Pendidikan, di mata sebagian besar orang adalah sarana untuk mengubah manusia menjadi mesin yang lebih baik. Mesin yang lebih terampil, lebih pintar, dan lebih produktif.Â
Dalam banyak kasus, dunia pendidikan kini lebih fokus pada hasil yang terukur daripada proses yang memanusiakan.
Itulah mengapa kita sering kali kita mendengar ungkapan seperti "Anak-anak harus siap bersaing di pasar kerja global" atau "Sistem pendidikan harus menyiapkan mereka untuk dunia yang kompetitif."
Namun hal tersebut menimbulkan pertanyaan mendasar, apakah kita benar-benar sedang menyiapkan manusia yang lebih manusiawi atau hanya mencetak robot dengan kemampuan teknis yang tinggi?
Di tengah hiruk-pikuknya reformasi pendidikan yang berfokus pada standar, ujian dan produktivitas, muncul sebuah pendekatan yang sudah mulai terdengar seperti angin segar di tengah kebisingan, yakni pendidikan humanis.
Pendidikan humanis ini mengingatkan kita pada sebuah pemikiran besar dari Paulo Freire, seorang pendidik dan filsuf Brasil yang menantang paradigma pendidikan tradisional.
Melalui pendekatan ini, Freire tidak hanya ingin menghasilkan individu yang cerdas secara intelektual, melainkan sadar secara sosial, kritis, dan memiliki rasa empati terhadap sesama.
Bayangkan saja, sebuah dunia dimana pendidikan bukan hanya tentang angka atau peringkat, tetapi tentang menjadi lebih manusiawi. Sungguh sangat revolusioner.
Kendati demikian, apakah pendidikan humanis ini masih relevan di zaman sekarang yang serba cepat dan terobsesi dengan algoritma? Oleh karena itu, tulisan ini akan membahas lebih jauh terkait hal tersebut. Mari kita bahas bersama.
Berpikir Kritis atau Berpikir Algoritmik?