Masyarakat Cerdas atau Masyarakat Apatis?
Sarkasme tentu saja tidak akan cukup untuk menggambarkan situasi tersebut. Banyak yang berargumen bahwa rendahnya partisipasi pemilih di Pilkada serentak 2024 adalah tanda masyarakat semakin cerdas.
Masyarakat sudah mulai paham bahwa memilih kepala daerah bukanlah tugas yang penting, karena siapa pun yang terpilih sepertinya hasilnya tidak akan jauh berbeda dari sebelumnya.
Begitu banyak kepala daerah yang terlibat dalam berbagai skandal korupsi dan abuse of power sehingga masyarakat merasa bahwa memilih kepala daerah hanya membuang waktu saja (Suryana, 2022).
Tetapi, apakah ini benar-benar tanda kecerdasan? Atau justru tanda bahwa kita hidup dalam sebuah "lingkaran setan" apatisme politik yang merajalela?
Hal ini diungkapkan oleh The Indonesian Survey Institute (2023), salah satu faktor penyebab rendahnya partisipasi adalah ketidakpercayaan terhadap integritas calon kepala daerah dan sistem politik secara umum.
Masyarakat merasa suara mereka tidak akan membuat perbedaan yang bermakna, dan hasil Pilkada sudah "diatur" oleh kekuatan politik tertentu yang jauh dari jangkauan mereka.
Kendati demikian, bukankah ini justru mencerminkan ketidakdewasaan demokrasi kita? Alih-alih berusaha memperbaiki sistem, kita malah menyerah pada keadaan dan memilih untuk tidak peduli.
Pilkada serentak seharusnya menjadi momen penting bagi rakyat untuk mengekspresikan pilihan dan suara mereka, namun justru menjadi ajang bagi kelompok-kelompok tertentu untuk meraup keuntungan.
Pilkada yang cuma Formalitas
Sekarang, mari kita hadapi kenyataan bahwa banyak orang mungkin merasa Pilkada serentak 2024 hanyalah sebuah formalitas. Pemilih yang tidak peduli dengan calon kepala daerah atau alasan untuk memilih hanya menjadi permainan politik yang tak jelas ujungnya.