"Aku sudah putuskan untuk tidak memikirkan kuliah, walaupun dahulu aku sangat memaksa kalian untuk mengizinkan aku kuliah, tanpa sekali pun memikirkan keadaan kita yang makan 3 kali dalam sehari saja susah. Mungkin dahulu kalian melarangku untuk kuliah karena bapak dan ibu sudah punya firasat akan pergi meninggalkan aku seorang? Maafkan anakmu yang durhaka ini, Pak, Bu"
"Ternyata tetangga kita baik semua ya, Bu..." Lanjut Ali "Hampir setiap malam ada yang membawakan aku makanan ke rumah. Tapi mengapa ya, Bu ? hati ini masih merasa hidup ini kosong, tidak ada siapa pun orang? Mengapa Tuhan bisa mengambil tapi tidak memberi pengganti?... Apa aku belum ikhlas? Â Lagi pula siapa yang ikhlas jika kedua orang yang sangat mereka cintai di panggil dalam waktu yang bersamaan."
"Kebahagiaan kalian adalah tujuan utama aku menjalani hidup. Kalian membuat aku mampu bermimpi tinggi, melebihi kekurangan yang keluarga kita punya... Sekarang aku seperti pemuda hilang  arah, tanpa mimpi, tanpa cita-cita. Untuk siapa nantinya kejayaan yang akan aku taklukan? Untuk siapa yang kesuksesan yang akan aku gapai? Untuk siapa semua emas, intan permata yang nantinya aku persembahkan?...
Aku dahulu bermimpi, untuk memberikan kita kehidupan yang layak, membuat kalian selalu bahagia, membuat senyum yang kalian punya tidak sekali pun pudar, tanpa memikirkan esok bisa makan atau tidak dikarenakan kekurangan uang. Aku ingin memberangkatkan kalian haji, itukah yang bapak dan ibu impikan sejak dulu? Jika suatu saat nanti aku sukses untuk siapa semua itu aku persembahkan, Pak, Bu?" sudah beberapa kali air matanya tidak bisa dibendung, bukan keinginannya, tapi setiap hal yang mengingatkan ia kepada kedua orang tuannya selalu membuat matanya berkaca-kaca.
"Li, bangun sudah subuh" Ali pun terkejut, ia tidak sadar bahwa raganya sudah terlelap tidur di bale depan rumah, setelah semalaman ia terjaga memikirkan beban hidupnya.
"Apaan sih ! Enggak tahu orang lagi mengantuk apa !" Ucap Ali.
"Ayo salat dulu, nanti lanjut tidur lagi"
"Malas, sana kau saja" Ali pun melirik ke wajah Fikri yang sedang menatapnya dalam-dalam. "Apa aku salah ucap?" Dalam benaknya, namun ia kembali memalingkan wajahnya dan kembali memejamkan matanya... hingga sebuah tamparan bersarang di pipinya, tidak keras namun mengejutkan.
"Apa-apaan kau tampar saya?!" Ali pun dengan spontan berdiri dengan nada yang meninggi. "Kalau saya tidak mau, ya sudah, jangan dipaksa"
"Bukan begitu maksud saya"
"Tidak perlu banyak bicara, salat mah salat saja sana!"