(Kemudian, Restari bercerita tentang pertemuan mereka di Puncak Senja, di mana orang tua Restari semakin prihatin dengan hubungan yang muncul.)
Beberapa hari kemudian, di rumah Restari...
Moleo: (Mengetuk pintu) Salam sejahtera, keluarga Restari. Maaf jika saya datang tanpa diundang, tapi saya ingin bicara dengan Anda.
Ayah Restari: (Ketus) Apa yang bisa kita bantu, Moleo?
Moleo: (Dengan penuh hormat) Saya datang untuk menyatakan niat saya. Saya tulus ingin menjalin hubungan lebih lanjut dengan Restari.
Ibu Restari: (Tidak setuju) Maaf, Moleo, tapi kami merasa tidak setuju dengan hubungan ini. Kami punya ekspektasi yang tinggi untuk Restari.
Moleo: (Terpukul) Saya mengerti perbedaan status sosial kami, tapi saya yakin cinta kami bisa melewati segalanya. Kami saling mencintai, bukan status sosial.
Ayah Restari: (Tegas) Namun, kenyataannya adalah perbedaan sosial bisa menciptakan hambatan besar. Kami tidak ingin anak kami terjerumus ke dalam sesuatu yang tidak sesuai.
Moleo: (Berusaha menjelaskan) Saya mencintai Restari, bukan karena status sosialnya. Saya percaya kita bisa melewati rintangan ini bersama-sama.
Konflik pun tumbuh di antara mereka, dan Puncak Senja yang dulu menyaksikan kebahagiaan, kini menjadi saksi dari pertentangan dan ketidaksetujuan yang mendalam.
Chapter 3: Melawan Restu
Moleo dan Restari berusaha melawan norma sosial yang memisahkan mereka. Mereka menghadapi tantangan dan prasangka masyarakat. Sementara itu, warga desa ikut campur dengan pandangan dan komentar mereka. Di tengah-tengah perjuangan mereka, Moleo dan Restari menyadari bahwa cinta sejati tidak dapat dibatasi oleh status sosial.