Mohon tunggu...
Muhammad Miftahudin
Muhammad Miftahudin Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

Mahasiswa Aktif Prodi Hukum Keluarga Islam di UIN Raden Mas Said SURAKARTA

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Pilihan

Dinamika Hukum Perdata Islam: Menjawab Tantangan Zaman Melalui RUU HMPA dan Draft HAES

18 Maret 2024   22:58 Diperbarui: 19 Maret 2024   06:22 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kelima, Nash dari segi formula taklif, dibagi menjadi amr (perintah) dan nahy (larangan). Perintah merupakan permintaan untuk melakukan sesuatu dari orang yang kedudukannya lebih tinggi kepada orang yang kedudukannya lebih rendah, sedangkan larangan adalah sebaliknya, yaitu meminta agar suatu perbuatan dijauhi. Dalam larangan, meskipun menurut jumhur makna pokok dari larangan adalah keharaman atau tahrim, tetapi larangan juga digunakan untuk sekedar menyatakan ketercelaan (karahiyah) atau an (do'a). tuntunan (irsyad) atau kesopanan (ta'dib) atau permohonan Larangan yang muncul setelah perintah menimbulkan ketidakbolehan atau tahrim.

Keenam, Nash dari segi dalalah (cara penujukkan terhadap makna). Kelompok Fuqaha (Hanafiyyah) membagi dalalah ke dalam empat tingkatan. a) Dalalah al-'ibarah/ibarah an-nashs (makna eksplisit), yaitu penunjukkan nash kepada makna yang langsung dapat diterima oleh akal dari kata-kata atau ungkapan yang terdapat dalam nash. b) Dalalah al-isyarah/isyarah an-nashs (makna tersirat), yaitu penunjukkan nash terhadap makna yang bukan makna pokok dari nash, tetapi ia merupakan makna yang sejalan dengan nash, yang dapat diperoleh melalui pen elitian yang mendalam terhadap indikasi- indikasi yang bisa diamati yang terdapat di dalam nash. c) Dalalah al-dalalah/dalalah an-nashs (makna yang ter- simpul), yaitu penunjukkan nash kepada makna yang diperoleh dari semangat dan alasan syar'i meskipun tidak ditunjukkan di dalam kata- kata dan kalimat-kalimatnya.

Di samping itu, makna tersebut diperoleh melalui penarikan analogi dan penentuan 'illat antara makna yang eksplisit dan makna yang diperoleh melalui inferensi. Dalalah an-nashs oleh beberapa ulama disamakan dengan qiyas. d) Dalalah iqtidha' (makna yang dikehendaki), yaitu penunjukkan nash kepada makna yang tidak disebutkan di dalam nash, tetapi makna tersebut perlu untuk melengkapi dan mewujudkan tujuan dari nash. Dalam Al Qur'an dan Sunnah terdapat beberapa perintah yang objek perintah tersebut merupakan gabungan kata (idhafat). Dalam gabungan tersebut terdapat salah satu lafal yang dihilangkan (biasanya lafal yang dihilangkan adalah mudhaf-nya). Sebagai contoh, ketentuan tentang perempuan-perempuan yang haram dinikahi dalam Q.S. 4: 23.

RUU HMPA, Pendekatan Kontemporer Tehadap Hukum Perdata Islam

Latar belakang yang mendorong Departemen Agama untuk menyusun RUU HMPA (Rancangan Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan Agama) Bidang Perkawinan adalah karena aturan hukum yang terdapat di dalam UU No. 1 tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 dipandang kurang memadai sebagai hukum materiil bagi Peradilan Agama, karena aturan UU ini bersifat lintas agama, yang harus ditaati oleh semua umat beragama, yang bukan khusus diperuntukkan untuk umat Islam, maka diupayakanlah untuk menyusun Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berlaku khusus untuk umat Islam, yang dijadikan dasar bagi para hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara.

Dalam ilmu pengetahuan hukum, hukum dibedakan menjadi hukum formil dan hukum materiil. Hukum formil merupakan hukum acara yang mengatur tentang tata cara pemeriksaan perkara di pengadilan, sedangkan hukum materiil merupakan aturan-aturan hukum yang terkait dengan bidang-bidang hukum tertentu.

Sebelum RUU HMPA Bidang Perkawinan disahkan menjadi undang-undang oleh DPR, ada beberapa ketentuan dalam RUU HMPA Bidang Perkawinan yang perlu dikaji dan dipertimbangkan kembali sehingga ketentuan-ketentuan tersebut mampu menjadikan hukum keluarga Islam di Indonesia sebagai hukum yang progresif dan tidak bertentangan dengan beberapa Undang-undang yang telah ada, yaitu UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan UU No. 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak. Di antara ketentuan-ketentuan dalam RUU HMPA Bidang Perkawinan tersebut adalah ketentuan yang mengatur tentang rukun perkawinan, usia perkawinan, wali nikah, kedudukan anak dan waktu tunggu.

Rukun Perkawinan dijelaskan dalam Pasal 3 RUU HMPA Bidang Perkawinan berbunyi: "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam". Sementara dalam Pasal 13 dijelaskan bahwa untuk melaksanakan perkawinan harus ada (rukun perkawinan): calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi, ijab kabul, dan mahar. Kedudukan perkawinan dalam Al Qur'an adalah sebagai ikatan yang kokoh (Q.S. An-Nisa [4]: 21). Sebagai ikatan yang kokoh maka setiap pasangan yang menikah dituntut untuk berkomitmen dalam menjaga kelangsungan perkawinan dalam rangka mewujudkan keluarga yang bahagia (sakinah) (Q.S ArRum [30]: 21).

Selain itu, ada kecenderungan bahwa pasca perkawinan, anggota suku cenderung untuk hidup menetap di daerahnya, baik karena keterbatasan sarana transportasi maupun mata pencaharian yang tidak menuntut mobilitas bahkan untuk menetap di daerah lain. Dalam situasi yang seperti ini, maka masyarakat masih memiliki fungsi kontrol terhadap status perkawinan setiap anggotanya.

Masyarakat masih dapat menjadi saksi atas ikatan perkawinan setiap anggotanya. Inilah mengapa Rasulullah menganjurkan agar setiap akad nikah diselenggarakan pesta perkawinan meski dengan seekor kambing. Tujuannya tidak lain adalah agar dipersaksikan oleh masyarakat. Dalam konteks seperti ini tentu pencatatan perkawinan belum menjadi sebuah tuntutan hammasyarakat pada saat itu, yang mungkin mempengaruhi para ulamafikih klasik dalam merumuskan rukun dan syarat perkawinan,

Berbeda dengan akad hutang-piutang, sejak awal Al Qur'an memerintahkan agar para pihak yang terlibat melakukan pencatatan. sehingga untuk menjamin adanya kepastian hukum atas hak dan kewajiban pihak-pihak yang terlibat dalam akad hutang-piutang, akad tersebut harus dicatat dengan benar. Di sinilah pencatatan perkawinan menjadi tuntutan yang tidak dapat dihindari dalam rangka memberikan perlindungan hukum bagi pasangan yang menikah maupun anak-anak yang lahir dariperkawinan itu (hifzun nas). Oleh karena itu, sudah sepatutnya pencatatan nikah menjadi salah satu rukun perkawinan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun