Selain itu, Pasal 96 RUU HMPA justru menghilangkan tujuan perlindungan terhadap status anak yang masih dalam kandungan dengan dibolehkannya kawin hamil. Secara sosiologis, perkawinan perempuan hamil memiliki dua manfaat, yaitu, pertama untuk menutupi aib perempuan hamil di luar nikah dan keluarganya di masyarakat, dan kedua untuk melindungi status hukum anak yang masih dalam kandungan.
Dalam fikih, ada cara untuk menghubungkan garis keturunan seseorang. Dalam hal, terdapat anak yang tidak memiliki orang tua yang pasti, sebagai laqith atau anak temuan, seseorang yang menemukan dan mengakuinya sebagai anak dapat meminta kepada hakim untuk menghubungkan nasab anak temuan tersebut kepadanya, atau biasa dikenal dengan istilhaq.
Berdasarkan argumentum a fortiori atau al-mafhum al-muwafaqah, jika anak yang tidak memiliki nasab yang jelas saja dapat dinasabkan kepada orang yang mengakuinya melalui istilhaq, maka anak yang jelas bapak biologisnya juga dapat dinasabkan kepada bapak biologisnya.
Ketentuan terakhir yang diatur dalam RUU HMPA Bidang Perkawinan  adalah waktu tunggu ('iddah), dalam Pasal 123 dan Pasal 124. Dalam ketentuan tersebut 'iddah hanya berlaku bagi janda, dan tidak bagi duda. Kewajiban 'iddah yang hanya mengikat bagi perempuan sebenarnya dapat dipahami sebagai legal-spesifik, yaitu ajaran khusus terhadap situasi khusus, yang bersifat temporal.
Namun demikian, Al Qur'an melalui sejumlah ayat secara tegas menyatakan bahwa kedudukan antara laki-laki dan perempuan adalah setara. Misalnya bahwa para istri adalah pakaian bagi para suami dan para suami adalah pakaian bagi para istri (Q.S. 2: 187), laki-laki dan perempuan berasal dari asal yang sama (Q.S. 4: 1, 39: 13).
Sedangkan kelebihan-kelebihan yang diberikan kepada laki-laki dalam kapasitasnya sebagai anggota masyarakat yang memiliki peran publik dan sosial lebih ketika ayat-ayat Al Qur'an diturunkan, seperti seorang suami setingkat lebih tinggi di atas istri (Q.S. 2: 228), laki-laki pelindung bagi perempuan (Q.S. 4: 34). Al Qur'an tidak pernah menyatakari bahwa laki-laki, baik dalam kapasitas biologisnya sebagai laki-laki, atau dalam kapasitas sosialnya sebagai ayah, suami, atau penafsir kitab suci, lebih mampu dari perempuan dalam mencapai tingkat ketakwaan atau melaksanakan ajaran agama.
Pandangan Al Qur'an mengenai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan tersebut adalah untuk mewujudkan keadilan dalam pola hubungan antara laki-laki dan perempuan. Keadilan dalam hal ini dapat dipahami sebagai ideal moral. Sebenarnya maksud dari tujuan 'iddah untuk mengetahui kehamilan adalah menetapkan garis keturunan anak yang dikandung, yaitu menetapkan ayah dari anak tersebut.
Dalam hal ini iddah memiliki peran yang penting dalam menjaga garis keturunan. Karena jika tidak ada kewajiban 'iddah, maka tidak mungkin, dalam kasus seorang perempuan yang menikah dalam beberapa hari pasca berpisah dengan suaminya yang pertama, untuk menentukan siapa ayah dari anak yang kemudian dikandungnya.
Kewajiban 'iddah sesungguhnya juga dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada perempuan pasca perceraian. Pertama, `iddah memainkan peran yang penting sekali dalam menjaga kehormatan dan kredibilitas seorang perempuan. Kedua, `iddah ditujukan untuk menjamin kesehatan ibu dan anak. Hal ini terkait dengan kewajiban suami untuk menjamin nafkah dan tempat tinggal istrinya yang dicerai selama masih dalam keadaan hamil.
Selanjutnya dalam kasus iddah talak raj. Sebenarnya misi utama Al Qur'an melembagakan 'iddah dalam kasus talak raj'i adalah mendorong kedua belah pihak yang bercerai untuk berdamai dan bersatu kembali. Yang terpenting dari tujuan 'iddah adalah untuk mengagungkan status perkawinan sebagai perjanjian yang kokoh (misaqan galizan). Dalam arti bahwa perceraian tidak secara langsung dapat memutuskan ikatan perkawinan, tetapi harus melalui masa `iddah terlebih dahulu. Hal ini dikarenakan perkawinan adalah sebuah kontrak tetapi juga sebuah perjanjian yang sungguh-sungguh (covenant).
Dalam perkembangannya pendekatan kontemporer terhadap hukum perdata islam juga membahas tentang masalah-masalah lainnya, diantaranya; status anak di luar perkawinan, kerancuan istilah poligami, harta bersama, itsbat pengangkatan anak, ahli waris, kerancuan putusan perceraian pengadilan agama dan nilai pembuktian saksi perempuan dalam hukum islam.