Mohon tunggu...
Muhammad Imron
Muhammad Imron Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Buruh Tulis

Jika tidak ada kuasa untuk bicara, tulislah.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Indonesia: Sebuah Kapal Tua dengan Tujuh Nakhoda

17 Agustus 2020   18:14 Diperbarui: 17 Agustus 2020   19:15 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masa inilah yang kemudian mengantarkan bangsa Indonesia memasuki sebuah lembaran baru yang bernama Orde Baru (A. Yogaswara, 2012, h.144) yang pada akhirnya, terbayar sudah semua perjuangan yang telah dilakukan olehnya, memiliki latar belakang militer, dia diangkat menjadi presiden ke-2 menggantikan Ir. Soekarno pada tanggal 12 Maret 1967.

"Jika sudah duduk, lupa berdiri," ungkapan skeptis itu yang mungkin cocok digunakan untuk 32 tahun kepemimpinan yang dikuasai oleh Soeharto. Berbagai permasalahan terjadi di masa itu, mulai dari Pertamina yang penuh dengan tindakan korupsi pada tahun 1970an, hingga terjadinya reformasi 1998 yang menjadi akhir dari jatuhnya sang raja.

Peristiwa reformasi yang diawali dengan krisis ekonomi yang dimulai sejak pertengahan tahun 1997, lalu mahasiswa menutut penurunan harga yang sering pula diplesetkan menjadi Harto dan Keluarga dan adanya reformasi pemerintahan yang bebas dari praktik KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Kerusuhan demi kerusuhan terjadi pada akhir kepemimpinan Soeharto, tercatat kerusuhan yang terjadi di Jakarta saja pada tanggah 13-15 Mei telah menelan sedikitnya 500 orang tewas, 4.939 bangunan rusak dibakar, 1.119 mobil hangus, dan 1.026 rumah penduduk hancur. (2012, h.209).

Tetapi, di balik kontroversi sepanjang masa kepemimpinannya, Soeharto memang pantas dijuluki Bapak Pembangunan yang pada tahun 1983 diberikan kepadanya. Pelita (Pembangunan Lima Tahun), menjadi program yang saat itu menjadi unggulan dan memberikan banyak dampak kepada penghidupan masyarakat.

Akhirnya, pada tanggal 21 Mei 1998, Soeharto membacakan naskah pengunduran diri yang sebelumnya telah dibuat oleh Yusril Ihza Mahendra dan secara resmi meletakkan jabatannya sebagai presiden, yang kemudian B.J. Habibie yang sebelumnya menjadi wakil dari Soeharto diangkat sumpahnya untuk menggantikan posisi Soeharto sebagai kepala negara.

3. B. J. Habibie

Prof. Dr. Ir. H. Bacharuddin Jusuf Habibie, FREng. Bapak pesawat terbang Indonesia, seperti itulah ingin aku menyebutnya. Sebutan itu bukanlah hanya sekedar julukan untuknya, tetapi memang dibuktikan dengan kehidupannya yang kini telah memiliki 46 hak paten di bidang aeronautika (Imam Solehudin, 2016). 

Berbagai pengakuan dan penghargaan telah diraihnya, mulai dari diterimanya sebagai anggota kehormatan Gesselschaft Fuer Luft und Raumfahrt (Lembaga Penerbangan dan Angkasa Luar) Jerman Barat pada tahun 1983 (A. Makmur Makka, 2008, h.3) hingga satu-satunya orang dari Asia yang meraih Edward Warner Award dari International Civil Aviation Organization (ICAO) pada tahun 1994 (Imam Solehudin, 2016).

Seorang anak yang lahir dan dibesarkan di kota Pare Pare, Sulawesi Selatan. Anak ke-empat dari delapan bersaudara atas perkawinan antara Alwi Abdul Jalil Habibie dan R.A. Tuti Marini Puspowardojo. Apabila diperhatikan dari garis keturunan sang ibu, dia adalah generasi keempat dari Tjitrowardojo, seorang terdidik yang telah meraih gelar dokter dalam usia 19 tahun. (A. Makmur Makka, 2008, h.23).

B.J. Habibie pun menceritakan keheranannya tersebut didalam bukunya, Detik-Detik Yang Menentukan, B.J. Habibie (2006), dia mengatakan kepada Soeharto "Mengapa saya? Banyak orang yang lebih senior, lebih pintar, lebih pandai dan lebih berpengalaman dari diri saya." Tetapi seorang Soeharto yang terkenal dengan ketegasan dan keras kepalanya tetap saja memberikan kepercayaannya kepada B.J Habibie untuk memegang jabatan yang akan ditinggalkannya.

Dilantiklah B.J. Habibie pada tanggal 21 Mei 1998 untuk menjadi Presiden RI yang ketiga menggantikan pak Harto. Sulit bukan main mengendalikan kembali negara yang sebelumnya telah dikelilingi oleh berbagai masalah didalam maupun diluar negeri. Seratus hari yang cukup berat untuk Presiden RI ketiga kita menghadapi masalah multikompleks dan multidimensi. Menamakan kabinetnya dengan sebutan Kabinet Reformasi Pembangunan, B.J. Habibie bersama jajaran menterinya terus berupaya mengembalikan citra Pemerintah di mata dunia ataupun di mata rakyat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun