"Dari dulu kau masih sama saja ya ..." nada bicaranya Fikri pun ikut meninggi "Terlalu berprasangka buruk. Tidak semua hal buruk yang kau sangka akan benar buruk dalam kenyataannya. Prasangka itu hanya buat hal baik dari orang lain itu hilang..."
"Saya  sama sekali tidak menampar kamu. Tadi itu ada nyamuk di pipimu. Saya khawatir nyamuk itu adalah nyamuk demam berdarah, yang nantinya akan buat kamu sakit, tidak bisa kerja, tidak bisa main dengan saya lagi... Saya tidak ingin kamu sakit, karena saya tahu, hatimu sudah jauh lebih sakit dari apa pun. Sebisa mungkin saya menjaga kamu dari siapa pun, yang nantinya membuatmu bertambah sakit lagi, termasuk nyamuk tadi" Ali hanya terdiam tanpa sepatah kata dan tanpa reaksi apa pun, ia hanya menunduk malu sudah berprasangka buruk terhadap sahabatnya itu.
"Sekarang terserah, kalau kamu mau balas tamparan saya tadi, silakan" ucap Fikri seraya menepuk-nepuk pipinya.
Mereka berdua hanya bisa berdiam, hingga Fikri memutuskan pergi meninggalkan Ali untuk berangkat ke masjid. Ali hanya melihat punggung Fikri perlahan menghilang dari pandangannya, ia merasa sangat bersalah. Kini Fikri sudah menghadiahi tamparan yang lebih dari sebelumnya, tamparan yang langsung mengenai hati dan membangunkan kembali jiwanya yang tertutup oleh prasangka buruk.
Ali sangat malu karena belum bisa menjadi sahabat yang baik bagi Fikri, dia ingat-ingat kembali, tidak sekali pun Fikri membentaknya seperti tadi, ia selalu sabar menghadapi perangainya. Sekuat mungkin Fikri membuat Ali menjadi pribadi yang lebih kuat, pribadi yang tidak semata-mata mengeluh dan menyalahkan tadir yang sudah ditentukan. Sahabat yang tahu akan keadaan temannya, tidak ingin melihat temannya disakiti oleh siapa pun dan oleh apa pun.
Dahulu ia berpikir tidak akan ada seseorang yang peduli padanya selain kedua orang tuannya. Ia meminta agar Tuhan memberikan pengganti, seseorang yang peduli dan mampu menghadapi semua perangai yang ia punya, tapi tidak kunjung di kabulkan. Namun sekarang ia sadar, seseorang itu sudah dikimkan bahkan sebelum ia meminta, sudah ada bersamanya sejak kecil, tumbuh bersama.
Prasangka buruklah yang menutup itu semua. Ia bergegas masuk ke dalam rumahnya, dibuka keran air dan mulailah ia mengambil wudu. Air wudu kali ini sangat menyejukkan, menghapus setiap prasangka , menyapu tamparan yang Fikri tancapkan ke hatinya. Setelah selesai, bergegas ia menyusuli Fikri, ia berlari sangat kencang hingga didapatinya Fikri sedang salat sendirian, ia rela ketinggalan salat subuh demi menyadarkan Ali.
Ia tepuk pundak Fikri pertanda ia ada sebagai makmum, sebagai orang yang patut untuk dibimbing, seseorang yang patut untuk di nasihati setiap waktu, seseorang yang akan selalu ada untuknya, sebagaimana ia ada untuk Ali. Setiap ayat yang fikri baca begitu merdu, untuk pertama kalinya bergetar hati Ali, seakan ada suatu cahaya yang seketika masuki ke dalam hatinya.
"Saya minta maaf ya, Fik, soal tadi" ucap Ali ketika jalan pulang menuju rumah.
"Iya, tidak apa-apa, saya bisa maklum kok"
"Terima kasih juga ya, sudah baik banget sama saya. Saya tidak tahu harus balasnya bagaimana"