Menyaksikan angka partisipasi pemilih yang rendah dalam Pilkada serentak 2024, penulis tidak merasa bangga. Mengapa demikian? Ini adalah bukti bahwa rakyat Indonesia semakin pintar dan cerdas, sadar akan kebutuhan masyarakat untuk beristirahat sejenak dari urusan Pemilihan Umum maupun Pilkada yang sudah terlalu sering menganggu kenyamanan mereka.
Tentu, mengorbankan sedikit waktu untuk memilih pemimpin yang akan menentukan arah pembangunan daerah untuk beberapa tahun ke depan merupakan hal yang menguras tenaga dan pikiran. Lebih baik menyerahkan semuanya kepada mereka yang benar-benar peduli bukan?
Namun dibalik kebosanan yang semakin merajalela, ada ancaman besar yang harus kita hadapi, yaitu rendahnya partisipasi pemilih dalam Pilkada serentak bukan hanya sekedar fenomena sosial atau kebiasaan buruk, melainkan sebuah ancaman serius bagi keberlanjutan demokrasi Indonesia.
Demokrasi yang "terlalu banyak" dikerjakan hingga tak bisa lagi dilaksanakan dengan sepenuh hati oleh rakyat. Oleh karena itu, penulis akan mengkaji mengapa terjadi fenomena seperti ini. Mari kita kaji bersama-sama.
Apakah ini Demokrasi?
Kita mulai dengan pertanyaan sederhana, apakah demokrasi yang kita jalani hari ini masih sesuai dengan esensinya? Pada dasarnya, demokrasi adalah bentuk pemerintahan dimana rakyat memiliki suara dalam memilih pemimpin dan menentukan kebijakan.
Namun, dengan partisipasi pemilih yang rendah rata-rata di bawah 70% (beberapa daerah bahkan kurang dari 50%), apakah kita masih bisa menyebutnya sebagai demokrasi sejati?
Rendahnya partisipasi pemilih dalam Pilkada serentak 2024 mengingatkan kita pada frasa demokrasi yang lebih mirip dengan formalitas ketimbang sebuah esensi yang hidup.
Hal ini selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Inglehart (2020) dalam World Values Survey, bahwa partisipasi politik yang tinggi berhubungan langsung dengan kualitas demokrasi yang lebih baik. Dengan kata lain, demokrasi hanya bisa berjalan dengan baik apabila masyarakat aktif terlibat dalam proses politik.
Lalu, jika setengah dari rakyat kita memilih untuk tidak ikut serta dalam Pilkada, apakah kita bisa berharap bahwa demokrasi kita akan berjalan lancar? Atau lebih tepatnya, demokrasi yang seperti itu justru hanya menjadi permainan elit yang tidak melibatkan suara rakyat?
Masyarakat Cerdas atau Masyarakat Apatis?
Sarkasme tentu saja tidak akan cukup untuk menggambarkan situasi tersebut. Banyak yang berargumen bahwa rendahnya partisipasi pemilih di Pilkada serentak 2024 adalah tanda masyarakat semakin cerdas.
Masyarakat sudah mulai paham bahwa memilih kepala daerah bukanlah tugas yang penting, karena siapa pun yang terpilih sepertinya hasilnya tidak akan jauh berbeda dari sebelumnya.
Begitu banyak kepala daerah yang terlibat dalam berbagai skandal korupsi dan abuse of power sehingga masyarakat merasa bahwa memilih kepala daerah hanya membuang waktu saja (Suryana, 2022).
Tetapi, apakah ini benar-benar tanda kecerdasan? Atau justru tanda bahwa kita hidup dalam sebuah "lingkaran setan" apatisme politik yang merajalela?
Hal ini diungkapkan oleh The Indonesian Survey Institute (2023), salah satu faktor penyebab rendahnya partisipasi adalah ketidakpercayaan terhadap integritas calon kepala daerah dan sistem politik secara umum.
Masyarakat merasa suara mereka tidak akan membuat perbedaan yang bermakna, dan hasil Pilkada sudah "diatur" oleh kekuatan politik tertentu yang jauh dari jangkauan mereka.
Kendati demikian, bukankah ini justru mencerminkan ketidakdewasaan demokrasi kita? Alih-alih berusaha memperbaiki sistem, kita malah menyerah pada keadaan dan memilih untuk tidak peduli.
Pilkada serentak seharusnya menjadi momen penting bagi rakyat untuk mengekspresikan pilihan dan suara mereka, namun justru menjadi ajang bagi kelompok-kelompok tertentu untuk meraup keuntungan.
Pilkada yang cuma Formalitas
Sekarang, mari kita hadapi kenyataan bahwa banyak orang mungkin merasa Pilkada serentak 2024 hanyalah sebuah formalitas. Pemilih yang tidak peduli dengan calon kepala daerah atau alasan untuk memilih hanya menjadi permainan politik yang tak jelas ujungnya.
Mengapa demikian? Di tengah maraknya politik uang dan praktik kampanye yang lebih sering memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan hoax dan informasi palsu, bagaimana mungkin rakyat bisa memiliki kepercayaan pada proses Pemilihan?
Hal ini terekam jelas dalam studi Freedom House (2022), yang menunjukkan bahwa kualitas Pemilu maupun Pilkada di Indonesia, meski suda mengalami peningkatan, namun masih menghadapi masalah serius terkait ketidaktransparanan dan potensi manipulasi.
Ini tidak hanya merujuk pada tingkat kejujuran Pemilu maupun Pilkada, tetapi juga tingkat keterlibatan masyarakat dalam proses tersebut. Ketika politik uang menjadi faktor penentu di banyak daerah, partisipasi pemilih yang rendah bukanlah hal yang mengejutkan.
Apabila calon kepala daerah lebih memilih untuk membagi amplop ketimbang berdebat soal visi, misi dan program, maka apa yang bisa kita harapkan bagi demokrasi kita?
Ancaman terhadap Keberlanjutan Demokrasi
Jika partisipasi politik masyarakat semakin menurun, maka kita sedang melangkah menuju kemunduran demokrasi. Dalam konteks Pilkada serentak 2024, hal ini bisa berujung pada hilangnya legitimasi pemimpin daerah.
Pemimpin yang terpilih tidak lagi mewakili mayoritas masyarakat, melainkan hanya segelintir suara yang mampu dimobilisasi oleh kekuatan politik tertentu.
The World Bank (2023) memberikan pengertian bahwa demokrasi yang sehat membutuhkan partisipasi aktif dari rakyat dalam memilih pemimpin dan membuat keputusan politik.
Partisipasi yang rendah menciptakan jarak antara pemimpin dan masyarakat. Ini membuka peluang bagi pengaruh eksternal seperti korporasi atau kelompok kepentingan tertentu, untuk memanipulasi hasil Pilkada demi keuntungan mereka sendiri.
Dengan demikian, bukan hanya merusak legitimasi Pemilihan, tetapi juga mengurangi kualitas pemerintahan dan membahayakan keberlanjutan demokrasi.
Demokrasi di Ujung Tanduk
Dengan rendahnya partisipasi pemilih dalam Pilkada serentak 2024, kita sebenarnya sedang memainkan"permainan" yang berbahaya. Demokrasi yang seharusnya melibatkan rakyat dalam pengambilan keputusan, kini menjadi ajang elit yang semakin terpisah dari kebutuhan dan suara masyarakat.
Apabila kita terus mengabaikan pentingnya partisipasi politik, kita akan mengirimkan pesan bahwa demokrasi Indonesia hanya akan menjadi sebuah nama besar yang kehilangan substansinya.
Demokrasi yang seharusnya menjadi ruang bagi rakyat untuk terlibat dalam keputusan-keputusan besar, bisa dengan mudah tergantikan oleh sistem yang lebih otoriter atau manipulatif, yang sebetulnya jauh dari prinsip-prinsip dasar demokrasi.
Pada akhirnya, rendahnya partisipasi Pilkada serentak 2024 bukan hanya menunjukkan apatisme masyarakat, tetapi juga memperlihatkan sebuah ancaman besar dan nyata bagi demokrasi Indonesia yang semakin terpinggirkan oleh ketidakpercayaan dan ketidakpedulian.
Inilah saatnya bagi kita untuk merenung, apakah kita ingin terus melanjutkan demokrasi yang "hanya ada di KTP" atau benar-benar memperjuangkan demokrasi yang melibatkan semua lapisan masyarakat. Apakah kita merayakan pesta rakyat atau merayakan pesta elit dan oligarki? Wallahu 'alam bissawab.
Referensi
Freedom House. (2022). Freedom in the World 2022.
Inglehart, R. (2020). World Values Survey. World Values Survey Association.
Suryana, A. (2022). Partisipasi Pemilih dan Politik Uang dalam Pilkada Serentak 2020. Jurnal Ilmu Politik, 12(3), 112-130.
The Indonesian Survey Institute. (2023). Tren Partisipasi Politik dalam Pemilu: Sebuah Analisis.
The World Bank. (2023). The State of Democracy and Governance in Southeast Asia. World Bank Publications.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H