Korupsi sering kali muncul sebagai akibat dari ketidakmampuan atau ketidakmauan elit politik dan pengusaha untuk berbicara dalam forum publik dengan dasar komunikasi yang rasional dan bebas dari tekanan kekuasaan.
Ruang publik yang seharusnya menjadi tempat bagi tercapainya konsensus yang memperhatikan kepentingan rakyat, malah sering digunakan untuk mempertahankan status quo yang menguntungkan segelintir orang.
Melalui ruang publik yang terkontaminasi ini, korupsi berkembang subur karena diskursus yang ada tidak mampu menanggulangi kepentingan pribadi atau kelompok yang lebih dominan.
Habermas menekankan pentingnya 'komunikasi yang bebas dari dominasi' yang artinya setiap individu harus memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam diskursus tanpa ada tekanan dari kekuasaan yang lebih besar.
Dalam konteks Indonesia, ruang publik seharusnya mampu membuka ruang bagi dialog yang lebih inklusif dan berpihak pada kepentingan rakyat.
Namun kenyataannya, ruang publik sering kali dibatasi oleh kontrol media yang dimiliki oleh konglomerat dan politisi besar yang memiliki kepentingan untuk mempertahankan kekuasaan mereka.
Apabila komunikasi dalam ruang publik terdistorsi oleh kepentingan ini, maka akan muncul ketidakadilan yang menciptakan celah bagi praktik korupsi.
Pemahaman Habermas tentang Legitimasi dan Kekuatan Negara
Habermas juga berbicara tentang pentingnya legitimasi dalam sistem politik. Menurutnya, negara yang sah adalah negara yang dapat memperoleh legitimasi dari rakyatnya melalui proses diskursus yang demokratis.
Dalam teori Habermas, legitimasi ini tidak diperoleh melalui kekuasaan otoriter atau kekerasan, melainkan melalui pembentukan konsensus yang rasional antara pemerintah dan masyarakat.
Namun di Indonesia, legitimasi sering kali diperoleh dengan cara yang jauh dari prinsip-prinsip diskursus yang rasional.