Mohon tunggu...
Muhammad Miftahudin
Muhammad Miftahudin Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

Mahasiswa Aktif Prodi Hukum Keluarga Islam di UIN Raden Mas Said SURAKARTA

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Pilihan

Dinamika Hukum Perdata Islam: Menjawab Tantangan Zaman Melalui RUU HMPA dan Draft HAES

18 Maret 2024   22:58 Diperbarui: 19 Maret 2024   06:22 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hukum perdata Islam adalah hukum perdata yang sesuai dengan hukum Islam dan/atau berlaku bagi orang-orang Islam/badan hukum Islam atau orang/badan hukum yang menundukkan diri kepada hukum Islam. Dari berbagai aturan hukum perdata materiil Islam yang sudah diatur dalam undang-undang, masih terdapat aturan hukum yang tidak berbentuk undang-undang,sehingga hanya memiliki kekuatan hukum fakultatif, bukan imperatif, seperti KHI dan KHES.

Namun demikian, keberadaan KHI dan KHES telah menjadi pedoman bagi hakim-hakim di lingkungan badan peradilan agama dalam memeriksa dan memutus perkara-perkara perdata Islam. Terkait dengan KHI, sejak tahun 2003, Departemen Agama RI telah mengajukan Rancangan Undang-undang Hukum Materiil Peradilan Agama (RUU HMPA) kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

RUU HMPA ini bertujuan untuk menyempurnakan materi Kompilasi Hukum Islam dan untuk meningkatkan statusnya dari Inpres menjadi Undang-undang sehingga memiliki kekuatan hukum mengikat (imperatif). Sementara terkait dengan KHES yang masih berbentuk Perma, saat ini Mahkamah Agung melalui Direktorat Pranata dan Tata laksana Perdata Agama Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama MA RI (Ditjen Badilag MA RI) sedang melakukan penyusunan Draft Hukum Acara Ekonomi Syariah (HAES), yang pada Juli 2012 telah memasuki tahap finalisasi.

Pendekatan Ushul Fikih Terhadap Hukum Islam

Pendekatan ushul fikih terhadap hukum Islam menawarkan metode. Secara umum, metode-metode penemuan hukum Islam sebagaimana yang dirumuskan oleh para teoretisi hukum Islam dapat diklasifikasikan menjadi tiga metode, yaitu (1) metode interpretasi linguistik (at-turug al-bayaniyyah), (2) metode perluasan makna (ekstensifikasi, ma'nawiyah), dan (3) metode penyelarasan (sinkronisasi, at-taufiq).

Metode interpretasi linguistik merupakan metode penemuan hukum dengan cara melakukan interpretasi terhadap teks-teks hukum Islam, yaitu nash-nash Al Qur'an dan Hadist. Dalam hal ini untuk suatu kasus yang dihadapi sudah ada teks hukumnya, hanya saja nash atau teks hukum tersebut masih kabur atau kurang jelas. 

Oleh karena itu, di dalam metode ini terdapat dua konsep penting yaitu tafsir dan ta'wil. Tafsir pada dasarnya bertujuan untuk menjelaskan makna suatu nash yang ada dan mendeduksi hukum dari nash itu dalam batas- batas kata dan ungkapannya. Sedangkan ta'wil, adalah keluar dari makna harfiyyah kata- kata dan ungkapan, dan memalingkannya ke dalam sebuah makna tersembunyi yang sering kali didasarkan pada penalaran spekulatif dan ijtihad.

Ulama usul membagi ta'wil menjadi tiga macam, yaitu mengkhususkan lafal yang umum, membatasi lafal yang mutlak, dan memalingkan makna khusus yang hakiki dan jelas kepada makna lain yang mungkin karena suatu alasan yang lebih kuat. Selain dari segi tersebut, Zuhaili menambahkan pengklasifikasian nashh dari segi penggunaannya, pertama, Pernyataan hukum (nash) dari segi kejelasannya: zahir (nash yang tampak), nash (nash yang jelas, perintah-perintahnya lebih jelas dari zahir), mufassar (nash yang tegas), dan muhkam (nash yang sudah sangat jelas). Menurut Kassim Ahmad, nash yang berisi kaidah-kaidah umum atau mujmal itulah sebenarnya yang menjadi dasar pokok hukum syara', sementara ayat-ayat mufassar yang terinci itu hanyalah contoh penerapan sezaman yang dapat berubah.

Kedua, Nash dari segi ketidakjelasannya. Menurut ulama Hanafiyyah dibagi menjadi hafi musykil, mujmal, dan mutasyabih. Ketidakjelasan khafi berasal dari faktor eksternal (di luar pernyataan nash), sementara ketidakjelasan musykil berasal dari dalam pernyataan nash tersebut (internal). Dua yang pertama dapat diperjelas melalui upaya penelitian atau ijtihad, sedangkan dua yang terakhir hanya dapat dijelaskan dengan penjelasan Pemberi hukum. Ketiga, Nash dari segi cakupan maknanya, diantaranya Amm (umum), Khass (khusus), Mutlaq (terbatas), Muqayyad (prioritas), Musytarak (mempunyai lebih dari satu makna).

Keempat, Nash dari segi penggunaannya, terbagi menjadi haqiqi (harfiyyah), majazi (metaforis), kinayah (kiasan), dan sarih (jelas menyingkap maksud pembicara). Baik haqiqi maupun majaz masih terbagi lagi berdasarkan konteksnya kepada makna linguistik (lughawi), makna adat ('urn) baik yang umum maupun khusus, dan makna yuridis (syari). Apabila suatu lafal mengandung kemungkinan makna haqiqi dan majazi, maka diprioritaskan yang haqiqi, karena majazi berlawanan dengan 'asl (makna asli). Haqiqi dan majazi juga terbagi kepada sarih dan kinayah.

Sarih adalah lafal yang maknanya yang dimaksud tampak secara jelas karena banyak menggunakan haqiqi atau majazi. Sedangkan kinayah adalah lafal yang maknanya tertutup darinya di dalam lafal itu sendiri, sehingga tidak dapat dipahami kecuali dengan qarinah, baik makna yang dimaksud haqiqi atau majazi.

Kelima, Nash dari segi formula taklif, dibagi menjadi amr (perintah) dan nahy (larangan). Perintah merupakan permintaan untuk melakukan sesuatu dari orang yang kedudukannya lebih tinggi kepada orang yang kedudukannya lebih rendah, sedangkan larangan adalah sebaliknya, yaitu meminta agar suatu perbuatan dijauhi. Dalam larangan, meskipun menurut jumhur makna pokok dari larangan adalah keharaman atau tahrim, tetapi larangan juga digunakan untuk sekedar menyatakan ketercelaan (karahiyah) atau an (do'a). tuntunan (irsyad) atau kesopanan (ta'dib) atau permohonan Larangan yang muncul setelah perintah menimbulkan ketidakbolehan atau tahrim.

Keenam, Nash dari segi dalalah (cara penujukkan terhadap makna). Kelompok Fuqaha (Hanafiyyah) membagi dalalah ke dalam empat tingkatan. a) Dalalah al-'ibarah/ibarah an-nashs (makna eksplisit), yaitu penunjukkan nash kepada makna yang langsung dapat diterima oleh akal dari kata-kata atau ungkapan yang terdapat dalam nash. b) Dalalah al-isyarah/isyarah an-nashs (makna tersirat), yaitu penunjukkan nash terhadap makna yang bukan makna pokok dari nash, tetapi ia merupakan makna yang sejalan dengan nash, yang dapat diperoleh melalui pen elitian yang mendalam terhadap indikasi- indikasi yang bisa diamati yang terdapat di dalam nash. c) Dalalah al-dalalah/dalalah an-nashs (makna yang ter- simpul), yaitu penunjukkan nash kepada makna yang diperoleh dari semangat dan alasan syar'i meskipun tidak ditunjukkan di dalam kata- kata dan kalimat-kalimatnya.

Di samping itu, makna tersebut diperoleh melalui penarikan analogi dan penentuan 'illat antara makna yang eksplisit dan makna yang diperoleh melalui inferensi. Dalalah an-nashs oleh beberapa ulama disamakan dengan qiyas. d) Dalalah iqtidha' (makna yang dikehendaki), yaitu penunjukkan nash kepada makna yang tidak disebutkan di dalam nash, tetapi makna tersebut perlu untuk melengkapi dan mewujudkan tujuan dari nash. Dalam Al Qur'an dan Sunnah terdapat beberapa perintah yang objek perintah tersebut merupakan gabungan kata (idhafat). Dalam gabungan tersebut terdapat salah satu lafal yang dihilangkan (biasanya lafal yang dihilangkan adalah mudhaf-nya). Sebagai contoh, ketentuan tentang perempuan-perempuan yang haram dinikahi dalam Q.S. 4: 23.

RUU HMPA, Pendekatan Kontemporer Tehadap Hukum Perdata Islam

Latar belakang yang mendorong Departemen Agama untuk menyusun RUU HMPA (Rancangan Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan Agama) Bidang Perkawinan adalah karena aturan hukum yang terdapat di dalam UU No. 1 tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 dipandang kurang memadai sebagai hukum materiil bagi Peradilan Agama, karena aturan UU ini bersifat lintas agama, yang harus ditaati oleh semua umat beragama, yang bukan khusus diperuntukkan untuk umat Islam, maka diupayakanlah untuk menyusun Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berlaku khusus untuk umat Islam, yang dijadikan dasar bagi para hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara.

Dalam ilmu pengetahuan hukum, hukum dibedakan menjadi hukum formil dan hukum materiil. Hukum formil merupakan hukum acara yang mengatur tentang tata cara pemeriksaan perkara di pengadilan, sedangkan hukum materiil merupakan aturan-aturan hukum yang terkait dengan bidang-bidang hukum tertentu.

Sebelum RUU HMPA Bidang Perkawinan disahkan menjadi undang-undang oleh DPR, ada beberapa ketentuan dalam RUU HMPA Bidang Perkawinan yang perlu dikaji dan dipertimbangkan kembali sehingga ketentuan-ketentuan tersebut mampu menjadikan hukum keluarga Islam di Indonesia sebagai hukum yang progresif dan tidak bertentangan dengan beberapa Undang-undang yang telah ada, yaitu UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan UU No. 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak. Di antara ketentuan-ketentuan dalam RUU HMPA Bidang Perkawinan tersebut adalah ketentuan yang mengatur tentang rukun perkawinan, usia perkawinan, wali nikah, kedudukan anak dan waktu tunggu.

Rukun Perkawinan dijelaskan dalam Pasal 3 RUU HMPA Bidang Perkawinan berbunyi: "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam". Sementara dalam Pasal 13 dijelaskan bahwa untuk melaksanakan perkawinan harus ada (rukun perkawinan): calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi, ijab kabul, dan mahar. Kedudukan perkawinan dalam Al Qur'an adalah sebagai ikatan yang kokoh (Q.S. An-Nisa [4]: 21). Sebagai ikatan yang kokoh maka setiap pasangan yang menikah dituntut untuk berkomitmen dalam menjaga kelangsungan perkawinan dalam rangka mewujudkan keluarga yang bahagia (sakinah) (Q.S ArRum [30]: 21).

Selain itu, ada kecenderungan bahwa pasca perkawinan, anggota suku cenderung untuk hidup menetap di daerahnya, baik karena keterbatasan sarana transportasi maupun mata pencaharian yang tidak menuntut mobilitas bahkan untuk menetap di daerah lain. Dalam situasi yang seperti ini, maka masyarakat masih memiliki fungsi kontrol terhadap status perkawinan setiap anggotanya.

Masyarakat masih dapat menjadi saksi atas ikatan perkawinan setiap anggotanya. Inilah mengapa Rasulullah menganjurkan agar setiap akad nikah diselenggarakan pesta perkawinan meski dengan seekor kambing. Tujuannya tidak lain adalah agar dipersaksikan oleh masyarakat. Dalam konteks seperti ini tentu pencatatan perkawinan belum menjadi sebuah tuntutan hammasyarakat pada saat itu, yang mungkin mempengaruhi para ulamafikih klasik dalam merumuskan rukun dan syarat perkawinan,

Berbeda dengan akad hutang-piutang, sejak awal Al Qur'an memerintahkan agar para pihak yang terlibat melakukan pencatatan. sehingga untuk menjamin adanya kepastian hukum atas hak dan kewajiban pihak-pihak yang terlibat dalam akad hutang-piutang, akad tersebut harus dicatat dengan benar. Di sinilah pencatatan perkawinan menjadi tuntutan yang tidak dapat dihindari dalam rangka memberikan perlindungan hukum bagi pasangan yang menikah maupun anak-anak yang lahir dariperkawinan itu (hifzun nas). Oleh karena itu, sudah sepatutnya pencatatan nikah menjadi salah satu rukun perkawinan.

Usia Perkawinan juga diatur dalam Pasal 14 RUU HMPA disebutkan bahwa untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya dapat dilakukan apabila calon mempelai laki-laki telah mencapai umur 19 tahun dan calon mempelai perempuan mencapai umur 16 tahun. Selain itu, juga perlu dilakukan penelitian tentang dampak perkawinan usia muda kaum Perempuan terhadap tingkat pendidikan kaum perempuan. Hal ini karena Tingkat pendidikan tentu akan sangat berpengaruh terhadap kemandirian kaum perempuan, kedudukan, serta peran kaum perempuan dimasyarakat.

Terkait dengan perkawinan usia muda, memang terdapat hadist yang diriwayatkan oleh Hisyam ibn Urwah, yang sering kali dijadikan dasar/dalil atas kebolehan perkawinan usia muda, yang menceritakan bahwa Aisyah menikah dengan Rasulullah SAW pada usia 7 tahun, dan mulai berhubungan badan dengan Rasulullah SAW pada usia 9 tahun.

Ketentuan lain yang diatur dalam RUU HMPA adalah wali nikah, tertulis dalam Pasal 13 ayat (1) RUU HMPA Bidang Perkawinan menyatakan bahwa untuk melaksanakan perkawinan harus ada (rukun perkawinan): calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi, ijab kabul, dan mahar. Dan pelaksanaan perkawinan yang tidak memenuhi ketentuan pada ayat (1) tidak sah (Pasal 13 ayat (2).

Sebagian besar ulama fikih berpendapat bahwa seorang perempuan tidak boleh menikahkan dirinya sendiri atau orang lain. Jika dia menikah tanpa wali, maka pernikahannya batal atau tidak sah. Untuk mengkaji ulang masalah perwalian dalam perkawinan dengan pendekatan hermeneutik, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengkaji praktik perkawinan yang berlaku di Arabia pra-Islam maupun pada awal Islam.

Menurut Smith, sebelum pada akhirnya perkawinan ba'al, dengan ayah individual dan anak-anak laki-laki mengikuti garis keturunan ayah, merupakan satu-satunya jenis hubungan antar jenis kelamin yang dianggap sah pada masa Nabi Muhammad SAW, di dalam masyarakat Arabia terdapat dua jenis kekerabatan dan perkawinan, yaitu matrilineal dengan perkawinan sadiqah, dan patrilineal dengan perkawinan ba'al.

Secara lebih rinci, perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan jenis perkawinan sadiqah oleh Smith, mencakup dua jenis perkawinan. Pertama adalah jenis perkawinan dalam mana perempuan tetap bersama sukunya dan memilih serta menolak pasangannya ketika mau, anak-anaknya menjadi milik suku ibunya dan tumbuh di bawah perlindungan mereka. Perkawinan jenis ini disebut oleh Smith dengan perkawinan beena, meminjam istilah dari Ceylon, yang digunakan untuk menyebut perkawinan-perkawinan dalam mana sang suami bertempat tinggal di desa istri.

Kedua, perkawinan mut'ah, dalam mana perkawinan didasarkan atas persetujuan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, tanpa intervensi dari pihak kerabat istri, yang berlangsung selama suatu batas waktu tertentu, dan perempuan mendapatkan suatu pemberian hulwan) dari laki-laki. Dalam perkawinan mut'ah perempuan tidak meninggalkan rumahnya, kerabat-kerabatnya tidak memberikan hak.hak yang mereka miliki atasnya, dan anak-anak dari perkawinan ihtidak menjadi milik sang suami.

Berkaitan dengan praktik perkawinan melalui pembelian peminangan, perlu diketahui bahwa sebenarnya terdapat perbedaan antara mahar dan sadaq. Yang pertama dibayarkan kepada wali, sedangkan yang kedua kepada pengantin perempuan. Mahar yang sebelumnya dianggap sebagai harga pembelian bagi seorang perempuan yang dinikahi, kemudian diperbaiki maknanya oleh Islam dengan menyebut kata an-nihlah dalam Q.S. An-Nisa' (4):4, yang berarti pemberian yang tidak disertai dengan harapan menerima imbalan apa pun. Pemberian tersebut merupakan bukti rasa cinta dan ikatan kekerabatan serta kasih sayang.

Pada masa awal Islam, pembayaran dari pihak laki-laki masih tetap berlaku, tetapi hanya kepada calon mempelai saja, tidak lagi kepada ayah atau saudaranya, sehingga mahar dan sadaq menjadi istilah yang dipakai bersama. Namun posisi dan kondisi kehidupan perempuan masih dianggap harta milik suami, yang karena telah merasa membayar, menganggap dirinya mempunyai hak penuh untuk dilayani. Dalam konteks inilah, Perempuan masih membutuhkan perwalian dalam perkawinan, untuk memberikan perlindungan kepada perempuan agar tidak menjadi korban penipuan.

Kedudukan anak juga diatur dalam RUU HMPA Pasal 94 ayat (1) Bidang Perkawinan berbunyi: "Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan akibat perkawinan yang sah". Ketentuan ini berbeda dengan ketentuan tentang anak sah di dalam UU No. 1 Tahun 1974 maupun KHI. Dalam Pasal 42 UU No. 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Ketentuan ini sama dengan bunyi Pasal 99 huruf (a) KHI, hanya dalam KHI tidak ada kata "sebagai".

Dalam Pasal 96 RUU HMPA disebutkan bahwa dalam hal perkawinan perempuan hamil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dan Pasal 48, maka anak yang lahir dalam waktu kurang dari 180 (seratus delapan puluh hari) hari terhitung sejak akad nikah, hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.

Selain itu, Pasal 96 RUU HMPA justru menghilangkan tujuan perlindungan terhadap status anak yang masih dalam kandungan dengan dibolehkannya kawin hamil. Secara sosiologis, perkawinan perempuan hamil memiliki dua manfaat, yaitu, pertama untuk menutupi aib perempuan hamil di luar nikah dan keluarganya di masyarakat, dan kedua untuk melindungi status hukum anak yang masih dalam kandungan.

Dalam fikih, ada cara untuk menghubungkan garis keturunan seseorang. Dalam hal, terdapat anak yang tidak memiliki orang tua yang pasti, sebagai laqith atau anak temuan, seseorang yang menemukan dan mengakuinya sebagai anak dapat meminta kepada hakim untuk menghubungkan nasab anak temuan tersebut kepadanya, atau biasa dikenal dengan istilhaq.

Berdasarkan argumentum a fortiori atau al-mafhum al-muwafaqah, jika anak yang tidak memiliki nasab yang jelas saja dapat dinasabkan kepada orang yang mengakuinya melalui istilhaq, maka anak yang jelas bapak biologisnya juga dapat dinasabkan kepada bapak biologisnya.

Ketentuan terakhir yang diatur dalam RUU HMPA Bidang Perkawinan  adalah waktu tunggu ('iddah), dalam Pasal 123 dan Pasal 124. Dalam ketentuan tersebut 'iddah hanya berlaku bagi janda, dan tidak bagi duda. Kewajiban 'iddah yang hanya mengikat bagi perempuan sebenarnya dapat dipahami sebagai legal-spesifik, yaitu ajaran khusus terhadap situasi khusus, yang bersifat temporal.

Namun demikian, Al Qur'an melalui sejumlah ayat secara tegas menyatakan bahwa kedudukan antara laki-laki dan perempuan adalah setara. Misalnya bahwa para istri adalah pakaian bagi para suami dan para suami adalah pakaian bagi para istri (Q.S. 2: 187), laki-laki dan perempuan berasal dari asal yang sama (Q.S. 4: 1, 39: 13).

Sedangkan kelebihan-kelebihan yang diberikan kepada laki-laki dalam kapasitasnya sebagai anggota masyarakat yang memiliki peran publik dan sosial lebih ketika ayat-ayat Al Qur'an diturunkan, seperti seorang suami setingkat lebih tinggi di atas istri (Q.S. 2: 228), laki-laki pelindung bagi perempuan (Q.S. 4: 34). Al Qur'an tidak pernah menyatakari bahwa laki-laki, baik dalam kapasitas biologisnya sebagai laki-laki, atau dalam kapasitas sosialnya sebagai ayah, suami, atau penafsir kitab suci, lebih mampu dari perempuan dalam mencapai tingkat ketakwaan atau melaksanakan ajaran agama.

Pandangan Al Qur'an mengenai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan tersebut adalah untuk mewujudkan keadilan dalam pola hubungan antara laki-laki dan perempuan. Keadilan dalam hal ini dapat dipahami sebagai ideal moral. Sebenarnya maksud dari tujuan 'iddah untuk mengetahui kehamilan adalah menetapkan garis keturunan anak yang dikandung, yaitu menetapkan ayah dari anak tersebut.

Dalam hal ini iddah memiliki peran yang penting dalam menjaga garis keturunan. Karena jika tidak ada kewajiban 'iddah, maka tidak mungkin, dalam kasus seorang perempuan yang menikah dalam beberapa hari pasca berpisah dengan suaminya yang pertama, untuk menentukan siapa ayah dari anak yang kemudian dikandungnya.

Kewajiban 'iddah sesungguhnya juga dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada perempuan pasca perceraian. Pertama, `iddah memainkan peran yang penting sekali dalam menjaga kehormatan dan kredibilitas seorang perempuan. Kedua, `iddah ditujukan untuk menjamin kesehatan ibu dan anak. Hal ini terkait dengan kewajiban suami untuk menjamin nafkah dan tempat tinggal istrinya yang dicerai selama masih dalam keadaan hamil.

Selanjutnya dalam kasus iddah talak raj. Sebenarnya misi utama Al Qur'an melembagakan 'iddah dalam kasus talak raj'i adalah mendorong kedua belah pihak yang bercerai untuk berdamai dan bersatu kembali. Yang terpenting dari tujuan 'iddah adalah untuk mengagungkan status perkawinan sebagai perjanjian yang kokoh (misaqan galizan). Dalam arti bahwa perceraian tidak secara langsung dapat memutuskan ikatan perkawinan, tetapi harus melalui masa `iddah terlebih dahulu. Hal ini dikarenakan perkawinan adalah sebuah kontrak tetapi juga sebuah perjanjian yang sungguh-sungguh (covenant).

Dalam perkembangannya pendekatan kontemporer terhadap hukum perdata islam juga membahas tentang masalah-masalah lainnya, diantaranya; status anak di luar perkawinan, kerancuan istilah poligami, harta bersama, itsbat pengangkatan anak, ahli waris, kerancuan putusan perceraian pengadilan agama dan nilai pembuktian saksi perempuan dalam hukum islam.

Sesuai dengan ketentuan yang membahas tentang status anak diluar perkawinan dalam Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi: "Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya," begitu juga dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 100 yang berbunyi: "Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya," maka ketentuan pencatatan akta kelahiran bagi anak yang dilahirkan di luar perkawinan tersebut telah benar.

Namun demikian, di dalam praktik yang dijumpai sebagian besar hakim di lingkungan Pengadilan Agama cenderung kepada dua hal dalam menangani perkara permohonan pengakuan anak dalam mana anak tersebut dilahirkan di luar perkawinan: 1) apabila anak yang dilahirkan di luar perkawinan tersebut sebagai akibat perkawinan siri kedua orang tuanya, maka akan dikabulkan; 2) apabila anak yang dilahirkan di luar perkawinan tersebut sebagai akibat kumpul kebo kedua orang tuanya, maka akan ditolak.

Sebagian besar pertimbangan hukum yang mendasari penolakan terhadap permohonan pengakuan anak di luar perkawinan tersebut adalah pendapat bahwa anak zina tidak dapat dinasabkan kepada bapak biologis anak tersebut.

Hukum Peradata Islam kontemporer juga membahas kerancuan istilah poligami. Istilah poligami terdiri dari kata poli yang berarti banyak, dan gami yang berarti perkawinan. Yang pertama disebut poligini, dan yang kedua disebut poliandri. Dalam hal ini, istilah yang tepat untuk menyebut perkawinan dalam mana seorang laki-laki menikahi lebih dari seorang perempuan pada saat yang bersamaan adalah poligini, dan bukan poligami. Hukum positif di Indonesia memberikan izin poligini bagi seorang suami dengan alasan istri tidak dapat melahirkan keturunan (UU No.1 tahun 1974, pasal 4 ayat 2; Kompilasi Hukum Islam pasal 57).

Hal lain yang dibahas dalam perkembangan hukum perdata islam  adalah harta bersama. Dalam hukum adat, harta bersama merupakan bagian dari harta perkawinan. Harta perkawinan adalah harta benda yang dapat digunakan oleh suami-istri untuk membiayai biaya hidup mereka sehari-hari beserta anak-anaknya. Hukum adat juga mengatur pembagian harta bersama ketika perkawinan berakhir akibat kematian salah satu pihak atau akibat perceraian.

 Tetapi, dalam hal sudah tersedia secara pantas sejumlah harta yang diambilkan dari harta bersama tersebut untuk keperluan hidupnya, maka kelebihannya dapat dibagi oleh ahli waris. Kalau terdapat anak, maka anak itulah yang menerima bagiannya sebagai barang asal. Kalau tidak ada anak, maka sesudah kematian suami atau istri yang hidup lebih lama, harta bersama tersebut harus dibagi antara kerabat suami dan kerabat istri menurut ukuran pembagian yang sama dengan ukuran pembagian yang digunakan suami istri seandainya mereka masih hidup serta membagi harta bersama tersebut. Sedangkan dalam hukum Positif, ada beberapa pasal yang membahas mengenai pembagian harta bersama, seperti; Pasal 35-37 Undang-undang Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974) dan Pasal 85-97 Kompilasi Hukum Islam (Inpres No. 1 Tahun 1991),

Itsbat pengangkatan anak juga dibahas dalam penerapan Hukum Perdata Islam kontemporer. Pengangkatan anak dalam istilah hukum perdata barat disebut adopsi. Sumber hukum adopsi adalah Staatsblad tahun 1917 No. 129 tanggal 29 Maret 1917. Praktik pengangkatan anak yang dilakukan orang-orang islam dalam perkembangannya diatur alam perkara itsbat (pengesahan) pengangkatan anak dalam UU No.3 Tahun 2006.

Selanjutnya mengenai ketentuan ahli waris pengganti dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 185 adalah sebagai berikut: (1) Ahli waris yang meninggal terlebih dahulu dari pada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173. (2) Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.

Pendekatan kontemporer terhadpa hukum islam juga membahas kerancuan Putusan Perceraian Pengadilan Agama. Di lingkungan Peradilan Agama, perkara perceraian dibedakan menjadi permohonan cerai talak, yaitu permohonan perceraian yang diajukan oleh pihak suami, dan cerai gugat, yaitu gugatan perceraian yang diajukan oleh pihak istri. Meski kedua perkara perceraian tersebut merupakan perkara contentious (sengketa), tetapi putusan atas keduanya berbeda. Yang pertama hakim hanya sebatas memberikan izin kepada suami untuk mengucapkan ikrar talak kepada istri, dan yang kedua hakim menjatuhkan talak suami kepada istri.

Perbedaan putusan atas kedua perkara perceraian tersebut telah menimbulkan implikasi hukum acara yang berbeda dengan yang berlaku dalam perkara perdata di lingkungan Peradilan Umum. Pencabutan gugatan perceraian di Pengadilan Agama. Prosedur pencabutan gugatan perceraian di Pengadilan Agama belum diatur secara khusus dalam UU No. 7 Tahun 1989. Jika merujuk pada Pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989, maka prosedur pencabutan gugatan yang berlaku mengikuti hukum acara perdata yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum sebagaimana diatur dalam Pasal 271 Rv. Persoalan yang muncul kemudian adalah apakah ketentuan Pasal 271 Rv dapat diterapkan pada perkara perceraian di Pengadilan Agama?

Jika mengacu pada Pasal 271 Rv, maka hakim harus menolak permohonan pencabutan dan meneruskan pemeriksaan perkara tersebut secara tuntas. Untuk mengatasi kerancuan terhadap pasal tersebut, beberapa alternatif yang dapat digunakan: pertama, tidak perlu ada izin tergugat atau termohon  dalam pencabutan perkara perceraian. Dengan dengan demikian, kapanpun penggugat mengajukan permohonan pencabutan perceraian, maka permohonan pencabutan perceraian harus dikabulkan tanpa perlu izin tergugat.

Kedua, kewenangan memutus perkawinan cukup dilakukan oleh hakim. Dalam perkara cerai talak, hakim hanya memiliki kewenangan untuk memberikan izin kepada suami untuk mengucapkan ikrar talak terhadap istrinya, sementara dalam cerai gugat, hakim memiliki kewenangan untuk menjatuhkan talak suami terhadap istri.

Hal terakhir yang dibahas dalam perkembangan Hukum Perdata Islam kontemporer adalah nilai pembuktian saksi perempuan dalam hukum islam, ketentuan yang mensyaratkan dua orang saksi perempuan sebagai pengganti satu orang saksi laki-laki, dengan kata lain bahwa nilai pembuktian saksi perempuan adalah separuh saksi laki-laki lebih merupakan ketentuan yang bersifat kondisional dan temporal, bukan ketentuan yang bersifat universal. Hal ini disebabkan karena kaum perempuan pada saat itu masih kurang berpengalaman dalam urusan publik, karna saat itu budaya yang berlaku menempatkan perempuan untuk hanya berperan dalam wilayah domestik.

Seiring dengan perubahan sosial di masyarakat saat ini, kaum perempuan kemudian memungkinkan untuk terjun di urusan publik, termasuk untuk mendapatkan pendidikan yang tinggi, bekerja di berbagai sektor pekerjaan, bahkan untuk menjabat sebagai kepala negara, dengan demikian maka nilai kesaksian seorang perempuan seharusnya diakui sama dengan kesaksian seoarang laki-laki.

Kesimpulan

 Hukum perdata Islam di Indonesia masih memiliki beberapa aturan yang tidak berbentuk undang-undang, sehingga kekuatan hukumnya lemah. Untuk itu, diperlukan penyempurnaan dan pengesahan aturan-aturan tersebut menjadi undang-undang. Saat ini, RUU HMPA sedang diajukan untuk menyempurnakan KHI dan meningkatkan kekuatan hukumnya. Di sisi lain, MA RI juga sedang menyusun Draft HAES untuk memperkuat KHES.

 Pendekatan ushul fikih terhadap hukum Islam menawarkan tiga metode: interpretasi linguistik, perluasan makna, dan penyelarasan. Interpretasi linguistik berfokus pada makna teks (nash) Al-Qur'an dan Hadist, dengan konsep tafsir untuk menjelaskan makna dan ta'wil untuk makna tersembunyi. Klasifikasi nash berdasarkan kejelasan, ketidakjelasan, cakupan makna, penggunaan, formula taklif, dan dalalah (cara penujukkan makna) membantu dalam interpretasi. Dua metode lainnya, perluasan makna dan penyelarasan.

RUU HMPA Bidang Perkawinan bertujuan untuk menyempurnakan aturan hukum perkawinan bagi umat Islam di Indonesia. Beberapa ketentuan dalam RUU ini perlu dikaji ulang, seperti rukun perkawinan, usia perkawinan, wali nikah, kedudukan anak, waktu tunggu, dan harta bersama. Pendekatan kontemporer terhadap hukum perdata Islam juga membahas tentang status anak di luar perkawinan, poligami, itsbat pengangkatan anak, ahli waris, putusan perceraian Pengadilan Agama, dan nilai pembuktian saksi perempuan. Diperlukan penyesuaian aturan hukum perkawinan dengan perkembangan sosial dan budaya masyarakat saat ini, dengan tetap memperhatikan nilai-nilai Islam.

Daftar Pustaka

Wahyudi, Muhammad Isna. Pembaharuan Hukum Perdata Islam. Bandung: Mandar Maju, 2014.

Haika, Hj. Ratu, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia (Analisis Terhadap Buku ll Kompilasi Hukum Islam), dalam jurnal Mazahib, Vol. IV, No. 2, Desember 2007, 1-13.

Mu'allim, Amir dan Yusdani, Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer,cet. I, Yogyakarta: UII Press, 2005.

Radyid, Raihan A., Hukum Acara Peradilan Agama, Edisi Baru, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006.

Supena, Ilyas dan M. Fauzi, Dekonstruksi dan Rekonstruksi Hukum Islam, Editor: Adib Abushomad, cet. I, Yogyakarta: Gama Media, 2002.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun