Lonceng jam sudah berbunyi 3 kali, namun ia masih terjaga. Duduk di bale depan rumah sembari menadah ke atas langit malam yang hitam pekat. Hawa dingin sesekali meniup kepadanya masuk melalui pori-pori kulit yang tidak tertutup baju, namun tidak ia indahkan.
Raut wajahnya semakin lama semakin memupuk banyak sekali beban, raganya semakin lama semakin rapuh, jiwanya masih tidak menyangka akan semua kemalangan yang menimpa hidupnya.
Dalam benaknya dipenuhi oleh ingatan masa lalu; di mana kala itu untuk pertama kalinya ia belajar bersepeda dibantu oleh ayahnya; kenangan tawa ketika ia sedang naik biang lala bersama ibunya; canda yang selalu hadir ketika keluarganya berkumpul bersama.
"Andai Ibu dan Bapak masih ada" Ucap Ali seraya melihat langit malam yang begitu luas. Hamparan yang dipenuhi oleh banyaknya bintang terang benderang. Ramai tapi kosong.
"Aku rindu Ibu sama Bapak... Sekarang aku kesepian, Bu. Aku tidak punya lagi semangat hidup. Rasanya hampa hidup tanpa kalian. Dahulu, sebelum Bapak atau Ibu pergi, semua sepi yang aku rasa terasa ramai, namun sekarang berputar 180. Ramai sekarang, aku rasai hampa, sepi, juga kosong. Aku merasa hidup ini tidak sama lagi..."
Kecelakaan motor yang merenggut nyawa kedua malaikat tanpa sayap itu sungguh membuat jiwanya terguncang. Tanpa isyarat, tanpa tanda, tanpa peringatan, mereka berdua berpamitan menghadap Sang Illahi dan meninggalkan Ali seorang diri. Sudah 40 hari semenjak mereka berdua meninggalkan pemuda malang itu, tanpa adik ataupun kakak.
Banyak tetangga yang peduli padanya, tidak jarang menyumbang makanan setiap malam. Itu dikarenakan kedua orang tuanya dahulu adalah pribadi yang suka membantu sesama.
Sebenarnya Ali tidak mau dikasihani oleh orang lain, ia merasa mampu untuk menghadapi ini semua sendiri, namun tidak bisa ditutupi jiwanya benar-benar butuh dukungan, juga ucapan semangat. Salah satu orang yang selalu ada yaitu Fikri, sahabat sekaligus tetangga yang paling dekat dengan rumahnya.
Fikri sering menginap di rumah Ali, ia merasa tidak tega melihat sahabatnya memikul beban berat itu sendiri, saudara-saudaranya sudah kembali pulang ke kampung halamannya masing-masing, Fikri tidak sampai hati melihat sahabat kecilnya itu selalu melamun, hilang tawa, bahkan hilang semangat untuk hidup.
Sebisa mungkin ia mencoba menghidupkan kembali Ali, memberi sedikit demi sedikit nafas kehidupan, memberi masukan, memberi motivasi. Tidak jarang sikap Ali memberi respons menolak "Apaan sih... buat apa saya hidup, kalau orang yang sangat saya sayang sudah tiada !!" Ia memaklumkan, karena tahu emosi Ali pasti sedang tidak stabil, perlu waktu untuk beradaptasi menerima kenyataan yang ada.
"Sekarang aku sudah kerja, Pak. Kerja di pabrik, gajinya juga UMR, pasti Bapak banggakan? Karena anakmu ini tidak mengikuti jejakmu sebagai petani di lahan orang lain, diberi upah tidak sepadan dengan keringat yang bercucuran..."
"Aku sudah putuskan untuk tidak memikirkan kuliah, walaupun dahulu aku sangat memaksa kalian untuk mengizinkan aku kuliah, tanpa sekali pun memikirkan keadaan kita yang makan 3 kali dalam sehari saja susah. Mungkin dahulu kalian melarangku untuk kuliah karena bapak dan ibu sudah punya firasat akan pergi meninggalkan aku seorang? Maafkan anakmu yang durhaka ini, Pak, Bu"
"Ternyata tetangga kita baik semua ya, Bu..." Lanjut Ali "Hampir setiap malam ada yang membawakan aku makanan ke rumah. Tapi mengapa ya, Bu ? hati ini masih merasa hidup ini kosong, tidak ada siapa pun orang? Mengapa Tuhan bisa mengambil tapi tidak memberi pengganti?... Apa aku belum ikhlas? Â Lagi pula siapa yang ikhlas jika kedua orang yang sangat mereka cintai di panggil dalam waktu yang bersamaan."
"Kebahagiaan kalian adalah tujuan utama aku menjalani hidup. Kalian membuat aku mampu bermimpi tinggi, melebihi kekurangan yang keluarga kita punya... Sekarang aku seperti pemuda hilang  arah, tanpa mimpi, tanpa cita-cita. Untuk siapa nantinya kejayaan yang akan aku taklukan? Untuk siapa yang kesuksesan yang akan aku gapai? Untuk siapa semua emas, intan permata yang nantinya aku persembahkan?...
Aku dahulu bermimpi, untuk memberikan kita kehidupan yang layak, membuat kalian selalu bahagia, membuat senyum yang kalian punya tidak sekali pun pudar, tanpa memikirkan esok bisa makan atau tidak dikarenakan kekurangan uang. Aku ingin memberangkatkan kalian haji, itukah yang bapak dan ibu impikan sejak dulu? Jika suatu saat nanti aku sukses untuk siapa semua itu aku persembahkan, Pak, Bu?" sudah beberapa kali air matanya tidak bisa dibendung, bukan keinginannya, tapi setiap hal yang mengingatkan ia kepada kedua orang tuannya selalu membuat matanya berkaca-kaca.
"Li, bangun sudah subuh" Ali pun terkejut, ia tidak sadar bahwa raganya sudah terlelap tidur di bale depan rumah, setelah semalaman ia terjaga memikirkan beban hidupnya.
"Apaan sih ! Enggak tahu orang lagi mengantuk apa !" Ucap Ali.
"Ayo salat dulu, nanti lanjut tidur lagi"
"Malas, sana kau saja" Ali pun melirik ke wajah Fikri yang sedang menatapnya dalam-dalam. "Apa aku salah ucap?" Dalam benaknya, namun ia kembali memalingkan wajahnya dan kembali memejamkan matanya... hingga sebuah tamparan bersarang di pipinya, tidak keras namun mengejutkan.
"Apa-apaan kau tampar saya?!" Ali pun dengan spontan berdiri dengan nada yang meninggi. "Kalau saya tidak mau, ya sudah, jangan dipaksa"
"Bukan begitu maksud saya"
"Tidak perlu banyak bicara, salat mah salat saja sana!"
"Dari dulu kau masih sama saja ya ..." nada bicaranya Fikri pun ikut meninggi "Terlalu berprasangka buruk. Tidak semua hal buruk yang kau sangka akan benar buruk dalam kenyataannya. Prasangka itu hanya buat hal baik dari orang lain itu hilang..."
"Saya  sama sekali tidak menampar kamu. Tadi itu ada nyamuk di pipimu. Saya khawatir nyamuk itu adalah nyamuk demam berdarah, yang nantinya akan buat kamu sakit, tidak bisa kerja, tidak bisa main dengan saya lagi... Saya tidak ingin kamu sakit, karena saya tahu, hatimu sudah jauh lebih sakit dari apa pun. Sebisa mungkin saya menjaga kamu dari siapa pun, yang nantinya membuatmu bertambah sakit lagi, termasuk nyamuk tadi" Ali hanya terdiam tanpa sepatah kata dan tanpa reaksi apa pun, ia hanya menunduk malu sudah berprasangka buruk terhadap sahabatnya itu.
"Sekarang terserah, kalau kamu mau balas tamparan saya tadi, silakan" ucap Fikri seraya menepuk-nepuk pipinya.
Mereka berdua hanya bisa berdiam, hingga Fikri memutuskan pergi meninggalkan Ali untuk berangkat ke masjid. Ali hanya melihat punggung Fikri perlahan menghilang dari pandangannya, ia merasa sangat bersalah. Kini Fikri sudah menghadiahi tamparan yang lebih dari sebelumnya, tamparan yang langsung mengenai hati dan membangunkan kembali jiwanya yang tertutup oleh prasangka buruk.
Ali sangat malu karena belum bisa menjadi sahabat yang baik bagi Fikri, dia ingat-ingat kembali, tidak sekali pun Fikri membentaknya seperti tadi, ia selalu sabar menghadapi perangainya. Sekuat mungkin Fikri membuat Ali menjadi pribadi yang lebih kuat, pribadi yang tidak semata-mata mengeluh dan menyalahkan tadir yang sudah ditentukan. Sahabat yang tahu akan keadaan temannya, tidak ingin melihat temannya disakiti oleh siapa pun dan oleh apa pun.
Dahulu ia berpikir tidak akan ada seseorang yang peduli padanya selain kedua orang tuannya. Ia meminta agar Tuhan memberikan pengganti, seseorang yang peduli dan mampu menghadapi semua perangai yang ia punya, tapi tidak kunjung di kabulkan. Namun sekarang ia sadar, seseorang itu sudah dikimkan bahkan sebelum ia meminta, sudah ada bersamanya sejak kecil, tumbuh bersama.
Prasangka buruklah yang menutup itu semua. Ia bergegas masuk ke dalam rumahnya, dibuka keran air dan mulailah ia mengambil wudu. Air wudu kali ini sangat menyejukkan, menghapus setiap prasangka , menyapu tamparan yang Fikri tancapkan ke hatinya. Setelah selesai, bergegas ia menyusuli Fikri, ia berlari sangat kencang hingga didapatinya Fikri sedang salat sendirian, ia rela ketinggalan salat subuh demi menyadarkan Ali.
Ia tepuk pundak Fikri pertanda ia ada sebagai makmum, sebagai orang yang patut untuk dibimbing, seseorang yang patut untuk di nasihati setiap waktu, seseorang yang akan selalu ada untuknya, sebagaimana ia ada untuk Ali. Setiap ayat yang fikri baca begitu merdu, untuk pertama kalinya bergetar hati Ali, seakan ada suatu cahaya yang seketika masuki ke dalam hatinya.
"Saya minta maaf ya, Fik, soal tadi" ucap Ali ketika jalan pulang menuju rumah.
"Iya, tidak apa-apa, saya bisa maklum kok"
"Terima kasih juga ya, sudah baik banget sama saya. Saya tidak tahu harus balasnya bagaimana"
Fikri pun seketika tertawa kecil "Justru ini adalah bentuk terima kasih saya kepada kamu. Pasti kau masih ingat waktu kita SD, kan?... Saya sering sekali ditindas oleh teman-teman, tapi kamu selalu bela saya, selalu beri masukan ke saya untuk melawan, jangan hanya diam ketika harga diri diinjak-injak orang lain.
Dan juga di saat orang lain mengolok-olok karena culunnya saya, kamu satu-satunya orang yang mau berteman sama saya. Semenjak saya bersahabat sama kamu, saya selalu merasa aman dari apa pun. Â Itu alasan saya baik kepada kamu selama ini, dan anggap saja ini balas budi saya" Mereka pun saling tersenyum satu sama lain.
Mereka paham kebaikan sekecil apa pun akan menumbuhkan kebaikan-kebaikan lainnya dan persahabatan yang tulus akan membuahkan kebaikan-kebaikan yang lebih banyak lagi. Persahabatan yang tulus bukan karena harta kekayaan, tapi bagaimana mereka saling memahami dan memaklumi kekurangan yang mereka punya satu sama lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H