Banyak kebijakan dan keputusan politik yang diambil oleh penguasa tidak melalui proses dialog terbuka dengan masyarakat, melainkan melalui kesepakatan elit yang sering kali disembunyikan dari publik.
Ketika proses pembuatan kebijakan dilakukan tanpa partisipasi rakyat yang memadai, maka kebijakan tersebut menjadi tidak sah dan tidak legitimate.
Ketidaklegitiman ini, pada gilirannya membuka ruang bagi praktik-praktik korupsi, karena mereka yang berkuasa merasa tidak perlu mempertanggungjawabkan tindakan mereka kepada publik.
Salah satu contoh jelas dari fenomena ini adalah bagaimana pengusaha dan politisi besar kerap terlibat dalam praktik korupsi melalui proses pengambilan keputusan yang tidak transparan.
Dalam banyak kasus, kebijakan yang seolah-olah menguntungkan rakyat, tapi justru lebih menguntungkan kelompok tertentu yang memiliki akses ke kekuasaan.
Dalam hal ini, sistem pemerintahan yang ada gagal untuk menciptakan ruang diskursus yang memungkinkan tercapainya keputusan yang adil dan transparan.
Sebaliknya, ketidakterbukaan dan ketidakterlibatan masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan justru menciptakan celah bagi penyalahgunaan kekuasaan yang akhirnya berujung pada korupsi.
Pemberantasan Korupsi melalui Partisipasi dan Diskursus Publik
Dalam pandangan Habermas, pemberantasan korupsi tidak hanya melibatkan penegakan hukum yang tegas, tetapi juga reformasi terhadap ruang publik dan sistem komunikasi dalam masyarakat.
Pemberantasan korupsi harus dimulai dengan upaya untuk mengembalikan ruang publik sebagai arena diskursus yang bebas dari dominasi kekuasaan.
Ini berarti bahwa masyarakat harus diberi kesempatan untuk berpartisipasi secara aktif dalam pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingannya.