Mengapa demikian? Di tengah maraknya politik uang dan praktik kampanye yang lebih sering memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan hoax dan informasi palsu, bagaimana mungkin rakyat bisa memiliki kepercayaan pada proses Pemilihan?
Hal ini terekam jelas dalam studi Freedom House (2022), yang menunjukkan bahwa kualitas Pemilu maupun Pilkada di Indonesia, meski suda mengalami peningkatan, namun masih menghadapi masalah serius terkait ketidaktransparanan dan potensi manipulasi.
Ini tidak hanya merujuk pada tingkat kejujuran Pemilu maupun Pilkada, tetapi juga tingkat keterlibatan masyarakat dalam proses tersebut. Ketika politik uang menjadi faktor penentu di banyak daerah, partisipasi pemilih yang rendah bukanlah hal yang mengejutkan.
Apabila calon kepala daerah lebih memilih untuk membagi amplop ketimbang berdebat soal visi, misi dan program, maka apa yang bisa kita harapkan bagi demokrasi kita?
Ancaman terhadap Keberlanjutan Demokrasi
Jika partisipasi politik masyarakat semakin menurun, maka kita sedang melangkah menuju kemunduran demokrasi. Dalam konteks Pilkada serentak 2024, hal ini bisa berujung pada hilangnya legitimasi pemimpin daerah.
Pemimpin yang terpilih tidak lagi mewakili mayoritas masyarakat, melainkan hanya segelintir suara yang mampu dimobilisasi oleh kekuatan politik tertentu.
The World Bank (2023) memberikan pengertian bahwa demokrasi yang sehat membutuhkan partisipasi aktif dari rakyat dalam memilih pemimpin dan membuat keputusan politik.
Partisipasi yang rendah menciptakan jarak antara pemimpin dan masyarakat. Ini membuka peluang bagi pengaruh eksternal seperti korporasi atau kelompok kepentingan tertentu, untuk memanipulasi hasil Pilkada demi keuntungan mereka sendiri.
Dengan demikian, bukan hanya merusak legitimasi Pemilihan, tetapi juga mengurangi kualitas pemerintahan dan membahayakan keberlanjutan demokrasi.
Demokrasi di Ujung Tanduk