruang publik telah lama tercemar oleh berbagai kepentingan politik, ekonomi, dan kekuasaan yang mengarah pada pembentukan opini yang lebih sering dipengaruhi oleh kekuatan oligarki daripada hasil diskursus yang rasional.

Korupsi sering kali muncul sebagai akibat dari ketidakmampuan atau ketidakmauan elit politik dan pengusaha untuk berbicara dalam forum publik dengan dasar komunikasi yang rasional dan bebas dari tekanan kekuasaan.

Ruang publik yang seharusnya menjadi tempat bagi tercapainya konsensus yang memperhatikan kepentingan rakyat, malah sering digunakan untuk mempertahankan status quo yang menguntungkan segelintir orang.

Melalui ruang publik yang terkontaminasi ini, korupsi berkembang subur karena diskursus yang ada tidak mampu menanggulangi kepentingan pribadi atau kelompok yang lebih dominan.

Habermas menekankan pentingnya 'komunikasi yang bebas dari dominasi' yang artinya setiap individu harus memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam diskursus tanpa ada tekanan dari kekuasaan yang lebih besar.

Dalam konteks Indonesia, ruang publik seharusnya mampu membuka ruang bagi dialog yang lebih inklusif dan berpihak pada kepentingan rakyat.

Namun kenyataannya, ruang publik sering kali dibatasi oleh kontrol media yang dimiliki oleh konglomerat dan politisi besar yang memiliki kepentingan untuk mempertahankan kekuasaan mereka.

Apabila komunikasi dalam ruang publik terdistorsi oleh kepentingan ini, maka akan muncul ketidakadilan yang menciptakan celah bagi praktik korupsi.

Pemahaman Habermas tentang Legitimasi dan Kekuatan Negara

Habermas juga berbicara tentang pentingnya legitimasi dalam sistem politik. Menurutnya, negara yang sah adalah negara yang dapat memperoleh legitimasi dari rakyatnya melalui proses diskursus yang demokratis.

Dalam teori Habermas, legitimasi ini tidak diperoleh melalui kekuasaan otoriter atau kekerasan, melainkan melalui pembentukan konsensus yang rasional antara pemerintah dan masyarakat.

Namun di Indonesia, legitimasi sering kali diperoleh dengan cara yang jauh dari prinsip-prinsip diskursus yang rasional.

Banyak kebijakan dan keputusan politik yang diambil oleh penguasa tidak melalui proses dialog terbuka dengan masyarakat, melainkan melalui kesepakatan elit yang sering kali disembunyikan dari publik.

Ketika proses pembuatan kebijakan dilakukan tanpa partisipasi rakyat yang memadai, maka kebijakan tersebut menjadi tidak sah dan tidak legitimate.

Ketidaklegitiman ini, pada gilirannya membuka ruang bagi praktik-praktik korupsi, karena mereka yang berkuasa merasa tidak perlu mempertanggungjawabkan tindakan mereka kepada publik.

Salah satu contoh jelas dari fenomena ini adalah bagaimana pengusaha dan politisi besar kerap terlibat dalam praktik korupsi melalui proses pengambilan keputusan yang tidak transparan.

Dalam banyak kasus, kebijakan yang seolah-olah menguntungkan rakyat, tapi justru lebih menguntungkan kelompok tertentu yang memiliki akses ke kekuasaan.

Dalam hal ini, sistem pemerintahan yang ada gagal untuk menciptakan ruang diskursus yang memungkinkan tercapainya keputusan yang adil dan transparan.

Sebaliknya, ketidakterbukaan dan ketidakterlibatan masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan justru menciptakan celah bagi penyalahgunaan kekuasaan yang akhirnya berujung pada korupsi.

Pemberantasan Korupsi melalui Partisipasi dan Diskursus Publik

Dalam pandangan Habermas, pemberantasan korupsi tidak hanya melibatkan penegakan hukum yang tegas, tetapi juga reformasi terhadap ruang publik dan sistem komunikasi dalam masyarakat.

Pemberantasan korupsi harus dimulai dengan upaya untuk mengembalikan ruang publik sebagai arena diskursus yang bebas dari dominasi kekuasaan.

Ini berarti bahwa masyarakat harus diberi kesempatan untuk berpartisipasi secara aktif dalam pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingannya.

Partisipasi ini tidak hanya penting untuk mencegah terjadinya korupsi, melainkan untuk membangun konsensus sosial yang lebih adil dan rasional.

Habermas juga menekankan pentingnya pembentukan 'komunitas komunikatif' yang memungkinkan individu-individu untuk terlibat dalam percakapan yang berbasis pada argumen dan alasan, bukan pada kekuasaan atau dominasi.

Dalam konteks pemberantasan korupsi, ini berarti bahwa kita harus menciptakan ruang dimana masyarakat dapat berdiskusi secara bebas tentang isu-isu yang berkaitan dengan transparansi, akuntabilitas, dan kebijakan publik.

Diskursus yang terbuka ini akan memungkinkan publik untuk lebih memahami mekanisme pengambilan keputusan, serta memberi tekanan pada pemerintah dan lembaga negara untuk bertindak secara lebih akuntabel.

Reformasi ruang publik yang diusulkan oleh Habermas juga mencakup pemberdayaan media sebagai institusi yang tidak hanya berfungsi sebagai saluran informasi, melainkan sebagai tempat bagi warga untuk saling berkomunikasi dan berdebat.

Media harus berfungsi sebagai 'forum publik' yang memungkinkan munculnya berbagai suara dan pandangan, serta menghindari monopoli informasi yang hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu.

Dalam hal ini, media tidak hanya menjadi alat pemerintah atau kelompok elit, melainkan menjadi saluran bagi masyarakat untuk mengungkapkan kebenaran dan memperjuangkan kepentingan umum.

Menumbuhkan Diskursus Rasional dalam Pemberantasan Korupsi

Diskursus rasional dalam pemberantasan korupsi adalah langkah pertama yang perlu diambil untuk menciptakan perubahan yang signifikan.

Diskursus ini harus mencakup pemahaman bersama tentang dampak buruk korupsi terhadap pembangunan negara dan kesejahteraan rakyat.

Hal ini bisa dilakukan melalui pendidikan publik yang mengedepankan nilai-nilai transparansi, akuntabilitas, integritas, dan kemudian mengajak masyarakat untuk lebih aktif dalam mengawasi jalannya pemerintahan.

Selain itu, pemerintah perlu membuka diri terhadap kritik dan masukan dari masyarakat. Dengan demikian, kebijakan yang diambil bukan hanya hasil dari keputusan para penguasa, tetapi juga melibatkan pandangan masyarakat yang lebih luas.

Untuk itu, pemberantasan korupsi harus dilihat sebagai upaya kolektif yang melibatkan seluruh elemen masyarakat, bukan hanya sebagai tugas lembaga-lembaga penegak hukum.

Apabila diskursus ini dapat terjalin dengan baik, maka ruang publik yang sehat dan demokratis akan tercipta. Dan pada akhirnya, akan mengurangi peluang terjadinya korupsi.

Dengan membuka ruang bagi komunikasi yang rasional dan inklusif, kita dapat menciptakan sistem yang lebih adil, akuntabel, dan bebas dari korupsi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun