Usia Perkawinan juga diatur dalam Pasal 14 RUU HMPA disebutkan bahwa untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya dapat dilakukan apabila calon mempelai laki-laki telah mencapai umur 19 tahun dan calon mempelai perempuan mencapai umur 16 tahun. Selain itu, juga perlu dilakukan penelitian tentang dampak perkawinan usia muda kaum Perempuan terhadap tingkat pendidikan kaum perempuan. Hal ini karena Tingkat pendidikan tentu akan sangat berpengaruh terhadap kemandirian kaum perempuan, kedudukan, serta peran kaum perempuan dimasyarakat.
Terkait dengan perkawinan usia muda, memang terdapat hadist yang diriwayatkan oleh Hisyam ibn Urwah, yang sering kali dijadikan dasar/dalil atas kebolehan perkawinan usia muda, yang menceritakan bahwa Aisyah menikah dengan Rasulullah SAW pada usia 7 tahun, dan mulai berhubungan badan dengan Rasulullah SAW pada usia 9 tahun.
Ketentuan lain yang diatur dalam RUU HMPA adalah wali nikah, tertulis dalam Pasal 13 ayat (1) RUU HMPA Bidang Perkawinan menyatakan bahwa untuk melaksanakan perkawinan harus ada (rukun perkawinan): calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi, ijab kabul, dan mahar. Dan pelaksanaan perkawinan yang tidak memenuhi ketentuan pada ayat (1) tidak sah (Pasal 13 ayat (2).
Sebagian besar ulama fikih berpendapat bahwa seorang perempuan tidak boleh menikahkan dirinya sendiri atau orang lain. Jika dia menikah tanpa wali, maka pernikahannya batal atau tidak sah. Untuk mengkaji ulang masalah perwalian dalam perkawinan dengan pendekatan hermeneutik, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengkaji praktik perkawinan yang berlaku di Arabia pra-Islam maupun pada awal Islam.
Menurut Smith, sebelum pada akhirnya perkawinan ba'al, dengan ayah individual dan anak-anak laki-laki mengikuti garis keturunan ayah, merupakan satu-satunya jenis hubungan antar jenis kelamin yang dianggap sah pada masa Nabi Muhammad SAW, di dalam masyarakat Arabia terdapat dua jenis kekerabatan dan perkawinan, yaitu matrilineal dengan perkawinan sadiqah, dan patrilineal dengan perkawinan ba'al.
Secara lebih rinci, perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan jenis perkawinan sadiqah oleh Smith, mencakup dua jenis perkawinan. Pertama adalah jenis perkawinan dalam mana perempuan tetap bersama sukunya dan memilih serta menolak pasangannya ketika mau, anak-anaknya menjadi milik suku ibunya dan tumbuh di bawah perlindungan mereka. Perkawinan jenis ini disebut oleh Smith dengan perkawinan beena, meminjam istilah dari Ceylon, yang digunakan untuk menyebut perkawinan-perkawinan dalam mana sang suami bertempat tinggal di desa istri.
Kedua, perkawinan mut'ah, dalam mana perkawinan didasarkan atas persetujuan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, tanpa intervensi dari pihak kerabat istri, yang berlangsung selama suatu batas waktu tertentu, dan perempuan mendapatkan suatu pemberian hulwan) dari laki-laki. Dalam perkawinan mut'ah perempuan tidak meninggalkan rumahnya, kerabat-kerabatnya tidak memberikan hak.hak yang mereka miliki atasnya, dan anak-anak dari perkawinan ihtidak menjadi milik sang suami.
Berkaitan dengan praktik perkawinan melalui pembelian peminangan, perlu diketahui bahwa sebenarnya terdapat perbedaan antara mahar dan sadaq. Yang pertama dibayarkan kepada wali, sedangkan yang kedua kepada pengantin perempuan. Mahar yang sebelumnya dianggap sebagai harga pembelian bagi seorang perempuan yang dinikahi, kemudian diperbaiki maknanya oleh Islam dengan menyebut kata an-nihlah dalam Q.S. An-Nisa' (4):4, yang berarti pemberian yang tidak disertai dengan harapan menerima imbalan apa pun. Pemberian tersebut merupakan bukti rasa cinta dan ikatan kekerabatan serta kasih sayang.
Pada masa awal Islam, pembayaran dari pihak laki-laki masih tetap berlaku, tetapi hanya kepada calon mempelai saja, tidak lagi kepada ayah atau saudaranya, sehingga mahar dan sadaq menjadi istilah yang dipakai bersama. Namun posisi dan kondisi kehidupan perempuan masih dianggap harta milik suami, yang karena telah merasa membayar, menganggap dirinya mempunyai hak penuh untuk dilayani. Dalam konteks inilah, Perempuan masih membutuhkan perwalian dalam perkawinan, untuk memberikan perlindungan kepada perempuan agar tidak menjadi korban penipuan.
Kedudukan anak juga diatur dalam RUU HMPA Pasal 94 ayat (1) Bidang Perkawinan berbunyi: "Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan akibat perkawinan yang sah". Ketentuan ini berbeda dengan ketentuan tentang anak sah di dalam UU No. 1 Tahun 1974 maupun KHI. Dalam Pasal 42 UU No. 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Ketentuan ini sama dengan bunyi Pasal 99 huruf (a) KHI, hanya dalam KHI tidak ada kata "sebagai".
Dalam Pasal 96 RUU HMPA disebutkan bahwa dalam hal perkawinan perempuan hamil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dan Pasal 48, maka anak yang lahir dalam waktu kurang dari 180 (seratus delapan puluh hari) hari terhitung sejak akad nikah, hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.